Saling Sikut Partai Pendukung Jokowi demi Kursi RI-2

19 April 2018 7:48 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Muhaimin Iskandar, Romahurmuziy, dan Airlangga. (Foto: Iqbal Firdaus/kumparan & Antara/Aji Setyawan)
zoom-in-whitePerbesar
Muhaimin Iskandar, Romahurmuziy, dan Airlangga. (Foto: Iqbal Firdaus/kumparan & Antara/Aji Setyawan)
ADVERTISEMENT
Sejumlah partai pendukung Jokowi di Pilpres 2019 tampaknya lebih sibuk berebut posisi cawapres Jokowi daripada berkonsolidasi untuk strategi pemenangan. Yang paling nampak adalah manuver Ketum PKB, PPP, dan Golkar untuk mengincar pendamping Jokowi di 2019.
ADVERTISEMENT
Baik Muhaimin Iskandar, M. Romahurmuziy, dan Airlangga Hartarto melakukan langkah masing-masing untuk mendekat ke Jokowi. Akibatnya, saling sindir antar ketiga parpol itu tak terhindarkan.
Masing-masing mengklaim, parpolnya merupakan parpol paling setia ke Jokowi. Namun, apakah saling sikut antarparpol pendukung itu justru bisa merugikan Jokowi sebagai capres di 2019?
A. Muhaimin Iskandar dan Joko Widodo (Foto: Instagram@cakiminow)
zoom-in-whitePerbesar
A. Muhaimin Iskandar dan Joko Widodo (Foto: Instagram@cakiminow)
Pengamat politik dari Universitas Paramadina Hendri Satrio mengatakan, upaya masing-masing parpol yang fokus untuk merebut kursi cawapres berpotensi merugikan Jokowi. Sebab, upaya konsolidasi terhambat.
"Saling sikut bisa jadi pecah. Tapi ini memang perjalananya masih jauh. Artinya pilkada belum selesai. Terus kemudian banyak hal yang perlu dilakukan selama pilkada belum selesai. Jadi memang mereka terus-terusan usahanya berebut kursi cawapres," ucap Hendri, saat dihubungi kumparan (kumparan.com), Rabu (18/4).
ADVERTISEMENT
Namun, Hendri mengatakan, sikap PKB, PPP, dan Golkar yang terus berupaya menyodorkan nama ketumnya selain untuk menarik perhatian Jokowi, juga untuk mencuri perhatian publik. Sebab, saat ini, elektabilitas ketiga parpol itu masih rendah.
"Apa yang mereka lakukan untuk menarik perhatian publik, untuk meningkatkan elektabilitas publik. Saya yakin kalau Jokowi minta berhenti, mereka berhenti," lanjut dia.
Joko Widodo di Universitas Islam Malang. (Foto: dok. Biro Pers Setpres)
zoom-in-whitePerbesar
Joko Widodo di Universitas Islam Malang. (Foto: dok. Biro Pers Setpres)
Hendri melihat saling berebut kursi cawapres wajar terjadi. Sebab, dengan mendapat kursi cawapres, manfaat elektoral yang akan didapat tentu jauh lebih besar dibandingkan pengusung.
"Itu pasti pikirannya ke (Pilpres) 2024. Karena kalau bisa dapat kursi cawapres, melangkah ke 2024 tentu lebih mudah," lanjut dia.
Lebih lanjut, Hendri menjelaskan, sebaiknya PKB, PPP, dan Golkar lebih realistis. Apalagi, masing-masing ketum partainya, tak masuk ke dalam lima besar tokoh dengan elektabilitas tertinggi sebagai cawapres.
ADVERTISEMENT
"Bahkan, dari survei Kedai Kopi, ketum parpol tidak masuk ke lima besar. Jadi rebutan kursi ini bukan jadi hal utama," lanjut dia.
Saling sindir antar ketiga partai tersebut makin santer terdengar. Ketua DPP PKB Jazilul Fawaid menyindir apa yang dilakukan Romahurmuziy (Romy). Ia menyebut upaya Romy mendekati Jokowi sebetulnya hanya upaya untuk menyelamatkan PPP agar tak bubar di Pemilu 2019.
Jokowi dan Airlangga  (Foto: Dok. Airlangga Hartarto)
zoom-in-whitePerbesar
Jokowi dan Airlangga (Foto: Dok. Airlangga Hartarto)
Jazilul juga menyebut Romy hanya rajin selfie dengan Jokowi tanpa memberikan kontribusi positif. Bahkan, PKB mengkritik kinerja menteri PPP di kabinet yaitu Menag Lukman Hakim Saifuddin yang gagal melindungi Jokowi dari berbagai isu berkaitan dengan agama.
Tak mau kalah, PPP menantang Cak Imin agar berdebat dengan Romy. Sekjen PPP Arsul Sani mengatakan lebih baik Romy dan Cak Imin berdebat di ruang publik untuk mengetahui potensi masing-masing. PPP juga mempertanyakan kontribusi 4 menteri PKB di Kabinet Jokowi.
ADVERTISEMENT
PKB juga melontarkan serangan ke Golkar. PKB menyebut Golkar mendekat ke Jokowi hanya ketika mantan Gubernur DKI itu sudah menjadi presiden. Di 2014, Golkar berada di koalisi yang berseberangan dengan Jokowi. PKB juga menyebut Golkar mendekati Jokowi hanya karena ada kepentingan politik di 2019.