Secercah Cahaya di Panti Asuhan Anak-anak Down Syndrome di Bantul

30 April 2018 12:27 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Berada di ujung gang Komplek Balai Desa Sendangsari, Pajangan, Bantul, Yogyakarta, plang Panti Bina Siwi berdiri kokoh. Panti asuhan yang sudah ada sejak tahun 1989 ini menampung 38 orang penyandang tunawicara, autis, tunanetra dan down syndrome.
ADVERTISEMENT
Kedatangan kumparan (kumparan.com) pada Kamis (20/4) siang itu disambut jabat tangan erat dan wajah ceria oleh teman-teman penghuni panti. Beberapa dari mereka tersenyum lebar, sedangkan lainnya tampak malu-malu, mengintip dari balik pintu.
"Ketemu Bapak? Ada Pak Sugiman di dalam," kata seorang perempuan yang mengenakan gelang warna warni, sambil menuntun kami masuk ke dalam ruang tamu.
Bangunan yang dihuni sejak tahun 2000 itu penuh dengan hasil kerajinan tangan seperti boneka, sandal, gelang, lukisan, dan kain batik buatan anak-anak panti.
Kemudian kami berbincang dengan Sugiman, pendamping sekaligus relawan di Panti Asuhan Bina Siwi. Pria berusia 60 tahun itu menjelaskan tujuan awal ia dan relawan lainnya mendirikan panti asuhan ini karena rasa kepedulian dan keprihatian terhadap mereka yang memiliki kekurangan fisik juga mental.
ADVERTISEMENT
"Kami di lapangan melihat kenyataan anak-anak difabel dan ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) belum ada yang menampung atau mendampingi mereka. Sehingga anak-anak itu liar, dalam tanda petik mereka belum ada yang memperhatikan," ujar Sugiman di Panti Bina Siwi, Kamis (21/4).
Panti Bin Siwi (Foto: Retno Wulandhari/kumparan)
Di tengah perbincangan kami, datang seorang perempuan bernama Muryati, usianya 15 tahun.
"Halo aku Muryati," ujarnya sambil mengulurkan tangan seraya mengajak bersalaman.
Muryati adalah penyandang down syndrome. Ia sudah tinggal di panti sejak tahun 2010. Delapan tahun lalu, Muryati tinggal bersama ibunya yang memiliki gangguan kejiwaan.
Saat ditemukan oleh relawan panti, kondisi fisik Muryati begitu memprihatinkan dengan rambut dipenuhi kutu dan luka di sekujur tubuh lantaran tidak mandi.
ADVERTISEMENT
Kemudian, Muryati dibawa ke panti untuk dirawat dan dibimbing agar mandiri. Kini Maryati terlihat selalu ceria, senyum lebarnya merekah setiap kali bertemu dengan orang baru.
Selama tinggal di panti, Muryati berteman dengan 37 anak lain yang memiliki latar belakang berbeda. Mulai dari epilepsi, down syndrome, korban broken home, yatim piatu, dan anak hilang.
Tidak hanya menyediakan hunian yang nyaman, Panti Asuhan Bina Siwi juga menyekolahkan dan melatih anak-anak berkebutuhan khusus dengan beragam kegiatan. Seperti menjahit, bermain alat musik, membersihkan rumah, memasak, menyapu, dan membuat kerajinan tangan.
Panti Bin Siwi (Foto: Retno Wulandhari/kumparan)
Sementara itu, dana pelatihan dan kebutuhan sehari-hari, pihak panti masih menggantungkan hidup dari hasil penjualan kerajinan tangan bikinan teman-teman penghuni panti dan sumbangan dari masyarakat.
ADVERTISEMENT
Bagi para relawan, melihat anak-anak berkembang dan berproses menjadi lebih mandiri serta tidak menyusahkan orang lain merupakan kebanggaan tersendiri.
"Kami merasa bangga dengan anak-anak, tidak mesti dengan keberhasilan yang tinggi, tidak. Tapi mereka ada proses yang bisa mereka lakukan hanya satu, dua, atau bahan kegiatan yang berhasil mereka lakukan itu sudah termasuk kebahagiaan," lanjut Sugiman.
Saksikan kisah selengkapnya tentang impian, keceriaan, dan harapan anak-anak penghuni Panti Bina Siwi dengan menonton video di atas: