news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Rocky Gerung vs Filsuf Lintas Kampus

5 Maret 2019 10:56 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Rocky Gerung saat diwawancara di kantor kumparan. Foto: Fitra Andrianto/kumparan
Filsafat yang biasanya kesepian, menyendiri, dan jauh dari popularitas, kini justru riuh dan menarik perhatian publik. Perhatian itu dipicu aksi eks dosen filsafat UI Rocky Gerung yang vokal mengkritik pemerintah.
ADVERTISEMENT
Kritikan itu, kerap dibalut dengan kata-kata yang memikat, serta dengan istilah yang kadangkala tak biasa, rumit.
Di kalangan akademisi filsafat lintas kampus, langkah Rocky itu justru mendapat kritikan keras. Sejumlah akademisi dan budayawan seperti Donny Gahral Adian (Dosen Filsafat UI), Ahmad Sahal (Alumnus STF Driyarkara), Goenawan Muhammad (Sastrawan), hingga Mochtar Pabottingi (Pemerhati Politik), berkumpul di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, beberapa pekan lalu. Mereka berkumpul untuk merespons tindak tanduk Rocky.
“Stop menggunakan filsafat untuk merusak demokrasi, biarkan kekuasaan di tangan rakyat, bukan di tangan siasat, bukan di tangan retorika, orang-orang yang menghipnotis publik dengan kata-kata yang agung tapi maknanya tidak ada. Jangan terpukau dengan kata-kata yang indah tapi sebetulnya penuh inkonsistensi,” kata Donny Gahral Adian.
Sejumlah akademisi filsafat lintas kampus berkumpul di diskusi 'Menolak Pembusukan Filsafat', Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (13/2). Foto: Rizki Baiquni/kumparan
Diskusi itu sendiri dihadiri seratusan orang peserta. Turut hadir Toeti Heraty (Guru Besar Filsafat UI), Romo Mudji (Guru Besar Filsafat STF Driyarkara), hingga Komarudin Hidayat (Guru Besar Filsafat Agama UIN Jakarta). Tema diskusi yang terbilang serius ini adalah ‘Menolak Pembusukan filsafat’.
ADVERTISEMENT
Dalam diskusi itu pula, disiplin filsafat yang dimiliki Rocky dipertanyakan. Donny bahkan mengungkapkan filsafat di tangan Rocky menjadi ancilla (budak) dari kepentingan politik.
“Kalau mau ancilla politica (budak politik) ya sudah, resmikan saja menjadi agitator dan propagandator untuk kepentingan politik tertentu. Jangan klaim as philosopher. Turunkan saja kefilsafatan anda (Rocky) menjadi ahli propaganda atau agitator. Itu lebih pas. Karena tidak menerangi apa-apa, malah menggelapi,” katanya.
Dosen Filsafat UI Donny Gahral Adian dalam diskusi 'Menolak Pembusukan Filsafat', Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (13/2). Foto: Rizki Baiquni/kumparan
Sementara itu, Goenawan Muhammad yang juga menjadi pembicara menuturkan, saat ini filsafat dalam keadaan terganggu. Itu karena, orang lebih suka bermain media sosial dan membaca cuitan yang pendek-pendek. Sehingga tercipta suatu pembusukan.
“Karena tidak ada daya kritis, tidak ada penulisan, tidak ada diskusi. Sehingga dunia pemikiran mengalami kerusakan. Artinya, tidak maju lagi seperti membusuk,” kata Goenawan.
ADVERTISEMENT
Goenawan bahkan menyindir salah satu acara diskusi televisi swasta. Menurutnya, acara tersebut sama sekali tidak dapat mencerahkan publik. Dia juga mempertayakan apakah acara itu layak disebut sebagai diskusi.
“Contohnya yang di Indonesia Lawyer Club (ILC) itu, bukan bertukar pikiran, ngotot-ngototan. Akhirnya yang penting bukan kebenaran, yang penting adalah suara yang paling ramai. Karena itulah saya nggak pernah nonton. Maksud saya jangan menghabiskan waktu untuk bertukar pikiran (berdebat) yang bukan pertukaran pikiran. Bikin klub filsafat gitu saja,” tutur dia.
Diskusi lalu ditutup dengan deklarasi “Menolak Pemiskinan dan Pembusukan Filsafat di Ruang Publik’. Ada enam poin utama dalam deklarasi itu. Salah satunya, menolak praktik sofisme. Yakni permainan tipu daya berbungkus kelihaian silat lidah dan permainan kata yang seolah-oleh argumentatif, tetapi sebetulnya tidak.
Sejumlah akademisi filsafat lintas kampus berkumpul di diskusi 'Menolak Pembusukan Filsafat', Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (13/2). Foto: Rizki Baiquni/kumparan
Dalam esai yang diedarkan di acara diskusi, Setyo Wibowo (Dosen STF Driyarkara), yang seharusnya menjadi pembicara, tetapi berhalangan hadir menjelaskan, sofisme merupakan filsafat kw premium. Artinya, ada seseorang yang seolah-olah berfilsafat, tetapi sebetulnya tidak.
