Sebelum Mengesahkan RUU Antiterorisme

18 Mei 2018 11:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Dalang Teror (Foto: AFP/Juni Kriswanto)
zoom-in-whitePerbesar
Dalang Teror (Foto: AFP/Juni Kriswanto)
ADVERTISEMENT
“Singkirkanlah HAM, keamanan yang penting, stabilitas yang penting. Menurut saya, sudahlah, kalau kita dikit-dikit takut HAM tapi stabilitas keamanan tidak terjaga, gimana?”
ADVERTISEMENT
Begitulah pernyataan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo sehari setelah tiga bom meledak di Surabaya. Petikan kalimat itu ia sampaikan untuk mendesak Panitia Khusus RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme agar segera menuntaskan tugasnya.
“Yang penting kita aman, stabil. Jangan dikit-dikit dihantui oleh HAM,” tegasnya. Namun kalimat itu ia ralat dua hari kemudian, dengan mengatakan, “Mencegah dan menghentikan terorisme demi melindungi HAM seluruh rakyat Indonesia.”
Teror yang terjadi berturut-turut dalam sepekan terakhir ini memang bikin darah mendidih. Aksi para teroris ini terlampau keji: melibatkan anak-anak untuk ikut meledakkan bom di tubuhnya.
Mako Brimob dijaga ketat usai kerusuhan. (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Mako Brimob dijaga ketat usai kerusuhan. (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
Rentetan teror bermula dari kerusuhan narapidana teroris yang diawali Wawan Kurniawan alias Abu Afif di Rutan Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok. Tragedi berdarah selama 36 jam ini menewaskan lima orang polisi dengan luka sayatan di leher dan satu napiter yang mencoba merebut senjata dari polisi.
ADVERTISEMENT
Selang dua hari kemudian, aksi bom bunuh terjadi di tiga gereja di Surabaya, Minggu pagi (13/5). Disusul ledakan bom di Rusunawa Wonocolo, Sidoarjo, pada malam harinya, dan ledakan bom di pintu masuk Polrestabes Surabaya keesokan harinya.
Rabu (16/5), teror lalu bergeser ke barat. Markas Polda Riau diserang. Mobil menerobos masuk dan polisi diserang dengan senjata tajam. Tak heran jika desakan publik agar pemerintah dan DPR segera mengesahkan RUU Antiterorisme kian kuat bergaung.
Menjawab berbagai rasa heran masyarakat, “Apakah polisi kecolongan? Bagaimana bisa aksi teror terjadi berturut-turut?”, Kepolisian menyatakan regulasi menghambat gerak mereka.
Serangan teror tak terelakkan terjadi karena aturan tak memadai. “Kami harap RUU Terorisme yang sudah setahun belum diproses itu, petugas Polri bisa berwenang dalam upaya represif untuk preventif,” ujar Humas Polri Irjen Setyo Wasisto di Mabes Polri, Jakarta, Minggu (13/5)
ADVERTISEMENT
Selama ini, menurut Setyo, meski Kepolisian mencurigai berbagai rencana aksi teror, mereka tidak bisa menindak pelaku. “Kami ini terbatas. Hanya bisa cium baunya karena terhalang oleh UU yang mengatakan sebelum dia (teroris) bergerak, enggak boleh ada upaya paksa.”
Sependapat dengan Setyo, Kapolri Jenderal Tito Karnavian ikut mendesak agar RUU segera disahkan. “UU ini harus segera direvisi. Kalau terlalu lama, kami mohon Presiden untuk membuat Perppu.”
Presiden Jokowi pun buka suara. Ia mengultimatum jajarannya dan DPR untuk menyelesaikan revisi undang-undang tersebut paling lambat Juni 2018. “Kalau nanti belum segera diselesaikan, saya akan keluarkan Perppu.”
Apa yang Baru?
RUU Antiterorisme sudah dibahas oleh pemerintah dan DPR sejak 2014. Aksi teror Bom Thamrin dan Bom Kampung Melayu merupakan peristiwa yang melatarbelakangi timbulnya urgensi revisi undang-undang tersebut.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan Laporan Proses Pembahasan RUU Tindak Pidana Terorisme Institute Criminal Justice Reform (ICJR) yang dirilis Januari 2018, RUU Antiterorisme setidaknya memiliki 8 rumusan baru yang tersebar di beberapa pasal, yakni Pasal 6, 8, 10A, 12A, 12B, 13A, 15A, dan 16A.
Dari delapan pasal tersebut, lima di antaranya krusial. Kelimanya yakni Pasal 10A, 12A, 12B, 13A, dan 16A.
Pasal 10A RUU Antiterorisme memberi aparat kewenangan untuk menjerat seseorang yang membuat, membawa masuk, atau memperdagangkan senjata atau bahan peledak untuk tujuan terorisme. Sementara lewat Pasal 12A, kepolisian sudah dapat menyeret seseorang yang tergabung menjadi anggota atau pengurus di organisasi terorisme, ke meja hijau.
