Sejarah Dwifungsi ABRI dan Isu TNI Berpolitik

26 September 2017 13:50 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
TNI Latihan Bela Diri. (Foto: Antara/Feny Selly)
zoom-in-whitePerbesar
TNI Latihan Bela Diri. (Foto: Antara/Feny Selly)
ADVERTISEMENT
Militer pernah aktif berkuasa dan terlibat penuh dalam pemerintahan. Itu di masa era orde baru, saat seorang perwira TNI bisa otomatis menjadi kepala daerah karena ditunjuk untuk tugas sosial politik.
ADVERTISEMENT
Pada era orde baru, kekuatan militer pernah digunakan untuk menjaga keamanan ketertiban negara dan memegang kekuasaan mengatur negara, atau yang lebih dikenal dengan istilah Dwifungsi ABRI.
Konsep ini pertama kali muncul pada tahun 1958 dalam bentuk konsep "Jalan Tengah" yang diusulkan oleh Jendral AH Nasution, kepada Presiden Sukarno dalam peringatan ulang tahun Akademi Militer Nasional (AMN) di Magelang, Jawa Tengah pada 13 November 1958. Konsep tersebut memberikan peluang bagi peranan terbatas TNI di dalam pemerintahan sipil.
Lambat laun, saat kepemimpinan Presiden Soeharto konsep jalan tengah diistilahkan dengan Dwifungsi ABRI yang digunakan sebagai pembenaran militer dalam meningkatkan pengaruhnya di pemerintahan. TNI secara organisatoris menduduki jabatan-jabatan strategis di lingkungan pemerintahan seperti menteri, gubernur, bupati dan wali kota serta masuk ke dalam parlemen dengan wadah Fraksi ABRI/TNI.
ADVERTISEMENT
Kekuatan militer pada orde baru semakin besar dengan berdirinya Partai Golkar pada tahun 1964, di akhir kepemimpinan Presiden Sukarno. Berdirinya Partai Golkar untuk menandingi pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam kehidupan politik di Indonesia pada saat itu.
Ilustrasi anggota TNI AD (Foto: ANTARA FOTO/Rahmad)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi anggota TNI AD (Foto: ANTARA FOTO/Rahmad)
Kekuatan militer dalam urusan politik dan pemerintah makin menguat setelah kemenangan Partai Golkar dalam Pemilu pertama tahun 1971. Kemenangan ini diulang hampir 5 kali dalam pemilu di orde baru, karena kebijakan-kebijakan Soeharto yang sangat mendukung kemenangan Partai Golkar.
Kekuatan Dwifungsi ABRI secara perlahan-lahan dihapuskan menyusul runtuhnya rezim Soeharto. Pada rapat pimpinan ABRI tahun 2000, disepakati untuk menghapus doktrin ini yang akan dimulai setelah Pemilu 2004.
Penghapusan Dwifungsi ABRI menyebabkan pelarangan tentara ikut campur dalam urusan pemerintahan maupun politik. Jika ingin terjun ke dunia politik, tentara diminta untuk keluar terlebih dahulu dari militer.
ADVERTISEMENT
Pada Pemilu 2004, kepemimpinan bangsa Indonesia berlajut ke tangan mantan jenderal TNI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). SBY pada saat itu telah berkomitmen untuk keluar dari militer dan mendirikan partai politik bernama Demokrat.
Selama kepemimpinannya, SBY menegaskan tentara sangat berbahaya jika masuk ke dalam politik praktis. Sebagai seorang mantan jenderal TNI, dirinya takut jika gejolak Dwifungsi ABRI kembali terjadi di masa kepemimpinannya.
Panglima TNI Gatot Nurmantyo di Cilangkap (Foto: Aprilandika Pratama/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Panglima TNI Gatot Nurmantyo di Cilangkap (Foto: Aprilandika Pratama/kumparan)
17 Tahun berlalu setelah penghapusan Dwifungsi ABRI, isu-isu TNI berpolitik terus menjadi perbincangan masyarakat. Tapi kini isu itu muncul lagi, ketika Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, menyinggung soal lima ribu senjata ilegal yang dibeli sebuah institusi. Tudingan Gatot berpolitik pun mencuat, salah satunya dari politisi Demokrat, Rachlan Nasidik.
Sayangnya, Panglima TNI tak mau berkomentar atas tudingan yang mengarah kepadanya. Pada Minggu (24/9) malam, dia hanya membenarkan rekaman yang beredar soal rekaman lima ribu senjata adalah suaranya.
ADVERTISEMENT
Menuju Pilpres 2019, isu memang semakin menghangat. Semoga saja, kepentingan rakyat tetap diutamakan. Persatuan terus dijaga.