Saling Sindir PSI dengan PDIP-Golkar soal Perda Syariah

15 Maret 2019 8:07 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua Umum PSI Grace Natalie (kiri) saat menghadiri konsolidasi politik dengan ratusan kader PSI di Medan. Foto: Rahmat Utomo/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Umum PSI Grace Natalie (kiri) saat menghadiri konsolidasi politik dengan ratusan kader PSI di Medan. Foto: Rahmat Utomo/kumparan
ADVERTISEMENT
Acuan Grace Natalie adalah Michael Buehler. Buku berjudul "The Politics of Shari’a Law" (2016) ia gunakan untuk 'menyerang' PDIP dan Golkar.
ADVERTISEMENT
"Bagaimana mungkin disebut partai nasionalis, kalau diam-diam menjadi pendukung terbesar Perda Syariah?" ujar Grace di hadapan ribuan kader PSI di acara Festival 11 PSI di Medan, Senin (11/3).
"Dari penelitiannya [Buehler] menyimpulkan bahwa PDIP dan Golkar terlibat aktif dalam merancang, mengesahkan, dan menerapkan 443 Perda Syariah di seluruh Indonesia. Penelitian Robin Bush juga menyimpulkan hal yang sama. Ini bukan saya, lho, yang bilang. Saya hanya membacakan kesimpulan riset ilmiah," sambungnya.
Buehler merupakan seorang dosen senior di Departemen Politik dan Studi Internasional di University of London, Inggris. Dia juga menjabat guru besar ilmu politik di Northern Illinois University, Amerika Serikat.
Dalam bukunya, Buehler memang menjelaskan soal 443 Peraturan Daerah Syariah yang diadopsi dalam kurun 1998 dan 2013. Peraturan itu diterapkan di sejumlah provinsi, yakni Jawa Barat (103), Sumatera Barat (54), Sulawesi Selatan (47), Kalimantan Selatan (38), Jawa Timur (32) dan Aceh (25). Menariknya, bukan partai islamis yang menjadi inisiator perda syariah, melainkan partai nasionalis, termasuk PDIP dan Golkar.
ADVERTISEMENT
Masih kata Buehler, di tingkat DPRD di semua provinsi, Golkar dan PDIP paling sering mengadopsi perda syariah. Golkar meraih suara terbanyak dalam pembahasan rancangan perda syariah di empat kabupaten. Begitu pula dengan PDIP yang menyuarakan perda syariah di delapan kabupaten.
Grace lalu juga menyindir keberadaan partai-partai nasionalis yang secara tak langsung mendiskriminasi kaum minoritas di Indonesia. Salah satunya terhadap kasus Meliana, perempuan yang dipenjara karena mengeluhkan pengeras suara azan dari Masjid Al-Maksum Tanjungbalai, Sumatera Utara, pada Juli 2016.
Ketua Umum PSI Grace Natalie (tengah) saat menghadiri konsolidasi politik dengan ratusan kader PSI di Medan. Foto: Rahmat Utomo/kumparan
Dan sederet kasus diskriminasi yang diklaim Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) itu hanya partainya yang lantang menentang. Misalnya, peristiwa penyegelan tiga gereja di Jambi pada 27 September 2018, lantaran ada ancaman dan desakan massa. Sindiran ke partai nasionalis pun semakin merembet.
ADVERTISEMENT
"Ke mana kalian ketika rumah Ibu Meliana dibakar, pada saat anak-anaknya ada di dalamnya? Apa yang kalian lakukan ketika Meliana justru divonis bersalah dua tahun penjara? Kenapa cuma PSI yang mengirim kader menemui Ibu Meliana? Kenapa hanya Sekjen PSI Raja Juli Antoni, yang menjenguk Ibu Meliana di penjara, pada 5 Februari lalu. Hanya saya, ketua umum partai, yang datang menjenguk Ibu Meliana pagi ini," ungkapnya.
Grace langsung mendapat serangan balasan. Sekretaris Departemen Pemerintahan DPP PDIP, Hanjaya Setiawan, menilai Grace seharusnya bisa lebih bijaksana dalam berkomentar. Apalagi, PSI, PDIP, dan Golkar sepakat berkoalisi mendukung Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin di Pilpres 2019.
ADVERTISEMENT
"Menyerang sesama partai koalisi pendukung capres Jokowi (Joko Widodo) sungguh tidak elok dan tidak etis," kata Hanjaya saat dihubungi kumparan, Rabu (13/3).
"Bagi PDIP, kemenangan Jokowi adalah prioritas, serangan dari dalam (partai koalisi) dapat dikategorikan sebagai pengkhianatan," tegasnya. Hanjaya kini menunggu permintaan maaf Grace atas kegaduhan yang menyerang partai koalisi Jokowi-Ma'ruf tersebut.
Anggota Fraksi PDIP, Eriko Sotarduga dalam diskusi Dialektika Demokrasi bertajuk 'Menakar Efektivitas Debat Capres dalam Meraih Suara' di gedung parlemen DPR RI, Jakarta. Foto: Helmi Afandi/kumparan
Bukan hanya Hanjaya yang mengomentari kegaduhan ini. Wasekjen PDIP Eriko Sotarduga juga angkat bicara, kendati tak sekeras ujaran Hanjaya.
"Kalau dari kami dari PDIP, kami tidak merasa ada terganggu, itu sah-sah saja. Kan dilakukan namanya mau mendekati pemilu, mau mengambil momen, ya, bagian-bagian dari strategi politik, biar masyarakat yang menilai," kata Eriko di Gedung DPR, Senayan, Kamis (14/3).
ADVERTISEMENT
"Tidak bisa kita katakan kita menjamin dengan menjelekkan pihak lain terus kita mendapatkan efek positifnya. Masyarakat Indonesia juga tidak begitu senang dengan katakan menjelek-jelekan yang lain menunjukkan seolah-seolah kita sudah berbuat," imbuhnya.
Eriko justru menyerang PSI dengan isu berbeda. Ia mempertanyakan komitmen PSI untuk memenangkan Jokowi-Ma'ruf Amin dalam pilpres 2019. Pasalnya, PDIP tak menemukan satu banner PSI yang memasang foto Jokowi-Ma'ruf.
"Sekali lagi saya ingatkan di sini dengan segala kerendahan hati, Pak Jokowi kader PDIP, artinya PDIP sudah memberikan kader terbaik kepada bangsa ini. Ada mas Ganjar (Ganjar Pranowo, Gubernur Jateng), Banyuwangi (Bupati) Azwar Anas, Wali Kota Surabaya, Ibu Risma," ujarnya.
"Tapi kecil saja, apakah dari spanduk dalam banner, billboard, adakah Pak Jokowi sama Ma'ruf Amin di spanduk PSI?" tanya Eriko lagi.
ADVERTISEMENT
Golkar, yang juga disindir PSI soal perda syariah, mengingatkan PSI agar fokus memenangkan Jokowi-Ma'ruf. Wasekjen Golkar Dave Laksono tak habis pikir dengan sikap PSI yang membuat kegaduhan di internal koalisi.
Dave Laksono. Foto: Moh. Fajri/kumparan
"Karena akan menyebabkan perpecahan hingga akhirnya dapat mengalahkan calon kita bersama (Jokowi-Ma'ruf)," ucap politikus putra Dewan Pakar Golkar Agung Laksono itu.
"Mengapa tidak menyerang lawan koalisi? Masih banyak suara yang bisa digarap di luar koalisi," tutur Dave.
Meski begitu, juru Bicara PSI Dedek Prayudi memastikan apa yang disampaikan Grace adalah standpoint PSI atas ketidakpuasan rakyat terhadap partai lama. Bagi Dedek, PSI tetap berada di jalur yang benar, dan tak hanya sekadar memberikan kritik bagi partai lama. Dedek menegaskan hal ini tak berkaitan dengan dukungan untuk Jokowi-Ma'ruf di pilpres.
ADVERTISEMENT
"Partai lama sudah terlalu enak tidak dikritik, sehingga, sekalinya dikritik oleh kami, si anak bau kencur ini, mereka bereaksi lebay. Kritik kami tidak ada hubungannya dengan pilpres," kata Dedek ketika dihubungi kumparan.
Dedek menganggap seharusnya partai lama menerima kritikan itu. Sebab, sudah lebih dari dua dekade partai dan DPR menjadi institusi publik yang paling tidak dipercaya rakyat. Terlebih, untuk partai yang memiliki platform nasionalis.