ADVERTISEMENT
Setyo lalu mencontohkan ujaran ‘kitab suci fiksi’ dan ‘jalan tol yang memisahkan’. Menurutnya, kedua ujaran tersebut tidak dapat dilontarkan begitu saja. Meski filsafat merupakan ilmu yang konseptual, tetap perlu data penunjang untuk membuktikan klaim tersebut.
“Kalau orang merasa tahu apa itu ‘kitab suci’, orang merasa tahu tentang apa itu ‘fiksi’, lalu orang merasa tahu bahwa ‘kitab suci adalah fiksi’, maka baik juga bahwa orang itu terbuka dan menerima bahwa di situ ada potensi ‘ketidaktahuan’,” tulis Setyo.
Ilustrasi pembangunan jalan tol. Foto: Aditya Pradana Putra/Antara Foto
“Kalau kita hanya beropini “out of nothing”, tentu kita bisa ngomong apa pun. Namun sekali lagi, supaya tidak jatuh dalam omdo (omong doang), opini tentang ‘jalan tol’ sebaiknya menggunakan data,” imbuhnya.
Dalam salah satu kesempatan di ILC pada Selasa (5/2)., Rocky memang menilai bahwa pembangunan jalan tol merugikan masyarakat. Dia juga menyebut pembangunan jalan tol hanya membuat emak-emak di majelis taklim gagal berkumpul, serta membuat sepasang kekasih menjadi terpisahkan karena jalan.
ADVERTISEMENT
Setyo lantas menguraikan bahwa di Yunani kuno pernah ada seorang sofis bernama Kritias. Kritias ini sangat terobsesi dengan filsafat sebagai ilmu atas segala ilmu yang mempu membahas segala-galanya.
Patung filsuf Socrates di Yunani. Foto: Pixabay
Socrates lantas mengkritik Kritias. Bagi Socrates, kalau filsafat memang mampu membahas segala-galanya, maka artinya filsafat merupakan ilmu atas segala ilmu sekaligus apa saja yang bukan ilmu.
“Filsafat tidak boleh melalaikan fakta keras bernama data, supaya tidak menjadi obrolan yang menggelapkan, supaya tidak jatuh menjadi filsafat KW (palsu),” katanya.
kumparan telah mencoba menanyakan perihal ini ke Rocky Gerung. Namun, hingga berita ini ditayangkan, Rocky belum bersedia berkomentar.
Meski demikian, Rocky dalam sebuah kesempatan di acara HUT ke-11 TVOne sempat menyinggung diadakannya diskusi tersebut. Dia mengatakan, diskusi tersebut tak menawarkan akal sehat.
ADVERTISEMENT
“Saya bilang saya enggak mungkin datang ke situ, karena itu bicara soal sampah. Bukan sampah sih, kok saya bilang sampah ya. Temanya pembusukan filsafat, jadi di pikiran saya sampah yang membusuk. Jadi saya hindari,” kata Rocky di Hotel Borobudur, Jakarta, Kamis (14/2).
Rocky Gerung saat diwawancara di kantor kumparan. Foto: Fitra Andrianto/kumparan
Rocky pun mempertanyakan pernyataan seorang jurnalis senior yang meminta orang agar tidak menonton Indonesia Lawyer Club (ILC). Menurut Rocky, ILC justru menawarkan akal sehat dibandingkan dengan diskusi yang diadakan di Cikini itu.
“Saya mau kasih catatan, bahwa di diskusi kemarin ada jurnalis senior di dalam pemaparannya meminta supaya jangan menonton ILC. Itu agak ajaib, jurnalis menganjurkan jangan menonton akal sehat. Saya merasa ILC bukan lawyer club, tp Indonesia Logician Club,” tambah Rocky.
ADVERTISEMENT
Terkait dengan tuduhan yang dilayangkan bahwa dirinya merupakan seorang sofis, Rocky menepisnya. Hal itu karena, kata Rocky, sofis dalam sejarahnya di Yunani kuno justru berada di sisi pemerintah, bukan pengkritik pemerintah.
“Dulu di Athena, para pengabdi itu namanya kaum sofis. Mereka disewa untuk membenar-benarkan kekuasaan. Sekarang namanya konsultan politiklah kaum sofis itu. Sekarang namanya komisaris, itu juga kaum sofis karena digaji di situ. Jadi sejak awal kaum sofis memang hidup di dalam demokrasi. Lawan dari kaum sofis adalah mereka yang berupaya untuk menantang kekuasaan. Itulah para filsuf,” jelas Rocky.
“Jadi ini terbalik-balik. Yang menantang kekuasaan dianggap kaum sofis. Jadi ada banyak intelektual kita yang enggak paham asbabun nuzul dari kaum sofis itu. Tukang buat meme demi kekuasan namanya kaum sofis. Mereka yang berkumpul untuk menghalangi akal sehat adalah kaum sofis juga. Jadi suka salah kaprah,” imbuhnya.
ADVERTISEMENT