Sampah Plastik yang Merobek Lambung Penyu dan Hati Dokter Dwi

6 Desember 2018 10:37 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Spesial Konten Mati Bergelimang Plastik (Foto: Iqbal Firdaus/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Spesial Konten Mati Bergelimang Plastik (Foto: Iqbal Firdaus/kumparan)
ADVERTISEMENT
Bagi Dwi Suprapti, penyu bukan hanya sekadar hewan biasa. Dwi begitu jatuh hati pada hewan bertempurung itu.
ADVERTISEMENT
Dwi merupakan seorang dokter hewan yang telah banyak menyelamatkan binatang laut, terkhusus penyu. Kecintaannya pada penyu membuat Dwi mengabdikan diri dengan bekerja di World Wide Fund for Nature (WWF) sejak 2004.
Kala itu status Dwi masih mahasiswa sebuah kampus di Bali. Namun, langkahnya terus tergerak untuk terjun langsung menyelamatkan penyu-penyu di lautan.
Ya, di lautan sana perempuan berkerudung itu telah berjumpa dengan entah berapa banyak penyu. Ada yang menampilkan tingkah lucu seperti menguap, tapi juga ada yang bernasib pilu. Penyu-penyu itu ditemukan Dwi dalam keadaan lemah dan tercemar sampah dari manusia, utamanya sampah plastik.
"Yang paling membuat saya sedih, pertama kali saya menjumpai seekor penyu sisik yang terdampar di Bali. Sangat kurus, lemah. Enggak mungkin penyu terdampar kalau dia tidak sakit, pasti karena ada suatu," Dwi mengisahkan saat bersua kumparan di kantor WWF, Jakarta Selatan, Selasa (4/12).
ADVERTISEMENT
Hati Dwi pun tergerak untuk merawat penyu malang itu. Akan tetapi sungguh malang, setelah beberapa hari dirawat penyu sisik tersebut mati. Dwi lantas melakukan nekropsi (autopsi pada hewan) guna mengetahui musabab kematian si penyu.
Dwi tercengang dengan hasil nekropsi yang dia lakukan. Dia tak menyangka hal demikian bisa terjadi pada penyu sisik itu.
"Ada sampah jaring di perutnya dengan kawat yang menyangkut di jaring tersebut apalagi sampai merobek lambungnya. Jadi lambungnya robek," imbuh perempuan yang kini menjabat sebagai Marine Species Conservation Coordinator WWF itu.
Penyu Belimbing. (Foto: Flickr/palmettoculebra)
zoom-in-whitePerbesar
Penyu Belimbing. (Foto: Flickr/palmettoculebra)
Menurut Dwi, penyu tergolong satwa yang kuat. Namun, pada penyu sisik yang dia temukan 2005 silam itu, robeknya lambung dipercaya besar menyebabkan infeksi.
Tentang jaring tersebut Dwi menduga berasal dari milik nelayan yang tidak lagi terpakai sehingga dibuang ke laut. Tetapi, jaring itu justru hanyut terbawa arus hingga kemudian masuk ke tubuh penyu.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, tak sama dengan manusia penyu tersebut diduga salah mengenali makanannya sehingga apapun masuk ke dalam tubuhnya, termasuk jaring dan kawat. Masuknya sampah-sampah itu menyebabkan ruptur (robek) pada lambung penyu sehingga membuatnya tidak hidup lama.
Perjalanan waktu kemudian membawa Dwi kembali bertemu dengan penyu-penyu malang. Teranyar pada tahun ini dia bertemu dengan penyu hijau di Pantai Paloh, Kalimantan Barat, yang mengalami malnutrisi.
"Terdamparnya masih hidup tapi badannya sudah kurus banget. Terus kita rawat 20 hari, tapi mati," cerita Dwi.
Dwi Suprapti (Foto: Bintang/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Dwi Suprapti (Foto: Bintang/kumparan)
Indikasi awal menyebut penyu tersebut mati karena malnutrisi. Untuk itu, nekropsi kemudian dilakukan. Dwi penasaran betul mengapa si penyu hijau ini mengalami kekurusan ekstrem bahkan sampai terdampar.
Hasil nekropsi menampilkan si penyu mengalami obstruksi (penyumbatan) pada ruang pencernaanya. Diketahui penyebab obstruksi ini adalah adanya satu plastik besar yang menyangkut di saluran pencernaannya.
ADVERTISEMENT
"Sebenarnya sampah plastik tidak selalu membunuh, kenapa tapi kalau sudah sampai menyumbat itu yang membuat dia menjadi tidak makanan-makanan yang masuk tidak bisa dicerna karena tersumbat di satu titik. Jadi kasus di Paloh itu mati akibat obstruksi," terang Dwi.
Pada prinsipnya, sampah plastik tidak bisa dicerna hewan. Kalau misalnya yang dikonsumsi berada dalam jumlah kecil bisa ditolerir dan dikeluarkan secara natural. Namun, bila jumlahnya banyak akan menyumbat dan membahayakan hewan tersebut.
Dwi menyebut pada dasarnya setiap satwa punya kemampuan yang berbeda-beda. Ada yang makan sampah plastik tapi tetap baik saja. Semua tergantung pada situasi seberapa banyak dan apakah mengalami penyumbatan setelahnya.
Tumpukan sampah di pinggir pantai Pulau Pari. (Foto: Iqbal Firdaus/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Tumpukan sampah di pinggir pantai Pulau Pari. (Foto: Iqbal Firdaus/kumparan)
Di samping itu juga ada kondisi yang jauh lebih parah. Misalnya sampah plastik itu telah tercemar dengan polutan lain, kemungkinan untuk membunuh hewan menjadi lebih besar.
ADVERTISEMENT
"Sampah di lautan kan bertahun-tahun belum tentu usianya baru. Melewati kawasan lain yang tercemar bahan kimia lain, masuk ke dalam tubuh kemudian menyebabkan keracunan," sebut Dwi.
Terkait dengan sampah di laut, tim peneliti oseanografi LIPI belakangan ini meluncurkan hasil riset soal jumlah sampah plastik di wilayah perairan Indonesia.
Disebutkan oleh salah satu tim peneliti Muhammad Reza Cordova kepada kumparan, riset ini adalah respons dari temuan peneliti University of Georgia, Jane Jambeck pada 2015 yang menyebut Indonesia adalah penyumbang sampah plastik terbesar kedua di dunia. Diperkirakan Jambeck sampah plastik dari Indonesia yang masuk laut adalah sebesar 0,48-1,29 juta metrik ton per tahun.
Tim peneliti LIPI lantas melakukan kajian di 18 titik lokasi di seluruh pantai Indonesia mulai dari Aceh sampai Papua. Mereka menemukan data bahwa rata-rata sampah di Indonesia setiap bulannya yang ada di pantai adalah 1,71 picis sampah plastik per meter persegi dengan rata-rata jumlah sampah plastik itu sekitar 46, 55 gram per meter persegi.
Peneliti LIPI, Muhammad Reza Cordova (Foto: Nesia Qurrota A'yuni/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Peneliti LIPI, Muhammad Reza Cordova (Foto: Nesia Qurrota A'yuni/kumparan)
Kondisi tersebut adalah refleksi bahwa laut Indonesia telah tercemar sampah plastik. Bila dibiarkan lama-lama hal ini perlahan akan merusak ekosistem di laut. Bukan hanya biota laut yang terdampak akibat hal ini, tapi manusia juga akan terkena.
ADVERTISEMENT
"Sekarang sampah terbawa ke lautan kemudian dibawa dimakan oleh spesies-spesies yang ada di lautan seperti ikan, terus kemudian ikannya dimakan lagi ke manusia. Akhirnya manusia juga yang mengalami dampak terhadap itu," kata Dwi.
Oleh sebab itu, menjadi hal penting kini bagi manusia untuk mengurangi konsumsi plastik, terutama yang sekali pakai. Karena, dengan pengurangan ini, sedikit banyak tangan-tangan kita telah mencegah rusaknya ekosistem laut.
Ikuti cerita lainnya di kumparan tentang hewan-hewan yang mati bergelimang plastik dengan follow topik Mati Bergelimang Plastik.