Selanjutnya pada Pasal 12B, aparat diberi kewenangan untuk mempidana seseorang yang melakukan pelatihan militer, paramiliter, dan atau ikut berperang di dalam maupun di luar negeri.
ADVERTISEMENT
Lewat pasal itu, pemerintah bisa mencabut paspor dan kewarganegaraan orang-orang yang berperang di luar negeri, seperti bertempur bersama ISIS di Timur Tengah.
Pasal 13A juga penting diperhatikan. Melalui pasal ini, seseorang yang menghasut atau memengaruhi orang lain untuk melakukan aksi terorisme dapat dipidana dengan ancaman penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama 12 tahun. Ideolog-ideolog dari ‘klub-klub’ radikal bisa dijerat lewat pasal ini.
Duka cita keluarga korban teror Surabaya. (Foto: REUTERS/Beawiharta)
zoom-in-whitePerbesar
Duka cita keluarga korban teror Surabaya. (Foto: REUTERS/Beawiharta)
Peristiwa peledakan bom di Surabaya tempo hari menyisakan satu kegetiran. Mereka tak ragu menggunakan anak-anak sebagai eksekutor. Terkait ini, draf revisi UU Terorisme mengatur pelibatan anak dalam aksi terorisme.
Dalam Pasal 16A RUU Terorisme, bila seorang anak terlibat terorisme, maka pidana yang dijatuhkan kepadanya akan mengacu pada ketentuan UU Sistem Peradilan Anak. Sementara untuk pihak yang melibatkan anak tersebut, misal orang tuanya, hukumannya akan ditambah sebesar 1/3 dari pidana yang diancamkan.
Penggeledahan Rumah Terduga Teroris (Foto: ANTARA/Zabur Karuru)
zoom-in-whitePerbesar
Penggeledahan Rumah Terduga Teroris (Foto: ANTARA/Zabur Karuru)
Apa yang Dikhawatirkan?
ADVERTISEMENT
Semua pihak telah bersepakat untuk tidak menunda pengesahan regulasi ini. Tapi, tak ada gading yang tak retak. RUU Antiterorisme juga tak lepas dari pelbagai pasal yang cukup problematik.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Universitas Padjajaran, Miko Ginting, menganggap pengesahan revisi UU Antiterorisme tak perlu dilakukan terburu-buru. Sebab persoalan terorisme bukan berakar dari ketiadaan regulasi.
“Persoalan ini bukan persoalan legislasi. Jadi kalau diselesaikan melalui legislasi ya nggak nyambung antara penyebab dan akar masalahnya,” kata dia.
Ketergesaan dalam mengesahkan RUU Antiterorisme bisa jadi buah simalakama. Sebab, pembahasan bisa dilakukan tak objektif. Padahal, UU Terorisme mesti jadi regulasi efektif dalam menanggulangi terorisme, sekaligus melindungi warga negara.
Apa saja poin-poin yang perlu diperhatikan?
ADVERTISEMENT
Pada 2016, ICJR merilis Catatan Kritis Atas Revisi UU Pemberantasan Terorisme. Laporan tersebut menyoroti 9 poin kontroversial dalam draf RUU Antiterorisme. Kesembilan poin tersebut dapat dirangkum menjadi tiga isu utama: potensi pelanggaran hak asasi manusia, keterlibatan TNI, dan minimnya hak korban.
Potensi pelanggaran HAM dan penyalahgunaan kekuasaan begitu kentara pada draf awal. Setidaknya terdapat enam poin dalam draf RUU Antiterorisme yang berpotensi menihilkan HAM, mulai dari penangkapan, penahanan, pencegahan, penyadapan, dan pencabutan kewarganegaraan.
Terkait soal penangkapan, RUU ingin memperpanjang masa penangkapan dari 7 x 24 jam menjadi 30 hari. Praktik semacam itu berpotensi menimbulkan incommunicado atau penahanan tanpa akses dunia luar. Artinya, akses terduga terhadap keluarga maupun pengacara tertutup.
Berikutnya menurut Laporan Proses Pembahasan RUU Tindak Pidana Terorisme pada Juni 2017, Pansus RUU Antiterorisme memutuskan masa penangkapan diperpanjang hanya menjadi 14 hari dan dapat diperpanjang selama 7 hari dengan izin Kejaksaan Agung.
ADVERTISEMENT
Selain itu, masa penahanan diusulkan ditambah menjadi 510 hari dari sebelumnya, enam bulan. Namun jangka waktu penahanan sebelum pengadilan (pre-trial detention) itu terlalu panjang dan berpotensi melanggar ketentuan International Covenant of Civil and Poitical Rights.
DPR dan pemerintah akhirnya sepakat memperpanjang masa penangkapan menjadi hanya 290 hari, atau sekitar sembilan bulan.
Seminggu Aksi Teror (Foto: Basith Subastian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Seminggu Aksi Teror (Foto: Basith Subastian/kumparan)
Poin paling kontroversial dalam draf RUU Antiterorisme adalah terkait pasal pencegahan yang dikenal dengan nama ‘Pasal Guantanamo’. Pasal ini ingin memberi kewenangan kepada penyidik atau penuntut umum untuk melakukan pencegahan terhadap orang yang diduga akan melakukan aksi terorisme.
Penyidik atau penuntut umum dapat membawa atau menempatkan terduga ke “tempat tertentu” dalam waktu paling lama enam bulan.
ADVERTISEMENT
Pada Mei 2017, Pansus RUU Antiterorisme telah bersepakat menghilangkan pasal ini karena berpotensi melanggar HAM. “Sudah semua fraksi sepakat itu dihapus. Pasal Guantanamo lebih kejam dari Amerika. Pemerintah juga setuju,” kata Ketua Pansus M. Syafii.
TNI bantu pencegahan aksi teror. (Foto: Antara/Kornelis Kaha)
zoom-in-whitePerbesar
TNI bantu pencegahan aksi teror. (Foto: Antara/Kornelis Kaha)
Perdebatan tak kalah panas dalam penyusunan RUU Antiterorisme adalah soal keterlibatan TNI. Menurut laporan ICJR, Peta Fraksi dalam DIM RUU Terorisme, 10 fraksi di DPR sepakat membatasi peran TNI dalam memberantas terorisme.
Terkait hal itu, Direktur Eksekutif ICJR Anggara berpendapat peran TNI tak relevan dalam konteks penegakan hukum tindak pidana terorisme. Namun ia tak memungkiri TNI kadang dibutuhkan dalam upaya penanggulangan terorisme.
Menurutnya, peran tersebut sangat terbatas dalam konteks tertentu, misalnya catastrophic disaster yang membuat pemerintahan sipil lumpuh.
ADVERTISEMENT
Oleh sebab itu, ia merekomendasikan pelibatan TNI diatur lewat pasal spesifik. “Pasal soal pelibatan TNI harus dipisah.”
Problem terakhir adalah soal minimnya pemenuhan hak korban tindak pidana terorisme. “Di draf awal tidak ada soal kompensasi dan penanganan korban,” kata Anggara.
ICJR kemudian merekomendasikan draf soal hak-hak korban, dan mendapat respons positif dari DPR. Sehingga pada September 2017, draf pemenuhan hak korban sudah disepakati.
Draf itu mengatur bentuk tanggung jawab negara terhadap korban terorisme yang meliputi bantuan medis, rehabilitasi psikososial dan psikologis, santunan bagi keluarga jika korban meninggal dunia, serta kompensasi.
Sayangnya, regulasi soal korban salah tangkap aparat belum ada. Padahal, potensi salah tangkap tentu ada.
Polisi periksa warga usai terjadi bom di Surabaya. (Foto: ANTARA FOTO/Didik Suhartono)
zoom-in-whitePerbesar
Polisi periksa warga usai terjadi bom di Surabaya. (Foto: ANTARA FOTO/Didik Suhartono)
Bukan Versus HAM
Pandangan ‘mengesampingkan HAM demi stabilitas’ seperti yang dicontohkan Mendagri Tjahjo Kumolo jamak ditemukan di media sosial.
ADVERTISEMENT
Menurut Koordinator Kontras Yati Andriyani, pandangan semacam itu justru kontraproduktif dengan upaya pemberantasan terorisme. Menurutnya, pemberantasan terorisme tidak dapat dan tidak perlu dihadap-hadapkan dengan prinsip-prinsip HAM.
“Itu secara tidak langsung bisa berdampak pada semakin mengentalnya ekstremisme, bibit-bibit perlawanan, dan terorisme,” kata dia.
Selain itu, RUU Antiterorisme bukanlah ramuan ajaib yang dapat dengan singkat menghilangkan akar persoalan terorisme.
“Apakah ada jaminan kalau revisi ini sudah selesai, kemudian tidak ada lagi tindakan terorisme? Itu ada yang misleading menurut saya di perdebatan akhir-akhir ini,” ujar Yati.
Terorisme memang persoalan kompleks, seperti disampaikan Kapolri Jenderal Tito Karnavian dalam acara ILC tvOne, “Ideologi tak bisa dikalahkan dengan pembunuhan, penembakan, dan sebagainya.”
Perlu ada rumus jitu dan kerja bersama untuk memutus mata rantai radikalisme yang jadi akar teror itu.
ADVERTISEMENT
------------------------
Ikuti rangkaian ulasan mendalam soal Dalang Teror di Liputan Khusus kumparan.