Rindu Pak Harto, Rindu Orba, Rindu Siapa?

25 Juni 2018 18:26 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Patung Soeharto di Kemusuk. (Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Patung Soeharto di Kemusuk. (Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan)
ADVERTISEMENT
Matahari siang itu seperti menempel di ubun-ubun. Hawa panas menyesak seperti gerbang neraka terbuka setengah. Debu tebal jalan bercampur asap hitam bus-bus AKAP yang hilir-mudik di Jalan Yogyakarta-Wates sama sekali tak membantu.
ADVERTISEMENT
Panas, debu, dan asap itulah yang mengiringi perjalanan menuju Desa Kemusuk. Satu hal yang mungkin tertinggal: rindu yang tak menemui inangnya.
Selain itu, tak ada aral berarti menuju Desa Kemusuk. Ia terletak di pinggir Kota Yogya, tak sampai 30 menit perjalanan roda dua dari pusat kota. Jalanan sudah dilapis aspal mulus. Rute perjalanan pun sederhana, lurus, tak perlu memaksa orang luar yang pertama bertandang bertanya banyak-banyak.
Mendekati desa, sesekali tampak hijau sawah tak seberapa luas berseling dengan beberapa patok kebun tebu. Selebihnya penuh rumah penduduk, berjejer ditemani beberapa area pertokoan . Desa Kemusuk canggung bersanding dengan pembangunan.
Sebelum memasuki desa, plang besar bertuliskan ‘Museum Jenderal Besar HM Soeharto’ terpampang gagah di pertigaan. Tak begitu jauh dari titik itu, bangunan museum bergaya arsitektur Jawa berdiri megah. Patung Sang Jenderal setinggi tiga meter berdiri tegak di pelataran. Di desa ini lahir salah satu putra paling berkuasa di sepanjang sejarah bangsa Indonesia.
ADVERTISEMENT
H-2 Lebaran. Desa Kemusuk seperti ditinggal pergi penghuninya --sepi. Puasa dan terik membikin penduduk desa berpikir ganda untuk meninggalkan rumah. Jalanan sekitar desa melompong. Area persawahan juga serupa. Hanya satu-dua petani merambat supaya panen nanti tak terganggu.
Di seberang museum, di atas kursi bambu di pinggir area parkir, Tuji duduk sendirian memandang jalan. Di sampingnya terparkir satu sepeda motor bernomor polisi karesidenan Surakarta. “Tinggal sak motor niki, Mas. Nanti sehabis ini saya pulang,” gumam laki-laki 53 tahun itu.
Hari itu, sama seperti suasana desa, museum jenderal besar juga sepi pengunjung. Tuji tak yakin berapa persisnya. “Paling sekitar 20 motor yang datang,” katanya mengingat-ingat.
Suasana kontras terjadi dua hari sebelumnya. Senin (11/6), putra-putri Pak Harto bertandang ke museum. Tuji tak tahu pasti untuk acara apa. Yang jelas banyak mobil kota terparkir dan Tuji senang karenanya.
ADVERTISEMENT
Seingat Tuji, di antara putra-putri Pak Harto, hanya Tommy dan Titiek yang hadir di acara tersebut. Bagi Tuji, kehadiran Tommy di Kemusuk tergolong tak biasa. Berbeda, misalnya, dengan si kakak perempuan yang paling tidak menyambangi desa leluhurnya itu satu kali dalam setahun.
Tuji, warga Desa Kemusuk Kidul. (Foto: Agritama Prasetyanto/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Tuji, warga Desa Kemusuk Kidul. (Foto: Agritama Prasetyanto/kumparan)
Ingatan Tuji soal Titiek pun langsung mengarah ke bantuan sembako. Tuji tahu bahwa pembagian sembako ke penduduk Desa Kemusuk jadi acara rutin putri kedua Pak Harto itu. “Mbak Titiek sering datang ke sini, bantu sembako setahun sekali. Anaknya yang lain jarang, kecuali ada keperluan,” ujarnya.
Yang Tuji tak tahu, keramaian Senin lalu disebabkan Partai Berkarya sedang punya hajatan. Partai baru peserta pemilu yang didirikan Tommy Soeharto itu sedang menyelenggarakan rapat konsolidasi nasional.
ADVERTISEMENT
Tuji memang tak begitu mengenal anak-anak Sang Jenderal. Bagi warga desa biasa macam dia, Soeharto adalah sosok ikonik yang terasa lebih dekat. Perjalanan hidup si anak petani hingga bisa jadi presiden jadi legenda tersendiri di Kemusuk. Penduduk desa macam Tuji tak ada pilihan lain selain bangga.
Maka jadi tak heran apabila 32 tahun kediktatoran Soeharto sebatas dikenang Tuji sebagai periode aman. Itulah kesan mendalam dia soal kepemimpinan Pak Harto.
Namun demikian, sikap berbeda ditunjukkan Tuji menyangkut kondisi saat ini. Dari pengakuannya, ia tidak termakan mentah-mentah oleh slogan restorasi Orde Baru, “penak jamanku, tho” yang kerap didengungkan. Ia mengaku tak terlalu merindu dengan masa keemasan keluarga Cendana itu.
Baginya, baik di bawah kepemimpinan rezim Soeharto maupun di era pasca-Reformasi, kondisi hidupnya sama saja. Sama-sama sulit.
