Setelah Badai Pergi dari Yogya

7 Desember 2017 17:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Hujan siang itu mendadak berteman angin kencang. Angger Rio Pambudi yang tengah berada di ruangan kelas, terganggu oleh derasnya hujan yang bersanding dengan deru angin dan gelegar badai yang memekakkan telinga.
ADVERTISEMENT
Di tengah angin kencang yang bersahutan dengan deras air hujan, pelajar kelas XI SMK Negeri 3 Yogyakarta itu dikejutkan oleh kedatangan tetangga rumahnya ke sekolah.
Saat itu pukul 12.00 siang. Tetangga Angger dari kampung tempat tinggalnya di Jlagran, Gedong Tengen, Yogyakarta, tergesa-gesa mendatangi sekolah Angger membawa kabar buruk: rumah Angger yang berada di bantaran Sungai Winongo tertimpa longsor. Angger diminta pulang lebih awal.
Ayah, ibu, kakak perempuan, dan keponakan Angger yang berusia 3 bulan, berada di dalam rumah yang tertimbun longsor itu. Pikiran Angger kalut.
Ia tak berpikir dua kali untuk menuruti permintaan tetangganya--segera pulang. Ini soal keselamatan keluarga. Angger tak lagi ambil pusing dengan hujan deras. