SETARA Institute: Wacana Tolak Perda Agama Hak Konstitusional Warga

19 November 2018 17:53 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Hendardi Ketua SETARA Institute (Foto: Dok. SETARA Institute.org)
zoom-in-whitePerbesar
Hendardi Ketua SETARA Institute (Foto: Dok. SETARA Institute.org)
ADVERTISEMENT
Wacana Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menolak perda berbau agama menuai pro kontra. Ketua Badan Pengurus SETARA Institute, Hendardi, menyebut usulan tersebut sah-sah saja sebagai bahan diskusi. Namun ternyata berujung laporan polisi.
ADVERTISEMENT
"Secara substantif tidak ada yang salah dengan pernyataan Grace, bila dikaitkan dengan masalah aktual jaminan kebebasan beragama/berkeyakinan sebagai hak konstitusional warga yang diatur oleh UUD NRI tahun 1945," ucap Hendardi dalam keterangan tertulis, Senin (19/11). .
"Ketum PSI tersebut justru sedang mengingatkan masalah serius konstruksi hukum Indonesia sebagai negara hukum Pancasila. Begitu banyak regulasi daerah yang diskriminatif dalam aneka bentuk, dari surat edaran hingga peraturan daerah," imbuhnya.
Hendardi mengungkap, data Komnas Perempuan mencatat ada 421 peraturan diskriminatif di tingkat daerah, yang bertentangan dengan spirit kesetaraan yang dijamin oleh konstitusi negara.
Ketua Umum PSI Grace Natalie. (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Umum PSI Grace Natalie. (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
Sementara dalam catatan SETARA, hingga Desember 2017, terdapat 183 regulasi di tingkat lokal yang diskriminatif, intoleran, dan melanggar kebebasan beragama/berkeyakinan, salah satunya dalam bentuk favoritisme pemerintah daerah berdasarkan keberpihakan pada kelompok agama tertentu, khususnya mayoritas.
ADVERTISEMENT
Terkait Ketum PSI Grace Natalie yang dilaporkan ke polisi, Hendardi berharap kepolisian melakukan moratorium pasal-pasal penodaan agama baik pasal 156a KUHP, UU Nomor 1/PNPS/1965 maupun UU Nomor 11 tahun 2008 tentang UU. Hukum penodaan agama dalam ketiga undang-undang tersebut memuat pasal-pasal karet yang bertentangan dengan asas kepastian hukum (lex certa) dan karenanya justru menciptakan ketidakadilan, baik aktual maupun potensial.
"Melihat substansi tekstual pernyataan Grace, menimbang situasi kontekstual maraknya perda diskriminatif berdasarkan agama tertentu, dan mencermati tren kasus penodaan agama di Indonesia, sulit untuk tidak mengatakan pelaporan Grace ke Bareskrim Polri oleh Eggi menggunakan pasal-pasal penodaan agama lebih banyak didorong oleh motif dan kepentingan politik," paparnya.
"Oleh karena itu, kita ingatkan pihak kepolisian untuk tidak hanyut dalam permainan politik politisi dengan dalih penodaan agama," pungkasnya.
ADVERTISEMENT