ADVERTISEMENT
Tommy dan Titiek Soeharto (Foto: Romeo Gacad/AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Tommy dan Titiek Soeharto (Foto: Romeo Gacad/AFP)
Soal Partai Berkarya yang sempat hajatan di Kemusuk itu, Tuji memang sempat mendengar bahwa anak-anak Pak Harto masuk partai baru dengan simbol yang sama-sama beringin. Namun, itu tak otomatis membuatnya memilih Berkarya di Pemilu 2019.
“Pikir-pikir dulu. Apa program yang ditawarkan, dan apa itu bisa dipercaya atau nggak, gitu lho,” ujar Tuji.
Apalagi, imbuhnya, sekarang banyak partai-partai baru bermunculan. Dan ia, sebagai rakyat jelata, sadar benar bahwa partai-partai itu kerap hanya manis di bibir.
Apalah artinya semua partai baru dengan program-program bagus itu bila hidup orang kecil sepertinya tak banyak berubah. “Awalnya janji manis, tapi kemudian kondisinya sama saja, gitu to?” kata Tuji.
Selain terhadap Berkarya, Tuji juga menyimpan keraguan yang sama terhadap putra bungsu Pak Harto, Mas Tommy. Kalaupun Tommy mencalonkan diri calon presiden, ia masih tidak yakin dengan kemampuan memimpin si putra mahkota Cendana.
ADVERTISEMENT
“Saya belum yakin 100 persen. Saya nggak langsung percaya bakal bagus. Biarpun dia (Tommy) masih keluarga Cendana,” kata Tuji.
Martini, ibu rumah tangga di Kemusuk, juga sependapat dengan Tuji. Ia tak banyak tahu soal anak Soeharto meski mengakui merasa kehadirannya lewat sembako yang rutin dibagikan Titiek Soeharto.
Soal Partai Berkarya, Martini lebih-lebih tak tahu. Partai itu asing di telinganya, dan ia akan berpikir dua kali untuk mencoblos Berkarya di Pemilu 2019 meski ia rindu amat sangat pada Pak Harto.
ADVERTISEMENT
Martini ingat, ketika Soeharto lengser tahun 1998, para penduduk desa ikut bersusah hati. “(Sekarang) saya belum bisa menentukan. Masih pikir-pikir,” ujarnya.
Ngadiyono, Kepala Dusun Kemusuk Kidul, punya pendapat berseberangan dengan Tuji dan Martini. Menurut hematnya, runtuhnya Orde Baru menyebabkan perekonomian rakyat tambah sulit.
Ia berpendapat, di era Pak Harto, harga-harga kebutuhan pokok senantiasa stabil dan terjangkau. Urusan mengisi perut pun murah meriah serta mengenyangkan.
“Tahun 1988, saya jualan bensin di pinggir jalan, harga bensin Rp 375 per liter. Harga rokok juga murah segitu. Makan Rp 5 ribu juga sudah kenyang. Kalau kata orang tua, “penak jaman biyen,” ujarnya. Enak masa lalu.
ADVERTISEMENT
Tapi, di era itu, tak cuma bahan pokok saja yang harganya murah. Nyawa lebih murah lagi.
Pada masa pemerintahan jenderal murah senyum itu, menurut John Rossa dalam Dalih Pembunuhan Massal, ratusan ribu orang dibantai berlandaskan hantu komunisme. Ini belum menghitung peristiwa Talangsari dan Tanjung Priok.
Kenangan romantik Ngadiyono tentang kepemimpinan Soeharto itu membikinnya tak ragu untuk mendukung program restorasi Orde Baru yang dikampanyekan Partai Berkarya. Terlebih, program politik itu dipimpin langsung oleh darah daging Pak Harto, Tommy dan Titiek Soeharto. Sosok yang, menurutnya, sudah dikenal oleh rakyat desa macam dirinya.
“Ya jelas mendukung (kembalinya Orde Baru). Masyarakat kan kepinginnya juga apa-apa murah, enak, aman. Mudah-mudahan partainya bisa baik, banyak pendukungnya bisa kaya dulu lagi,” kata dia.
ADVERTISEMENT
Ngadiyono, Kepala Dusun Kemusuk Kidul. (Foto: Agritama Prasetyanto/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ngadiyono, Kepala Dusun Kemusuk Kidul. (Foto: Agritama Prasetyanto/kumparan)
Namun, Ngadiyono tetap mewanti-wanti. Menurutnya, Partai Berkarya belum terlalu dikenal orang banyak, terutama generasi tua macam dirinya. Padahal, jargon “penak jamanku, tho,” mestinya menyasar golongan tua yang pernah merasakan “penaknya” Orde Baru macam dia.
“Masyarakat di sini belum tahu sepenuhnya tentang Partai Berkarya. Kalau yang muda-muda (mungkin) udah tahu, tapi kalau yang tua-tua nggak tahu karena partainya juga baru,” jelasnya.
Di Kemusuk, desa kecil yang sepi di pinggir Kota Yogya, Partai Berkarya memulai ikhtiarnya untuk mengembalikkan “Orde Baru”. Mengembalikan kerinduan itu.
Namun, apabila di desa yang pasokan sembako Cendana rutin diberikan saja masyarakat tak rindu-rindu amat, bagaimana cara Berkarya (dan Cendana) membayar kerinduan di tempat-tempat yang selama ini tak terjamah?
ADVERTISEMENT
------------------------
Ikuti manuver putra-putri Soeharto dalam rangkaian ulasan mendalam Cendana is Back di Liputan Khusus kumparan.