news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Setara Institute soal Vonis Meiliana: Hukum Penodaan Perlu Direformasi

24 Agustus 2018 2:42 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Hendardi Ketua Setara Institute (Foto: Rafyq Alkandy/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Hendardi Ketua Setara Institute (Foto: Rafyq Alkandy/kumparan)
ADVERTISEMENT
Seorang perempuan di Tanjungbalai, Sumatera Utara, bernama Meiliana, divonis 1,5 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri (PN) Medan karena mempermasalahkan volume suara azan di Masjid Al-Makhsum di sekitar tempat tinggalnya. Ketua SETARA Institute Hendardi menilai perlu ada reformasi terkait hukum penodaan (blasphemy law).
ADVERTISEMENT
"Dalam konteks yang lebih makro, SETARA Institute menilai bahwa berbagai ketidakadilan dan ketidaktepatan penerapan hukum dalam kasus-kasus penodaan agama di Indonesia. Mengindikasikan bahwa reformasi hukum penodaan (blasphemy law) harus segera dilakukan," kata Hendardi lewat keterangannya, Jumat (24/8).
Hendardi mendesak pemerintah bersama DPR melakukan revisi tentang UU Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama. Revisi tersebut harus berorientasi pada pemberantasan ujaran kebencian hingga pemidanaan kebencian.
"Sebagaimana amanat Mahkamah Konstitusi, revisi atas UU Nomor 1/PNPS/1965 harus segera dilakukan oleh pemerintah dan DPR dengan berorientasi pada pemberantasan ujaran kebencian (hate speech) serta pemidanaan hasutan (incitement) dan pidana kebencian (hate crime)," katanya.
Hendardi juga meminta Komisi Yudisial (KY) memeriksa adanya dugaan penyimpangan dan tindakan yang tak profesional yang dilakukan para hakim dalam menangani kasus Meiliana. Selain hakim, ia juga berharap kepolisian hingga kejaksaan hendaknya menyusun panduan penanganan kasus yang berhubungan dengan bidang keagamaan.
ADVERTISEMENT
"Komisi Yudisial bisa melakukan pemeriksaan atas dugaan penyimpangan dan unprofessional conduct dari hakim-hakim yang menangani kasus Meiliana," jelasnya.
"Sementara institusi penegak hukum lainnya, seperti kepolisian dan kejaksaan memastikan hal serupa tidak berulang dan menyusun panduan penanganan kasus-kasus yang berhubungan dengan bidang keagamaan, sehingga aparat di berbagai tingkatan memiliki panduan dalam bekerja," timpalnya.
Terdakwa kasus penistaan agama, Meliana mengikuti sidang dengan agenda pembacaan putusan, di Pengadilan Negeri Medan, Sumatera Utara, Selasa (21/8).  (Foto: Antara/Irsan Mulyadi)
zoom-in-whitePerbesar
Terdakwa kasus penistaan agama, Meliana mengikuti sidang dengan agenda pembacaan putusan, di Pengadilan Negeri Medan, Sumatera Utara, Selasa (21/8). (Foto: Antara/Irsan Mulyadi)
Meiliana adalah warga Tanjungbalai, Sumatera Utara, yang divonis 1,5 tahun atas dugaan penistaan agama karena mempermasalahkan volume suara azan Masjid Al-Makhsum. Kejadian bermula pada tanggal 22 Juli, ketika Meiliana mengeluhkan suara azan masjid yang terlalu keras kepada tetangganya, yakni Kasini atau Ka Uo.
Keluhan itu kemudian disampaikan Ka Uo kepada Badan Kemakmuran Masjid Al-Makhsum.
Sempat terjadi adu mulut antara pengurus masjid dan Meiliana. Setelahnya, suami Meiliana mendatangi masjid dan menyampaikan permintaan maafnya. Namun, karena hal itu sudah terlanjur jadi pembicaraan, kerusuhan pun terjadi dan mengakibatkan sejumlah vihara dan kelenteng di Tanjungbalai dirusak massa.
ADVERTISEMENT
Komisi Fatwa MUI Sumatera Utara kemudian mengeluarkan fatwa tentang penistaan agama yang dilakukan Meiliana. Fatwa itu tertuang dalam surat bernomor 001/KF/MUI-SU/I/2017 tanggal 24 Januari 2017 tentang Penistaan Agama oleh Saudari Meiliana di Kota Tanjungbalai.