news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Sebelum Peluru Menembus Jantung Wawan

3 Agustus 2017 9:09 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Tak semua keluarga punya ikatan batin kuat, tak semua ibu dan anak bisa amat dekat layaknya sahabat. Sumarsih dan Wawan termasuk mereka yang beruntung.
ADVERTISEMENT
Suatu hari, Wawan--yang bernama lengkap Benardinus Realino Norma Irmawan--bercerita kepada ibunya tentang kegiatan dia hari itu: berkunjung ke rumah Ita Martadinata, siswi kelas 3 SMA Paskalis Jakarta yang menjadi salah satu korban pemerkosaan pada Tragedi Mei 1998.
“Bu, tadi Wawan ke rumah Ita,” kata Wawan kepada sang ibu, Maria Katarina Sumarsih.
“Dia sehat?” ujar Sumarsih, bertanya.
“Kasihan, Bu. Kasihan dia. Kan dia dan mamanya mau ke PBB, membuat testimoni,” jawab Wawan yang satu tim dengan Ita di Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRK)--yang juga digawangi oleh Romo Ignatius Sandyawan Sumardi.
Ita Martadinata bukan perempuan biasa. Sempat terpuruk karena menjadi korban pemerkosaan, ia bangkit dan bergabung dengan TRK untuk melakukan konseling kepada para korban pemerkosaan Mei 1998 lainnya.
ADVERTISEMENT
Di usia mudanya yang 18 tahun, Ita menjelma pejuang. Ia bahkan disebut sebagai saksi kunci dalam mengungkap rangkaian kasus pemerkosaan yang menyasar para perempuan Tionghoa sepanjang Mei 1998.
Ita telah bersedia dan siap bersaksi di hadapan sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Amerika Serikat.
Bersama ibunya--Wiwin Haryono--dan empat korban kerusuhan Mei 1998, Ita akan berangkat ke AS sebagai bagian dari TRK. Mereka akan bersama-sama bersaksi tentang Tragedi Mei 1998 yang terjadi di Indonesia.
Cerita Ita berhenti sampai di situ. Sepekan sebelum bersaksi di Markas Besar PBB, 9 Oktober 1998, ia tewas dibunuh secara sadis.
Ita belum lagi berangkat ke New York ketika jasadnya ditemukan di kamarnya dengan perut, dada, dan lengan ditikam. Ia ditikam hingga 10 kali. Dan tak cuma itu, lehernya pun disayat.
ADVERTISEMENT
Dan sejak tiga hari sebelumnya, sejumlah anggota TRK dan beberapa organisasi hak asasi manusia mengalami ancaman pembunuhan jika tak berhenti mendukung investigasi internasional atas pemerkosaan dan pembunuhan terhadap perempuan Tionghoa selama Mei 1998.
Sedihnya--namun sudah bisa diduga seperti biasa, kasus pembunuhan Ita hingga kini tak pernah terungkap. Aparat “hanya” mengatakan Ita dibunuh oleh Suryadi, pecandu obat bius yang hendak merampok rumahnya.
Kematian Ita tak membuat Tim Relawan untuk Kemanusiaan, termasuk Wawan, berhenti beraktivitas. Membantu para korban Tragedi Mei 1998 sudah menjadi tujuan hidup mereka.
Wawan, pada percakapan lain dengan ibunya, menyinggung tentang ancaman yang mungkin menimpanya.
“Bu, masa sih Wawan itu urutan nomor satu dari lima orang yang akan dihabisi,” ujar Wawan kepada Sumarsih.
ADVERTISEMENT
“Dihabisi? Apa artinya?” tanya Sumarsih.
“Ya mau dibunuh, Bu,” jawab Wawan.
Ucapan Wawan itu bagai isyarat.
Jumat, 13 November 1998, bertepatan dengan hari terakhir Sidang Istimewa MPR dan unjuk rasa mahasiswa yang kembali memanas pasca-Soeharto lengser, Wawan tewas dibedil.
Ia terbunuh di halaman kampusnya sendiri, Universitas Atma Jaya Jakarta. Pada tubuhnya, ditemukan kartu identitas Tim Relawan Kemanusiaan yang saat itu ia kenakan seharian.
Wawan ditembak dari arah depan saat hendak menolong rekannya yang juga tertembak. Ia langsung rebah ke tanah, dengan timah panas bersarang di jantung.
“Putra Ibu meninggal dunia karena ditembak peluru tajam standar ABRI, mengenai jantung dan paru di dada sebelah kiri,” kata Budi Sampurno, dokter forensik RSCM yang mengautopsi jasad Wawan.
ADVERTISEMENT
Sumarsih di rumahnya, Meruya, Jakarta Barat. (Foto: Rakha Mufrihandhanu/kumparan)
Tak mudah membicarakan kematian dengan ibu yang ditinggal mangkat putranya. Namun Sumarsih membukakan pintu rumahnya di Meruya, Jakarta Barat, untuk kumparan, Sabtu (29/7), hampir 20 tahun setelah kematian Wawan.
Tidak, kami tak hendak bertanya apa yang ia inginkan kini, atau keadilan macam apa yang ia impikan--dan belum juga terwujud--untuk si sulung yang dibunuh.
Kami hanya ingin mendengar ceritanya. Apapun yang ia ceritakan. Itu saja. Cukup.
Maka Sumarsih, dengan gaun hitamnya, memulai kisah tentang sosok sang bujang yang militan: Bernardinus Realino Norma Irmawan--yang fotonya menghiasi ruang tamu Sumarsih.
Sumarsih, Wawan cilik (kanan), dan Irma adiknya. (Foto: Repro Foto Dok. Sumarsih )
“Anak lahir dari batin ibunya.” Demikian ujar Damardjati Supadjar, Guru Besar Filsafat UGM.
Bagi Sumarsih, Wawan adalah jawaban atas harapannya untuk memiliki seorang putra. Wawan lahir pada 1978, dua tahun setelah Sumarsih menikah dengan Arief Priyadi.
ADVERTISEMENT
“Saya ingin punya anak pertama laki-laki, karena laki-laki itu kan sosok pelindung. Saya ingin dia tumbuh sehat, kalau bisa jadi orang baik,” kata Sumarsih.
Tahun 1977, Sumarsih hamil. Dimulailah masa pergulatan fisik dan batin seorang ibu. Meski hamil, berat badan Sumarsih saat itu malah turun 14 kilogram, dari 46 kg menjadi 32 kg.
Setelah 9 bulan, kontraksi mulai terasa di perut Sumarsih. Ia masuk rumah bersalin Jumat malam, namun Sabtu pagi berdoa gencar, “Tuhan Yesus, bayi ini jangan lahir hari ini karena ini hari lahir suami saya.”
Rupanya Sumarsih, sebagai orang Jawa, termasuk yang meyakini bahwa jika anak dan orang tua lahir pada hari yang sama, si anak akan meninggal lebih cepat.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, si jabang bayi baru lahir Senin dini hari, 15 Mei 1978, pukul 02.00. Bayi montok dengan berat 3 kilogram 3 ons dan panjang 51 sentimeter itu diberi nama Norma Irmawan.
Nama itu, bagi Sumarsih, sarat makna. Norma memiliki arti “mewujudkan keteraturan dan keadilan”. Sementara Irmawan berarti “laki-laki yang memahami irama atau dinamika masyarakat”.
Namun bayi sehat itu kemudian sakit-sakitan. Pada umur 55 hari, Norma Irmawan--yang kemudian akrab disapa Wawan--terserang pilek berat.
Pada usia 7 bulan, penyakit lain menghampirinya pula. Rumah Sumarsih yang saat itu masih di Palmerah tiba-tiba sunyi tanpa tangis bayi. Para tetangga mengira si bayi mati.
Tengah malam, Sumarsih melihat mata bayinya terpejam. Napas sudah keluar dari mulut, tak lewat hidung. Sumarsih pun panik dan membawa Wawan ke RS Sumber Waras.
ADVERTISEMENT
“Pernah ada yang bilang, kalau anak buang air besarnya hitam, itu tanda-tanda sudah mau meninggal,” kata Sumarsih.
Ia sebelumnya sudah beberapa kali membawa Wawan ke dokter, namun si bayi masih terus sakit. Mematahkan semangat ibunya.
Sumarsih mencari akal. Ia merasa mesti menempuh jalan apapun agar Wawan sembuh. Sumarsih lalu berpikir akan pergi ke dukun saja bila dokter memang tak bisa menyembuhkan si bayi.
Namun seorang kawan yang mendengar keinginan Sumarsih untuk ke dukun, mencegah.
“Moso to Dik, kamu mau ke dukun. Tuhan Yesus-mu kamu kemanakan? Mbok sudah, berdoa saja,” ujar sang kawan.
Sumarsih tercenung, lalu membuang jauh-jauh “dukun” dari pikirannya. Ia meneruskan berdoa tanpa putus, memohon kesembuhan Wawan.
Penyakit Wawan akhirnya pergi. Ia tumbuh menjadi seorang anak yang menggemaskan lagi menyenangkan. Wawan cilik yang bertemperamen riang bahkan disayang oleh anak-anak lain di lingkungannya.
ADVERTISEMENT
Keluarga kecil itu begitu bahagia. Mereka tinggal di rumah sederhana, dengan sang ayah, Arief Priyadi, meniti karier di Centre for Strategic and International Studies (CSIS).
Wawan kecil dan adiknya, Irma. (Foto: Repro Foto Dok. Sumarsih )
Umur 4 tahun, Wawan masuk Taman Kanak-kanak bersamaan dengan Sumarsih yang diterima bekerja di Sekretariat Jenderal DPR RI.
Sumarsih membagi kesibukan sebagai perempuan karier dan seorang ibu dengan dua anak kecil. Saat itu adik Wawan, Benedicta Rosalia Irma Normaningsih, telah lahir dan menyemarakkan keluarga mereka.
Sumarsih menyewa sopir untuk mengantar jemput Wawan dari TK Bunda Hati Kudus yang berjarak 9 kilometer dari rumah.
Namun, sebagai ibu pekerja, ada saja hal tak mengenakkan yang menimpa Sumarsih. Suatu ketika saat sedang menjemput Wawan, Sumarsih melihat seorang ibu menunjuk Wawan dan menyebutnya anak nakal.
ADVERTISEMENT
“Ini nih anak yang bandel. Anak nakal. Masa jidat anak gua ditusuk pensil. Ini mamanya kerja, nggak pernah nungguin anaknya.”
Ucapan itu terang membuat Sumarsih tak nyaman. Ia bertanya ke guru Wawan, apakah benar putranya amat nakal.
Tapi guru Wawan merasa kenakalan itu masih wajar. Sumarsih pun lega. Dan ia justru melihat Wawan menyimpan bibit kebaikan di hati.
Jika teman-temannya bertandang ke rumah untuk bermain, Wawan mengeluarkan makanan apapun yang ada di kulkas untuk dibagi dengan mereka.
“Semua--semangka, es krim--dikeluarkan tanpa ngasih tahu ke ibunya,” ujar Sumarsih, tersenyum mengenang.
Wawan cilik dan Irma, adiknya. (Foto: Repro Foto Dok. Sumarsih )
Masuk SD Bunda Hati Kudus, jiwa baik Wawan makin terlihat. Pembawaannya yang periang membuat rumah Sumarsih selalu dipenuhi anak-anak yang menunggu Wawan pulang sekolah untuk diajak bermain.
ADVERTISEMENT
Ketika Wawan naik ke kelas 4 SD, keluarga Sumarsih pindah ke Kompleks Perumahan DPR RI di Meruya Selatan, Jakarta Barat. Jarak dari rumah ke SD Wawan sekitar 14 km. Ia pulang-pergi dengan mobil jemputan.
Tapi suatu sore, Wawan untuk kali pertama menolak pulang bareng jemputan. Sumarsih pun penasaran ke mana Wawan pergi.
“Kenapa Wawan nggak bareng jemputan?” tanya Sumarsih ketika Wawan tiba di rumah.
Wawan menjawab ringan, “Oh, tadi Wawan cari perpustakaan, eh dapet di Jakarta Barat. Nih, Wawan sudah langsung jadi anggota perpustakaan Jakarta Barat.”
Ia menunjukkan kartu anggota perpustakaan ke ibunya.
Wawan memang hobi membaca--dan bercerita. Saat kelas 5 SD, ia pernah bercerita kepada Sumarsih tentang Perang Teluk--bagaimana Amerika Serikat terlibat perang itu setelah Irak menyerang Kuwait pada 1991.
ADVERTISEMENT
Mulai kelas 5 SD itu pula, Wawan tak selalu pulang dengan mobil jemputan. Ia lebih sering pulang dengan MetroMini B 29 rute Grogol-Ciledug, sampai tamat SMP.
Melintasi jalanan yang merupakan ruang publik, sedikit banyak menempa Wawan. Dan ia tetap menceritakan tiap kejadian kepada ibunya.
Wawan (kiri) dan kawannya. (Foto: Repro Foto Dok. Sumarsih )
Wawan tumbuh semakin rajin. Ia pembaca yang lahap dan tekun. Lulus SMP tahun 1993, nilai Matematika Wawan amat baik. Ia diterima di tiga sekolah sekaligus: SMA Katolik Bunda Hati Kudus, SMA 78 yang sekolah favorit di Jakarta Barat, dan SMA Pangudi Luhur Van Lith di Muntilan, Magelang.
Wawan memilih untuk sekolah di Van Lith. Pilihan itu membuatnya harus berpisah dengan keluarga, karena Van Lith merupakan sekolah asrama.
ADVERTISEMENT
Van Lith mengizinkan siswanya untuk cuti secara berkala. Namun Wawan tak selalu bisa pulang, misal ketika hari Minggu mendapat tugas mengajar Sekolah Minggu. Jadi kadang kala, Sumarsih dan Arief menemui putra mereka itu di Muntilan.
Wawan tetap rutin bercerita kepada Sumarsih. Ia berbagi kisah tentang kesibukan--kadang juga kekesalan--dia selama di asrama. Pun tentang makanan kesukaannya di asrama.
Satu ketika, ia bercerita tentang tugasnya saat menjadi ketua penanggung jawab makanan dan karenanya harus mengurus kebutuhan perut seluruh temannya.
“Masa Bu, teman-teman kalau makan ditinggal gitu aja. Masa Wawan yang disuruh berbenah,” ucap Sumarsih menirukan keluh kesah Wawan.
Walau begitu, tanggung jawab Wawan selalu tunai penuh terlepas dari keluh kesahnya.
Ia pun cukup akrab dengan orang-orang di lingkungan sekolahnya. Juru masak di sekolah misalnya, sangat baik kepada Wawan dan sering memasak khusus untuknya.
ADVERTISEMENT
Wawan pun tak pernah melupakan murid-muridnya di Sekolah Minggu, pun ketika ia berada di Jakarta.
“Bu, beliin dong makanan, cokelat, permen, cokelat, untuk anak-anak di Sekolah Minggu.”
Wawan dan teman-temannya. (Foto: Repro Foto Dok. Sumarsih )
Tahun 1996, Wawan mencari kampus. Ia ingin berkuliah di Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Namun Sumarsih menolak keinginan itu karena ia tak mau lebih lama lagi berjauhan dengan putranya.
“Terlalu lama ibu harus mondar-mandir. Kalau mau Atma Jaya, di Jakarta saja,” saran Sumarsih.
Wawan akhirnya mengambil studi di Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya Jakarta.
Kembali ke rumah, Wawan sigap berbagi tugas dengan adiknya mengurusi rumah. Jika Sumarsih kesiangan, Wawan langsung mengambil alih, “Udah Bu, tinggal saja (ke kantor). Nanti Wawan yang berbenah.”
Wawan menjadi mahasiswa ketika situasi politik memanas. Indonesia diterpa krisis moneter, dan demonstrasi mahasiswa kian mendidih.
ADVERTISEMENT
Sebagai mahasiswa pula, Wawan menyaksikan kejatuhan Soeharto yang telah 32 tahun bercokol mencengkeram negeri.
Wawan tak cuma menonton. Selain menjadi mahasiswa yang ikut berdemonstrasi, ia juga bergabung dengan Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRK).
Sebagai anggota TRK, ia mengajar baca tulis anak jalanan, dan mendampingi korban kerusuhan Mei 1998 yang berjatuhan.
Di tengah kesibukannya, Wawan selalu mengusahakan makan malam bersama keluarga. Masing-masing anggota keluarga merunut satu demi satu kejadian yang mereka alami.
“Wawan cerita ada apa di kampus, Irma cerita tentang sekolahnya, saya di Setjen DPR, bapaknya di CSIS,” kata Sumarsih.
Tak jarang, pembicaraan di meja makan berkembang membahas persoalan politik. Dan akhirnya, obrolan hangat selalu ditutup dengan pertanyaan Sumarsih, “Besok mau dimasakin apa?”
Bernardius Realino Norma Irmawan (Foto: Rakha Mufrihandhanu/kumparan)
Sumarsih bangga dengan cara Wawan menjalani keseharian sebagai mahasiswa. Meski aktivitas Wawan mengkhawatirkan, kegiatan sehari-harinya menjadi obrolan penyambung tali kasih antara ibu dan anak itu.
ADVERTISEMENT
Untuk memudahkan Wawan beraktivitas, orang tuanya membelikan motor Honda Grand. Kendaraan roda dua itu mengiringi Wawan mondar-mandir keliling Jakarta, membantu kegiatannya sebagai relawan.
Tugas Wawan berakhir di satu sore, ketika peluru menembus jantungnya.
Sumarsih menyentuh jasad Wawan. (Foto: Repro Foto Dok. Sumarsih )
Sumarsih menyentuh potret Wawan. (Foto: Rakha Mufrihandhanu/kumparan)
Hingga kini di sudut rumah Sumarsih, foto beserta sejumlah sertifikat Wawan tetap terlihat terpajang di lemari.
Jika Sumarsih kebetulan melintasi lemari itu dan tiba-tiba merindukan Wawan, ia menoleh dan menyentuh foto sang putra.
“Ah, Wawan,” ujar Sumarsih, seakan bujangnya itu pulang ke rumah.
Dan demikianlah bagi Sumarsih: Wawan selamanya bersama dia di rumah itu.
------------------------
Ikuti kisah-kisah mendalam lain dengan follow topik Liputan Khusus di kumparan.