Politisi Gerindra, Ahmad Riza Patria, diskusi 'Potensi Golput di Pemilu 2019'

Riza Patria: Demokrat Lebih Cocok dengan Gerindra daripada PDIP

13 Mei 2019 12:59 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Politisi Gerindra, Ahmad Riza Patria pada saat mengisi acara diskusi dengan tema 'Potensi Golput di Pemilu 2019' di Komplek Parlemen, Jakarta, Senin (18/2). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Politisi Gerindra, Ahmad Riza Patria pada saat mengisi acara diskusi dengan tema 'Potensi Golput di Pemilu 2019' di Komplek Parlemen, Jakarta, Senin (18/2). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Anggota Badan Pemenangan Nasional Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno, Riza Ahmad Patria, tak ambil pusing soal sikap Partai Demokrat dalam koalisi. Gelagat partai yang dipimpin oleh Susilo Bambang Yudhoyono itu kian menjauh dari dari BPN Prabowo Sandi. Tapi Riza yakin Demokrat takkan berpaling dari koalisi.
“Cuma yang kami pahami, Partai Demokrat itu lebih cocok dengan Partai Gerindra daripada dengan PDIP dan dengan Pak Jokowi,” ujarnya ketika ditemui di Kantor KPU, Jakarta, pada Jumat lalu (10/5).
Paling tidak ada tiga peristiwa yang menunjukkan kian kendurnya Partai Demokrat dalam koalisi. Pertama, pernyataan SBY terkait gelar Kampanye Akbar Prabowo-Sandi di Gelora Bung Karno, Jakarta pada Minggu 7 April lalu.
SBY melayangkan surat kepada petingginya agar memberi pesan kepada Prabowo untuk menggelar kampanye yang mencerminkan kemajemukan. Surat itu ditujukan untuk Sekretaris Majelis Tinggi Amir Syamsuddin, Wakil Ketua Umum Syarief Hasan, dan Sekjen Hinca Panjaitan.
“Cegah demonstrasi apalagi show of force identitas, baik yang berbasiskan agama, etnis serta kedaerahan, maupun yang bernuansa ideologi, paham dan polarisasi politik yang ekstrem,” ujar SBY dalam penggalan suratnya.
Kedua, pertemuan putra sulung SBY, Agus Harimurti Yudhoyono dengan Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Kamis (2/5). Pertemuan itu membahas soal mewujudkan Indonesia yang lebih baik. Namun, tidak ada pembahasan soal koalisi.
Ketiga, pernyataan politikus Partai Demokrat Andi Arief soal ‘setan gundul’. Andi berkicau melalui akun Twitter-nya bahwa setan gundul ini yang membisiki Prabowo soal kemenangan 62 persen. Partai Demokrat, kata Andi, ingin menyelamatkan Prabowo dari perangkap sesat yang memasok angka kemenangan 62 persen.
Tiga peristiwa itu harusnya menunjukkan gelagat tak sedap Partai Demokrat dalam koalisi. Lalu apa yang membuat Riza yakin Partai Demokrat takkan mengalihkan dukungannya dalam koalisi?
Simak wawancara kumparan dengan Anggota BPN Prabowo Sandi sekaligus Ketua DPP Partai Gerindra, Ahmad Riza Patria ketika sedang mengawasi rekapitulasi suara di KPU, pada Jumat (10/5).
Calon presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto memberikan orasi politik saat melakukan kampanye akbar di Stadion Utama GBK. Foto: Reuters/Willy Kurniawan
Partai Demokrat berkali-kali menunjukkan sikap tak sejalan dengan BPN Prabowo-Sandi, misal saja ketika SBY mengkritik kampanye akbar Prabowo-Sandi di Gelora Bung Karno, apakah ada masalah dalam koalisi?
Sebenarnya nggak ada masalah. Kalau saya bahas soal Pak SBY memberi masukan soal kampanye, kan enggak masalah. Pak SBY kan memahami kampanye itu sebagaimana kampanye-kampanye biasanya.
Memang sekarang kan fenomenanya sudah beda. Ini fenomena global. Itu ada politik identitas namanya. Yang saya maksud dengan politik identitas itu adalah terjadi perubahan di dunia, termasuk di Indonesia. Di Amerika, di Inggris, di Cina. Jadi pola kampanye juga sekarang beda.
Kalau kemarin banyak umat Islam, katakanlah mendukung koalisi Prabowo-Sandi, biasa saja. Indonesia kan mayoritas muslim. Kalau sekarang tambah selawat, tambah pakai zikir, biasa itu kan. Namanya umat Islam habis salat Jumat kemudian kampanye, ya biasalah. Enggak ada yang beda.
Bedanya kan cuma kemarin ketika di GBK ada salat subuh dan salat tahajud dulu. Enggak apa-apa. Sesuatu yang biasa. Itu artinya bangsa Indonesia selain konstitusional, (juga) religius. Dan memang idealnya begitu. Bukan kampanye joget-joget dangdut yang seronok begitu lho. Itu bukan identitas Indonesia. Indonesia tuh yang sopan, yang santun, pakai busana muslimah. Karena mayoritas rakyat Indonesia muslim, kan idealnya begitu.
Soal masukan Pak SBY, saya kira sesuatu yang baik saja. Mungkin Pak SBY lihat kok seperti terlalu kelihatan (membawa identitas tertentu). Tetapi nggak apa-apa.
Tetapi kan yang hadir hebatnya itu, yang hadir semua agama lho. Dikasih kesempatan juga bicara. Bahkan Pak Prabowo itu duluan lho di setiap acara dari 10 tahun yang lalu di internal Gerindra itu baca doa. Semua agama diberi kesempatan. Itu pas Pak Prabowo.
Hinca Panjaitan (kiri) dalam Konfernsi Pers Partai Demokrat soal Surat SBY untuk Kampanye Akbar Prabowo-Sandi. Foto: Paulina Herasmaranindar/kumpar
Andi Arief menyebutkan ada ‘setan gundul’ yang jadi pembisik Prabowo soal kemenangan 62 persen dan mendorongnya untuk deklarasi kemenangan. Bagaimana sikap BPN Prabowo Sandi pernyataan ini?
Kalau Andi Arief kita paham lah. Setiap orang kan ada karakter masing-masing. Ya udah, nggak usah kita pusingkan. Andi Arief begitu, enggak usah kita ributkan, jangan disikapi berlebihan. Andi Arief kan aktivis, gayanya memang begitu.
Partai Demokrat disebut-sebut tidak suka dengan kehadiran setan gundul itu. Apakah partai koalisi lain juga merasakan hal yang sama?
Nggak. Itu miskomunikasi, jadi 62 persen itu adalah survei yang disampaikan Hidayat Nur Wahid. Sementara Partai Demokrat menyampaikan 62 persen itu adalah survei internal ketika ingin memutuskan koalisi antara Prabowo dan Jokowi. Ternyata di survei internal 62 persen, komunitas, kelompok, dari pengurus Partai Demokrat itu memilih Prabowo. Akhirnya Pak SBY memutuskan partainya memilih Prabowo sebagai calon presiden yang didukung. Sesederhana itu sebenarnya.
Politikus PKS Hidayat Nur Wahid sebelumnya mengira bahwa Demokrat-lah yang menyatakan Prabowo menang 62 persen. Ternyata angka tersebut adalah persentase kader Demokrat yang mendukung Prabowo.
Tapi sebetulnya angka 62 persen yang disebutkan Prabowo ketika deklarasi kemenangan itu dari mana? Kenapa ada beda versi antara exit poll, quick count, dan real count?
Nggak beda-beda. Kami kan punya hitungan internal sendiri yang memang kita dapat masukan. Jadi masukan itu kan macam-macam, dari internal, dari institusi lain yang nggak bisa kita sebut.
Dari survei kami sebelumnya di internal itu surveinya enam puluh dua koma sekian persen. Makanya satu malam sebelum hari-H, Pak Prabowo mengumumkan di Kertanegara. Berdasarkan survei internal, kita mendapat enam puluh dua koma sekian. Itu hasil survei kami disampaikan.
Pada hari pencoblosan, Rabu (17/4), Prabowo mengklaim kemenangannya atas pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin. Ia menyebut hasil exit poll menunjukkan kemenangannya di angka 55,4 persen dan quick count 52,2 persen. Sedangkan real count menang dengan angka 62 persen berdasarkan data dari 320 ribu TPS atau sekitar 40 persen dari jumlah TPS keseluruhan.
Kemudian terkait pertemuan AHY dan Presiden Jokowi di Istana Kepresidenan, apakah koalisi sudah membicarakan hal itu sebelum terjadi pertemuan?
AHY bertemu Jokowi itu kan biasa. Presiden menemui AHY kan biasa. Sebagai presiden dia merasa perlu ketemu, dia mengundang. Ya namanya presiden yang mengundang, AHY sebagai warga negara dia hadir. Saya kira baik dan itu pembicaraan normatif saja. Biasa saja. Enggak usah disikapi berlebihan.
Presiden Joko Widodo berbincang dengan Agus Harimurti Yudhoyono. Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden - Rusman
Apakah AHY sempat bicara ke koalisi kalau akan ada pertemuan?
Nggak, kami memahami. Tapi kan kami komunikasi. Kan kami setiap hari komunikasi. Biasa, kami rutin ketemu.
Jadi, partai koalisi nggak keberatan dengan pertemuan itu?
Nggak, nggak ada keberatan. Kami memahami kenapa Pak Jokowi mengundang AHY. Pak Jokowi kan cari teman, cari dukungan. Dia tahu AHY kalau diundang pasti datang sekalipun itu sarat dengan kepentingan politik. Saya paham dan saya mengerti kenapa dia (Jokowi) begitu. Ya namanya politik, permainan politik.
Bagaimana dengan reaksi Prabowo terhadap pertemuan itu?
Biasa saja. Kami nggak pernah menyikapi berlebihan. Nggak ada masalah.
Tidak ada kekhawatiran Partai Demokrat menyeberang ke petahana?
Demokrat itu susah ketemu sama PDIP, menurut saya pribadi. Ya, kita tahu Ibu Mega. Nanti kalau Prabowo jadi presiden, baru Demokrat jadi menteri. Kalau Pak Jokowi jadi presiden, nggak akan ada kader Partai Demokrat jadi menteri. Menurut saya, sulit ya. Justru Partai Demokrat tuh cocoknya sama Prabowo.
Prabowo sambut kedatangan SBY di Monas. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan dan Indra Fauzi/kumparan
Bagaimana jika tiba-tiba Partai Demokrat menyeberang?
Kami memahami dan mengerti sikap politik partai masing-masing. Kami menghormati, dan menghargai sikap politik partai lain. Kami tidak mencampuri apalagi intervensi. Cuma yang kami pahami, Demokrat itu lebih cocok dengan Gerindra daripada dengan PDIP dan dengan Pak Jokowi.
Berarti sejauh ini Demokrat baik-baik saja dengan partai koalisi?
Baik saja, enggak ada masalah. Partai Demokrat, PAN, PKS, baik saja. Biasa lah kalau dari kubu sebelah ingin mencoba rayu-rayu, silakan aja. Biasa, namanya orang merayu masa enggak boleh. Yang penting yang dirayu mesti tahulah posisinya. Kita tetap solid, tetap kompak.
Bagaimanakah dengan komunikasi antara parpol dengan tokoh non parpol dalam BPN Prabowo-Sandi?
Hubungan bukan baik lagi, setiap hari kumpul tuh. Setiap kali kumpul, ngerumpi, diskusi, berdebat. Semua lengkap. Rapat tiap hari, nggak pernah nggak.
Apa Mau Demokrat? Foto: Basith Subastian/kumparan
Juga dengan barisan ulama?
Semua elemen. Internal, rapat partai, kumpul DPR, tim sukses, relawan-relawan, emak-emak juga kumpul terus. Semua kumpul, nggak pernah berhenti. Kumpul-kumpul ini terus dilakukan.
Meskipun begitu, kenapa nampaknya barisan ulama lebih mendominasi kubu 02 daripada partai koalisinya sendiri?
Sebenarnya nggak mendominasi. Sama. Semua kan yang menentukan partai koalisi, bukan ulama. Yang secara legal formal itu ya partai dong, ketua umum dan sekjen. Cuma ulama sekarang itu karena lebih mengental jadi sangat kelihatan fenomenal. Padahal enggak.
Prabowo itu dari dulu menemui semua orang. Cuma mungkin nggak biasa lah. Kalau dulu petani, buruh, nelayan, aktivis. Sekarang ada yang beda memang. Apa? Emak-emak sekarang mendominasi. Wajarlah emak-emak peduli. Sekarang ulama mendominasi, wajar.
Artinya apa? Ulama-ulama yang dulu enggak peduli isu politik, sekarang peduli. (Mereka) Paham bahwa kebijakan tentang agama dan tentang umat, ada pada pemimpin. Sekarang ulama peduli. Itu kan sesuatu yang baik.
Calon Presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto (tengah) didampingi Tim Badan Pemenangan Nasional (BPN) melakukan klaim kemenangan di Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan. Foto: ANTARA FOTO/Galih Pradipta
Kaum intelektual, akademisi, dulu nggak terlalu peduli. Sekarang mereka peduli. Dokter saja sekarang peduli. Kan itu sesuatu yang bagus. Fenomenanya sudah bagus. Jadi demokrasi kita luar biasa.
Partisipasinya kan meningkat 80 persen. Berarti kan kepeduliannya tinggi. Memang harus begitu. Kita harus mensyukuri banga Indonesia itu, selain tingkat partisipasinya, kelompok-kelompok yang tadinya tidak peduli pada politik, sekarang peduli. Melek politik itu penting. Yang penting kita jangan anarkis, jangan ribut. Itu saja.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten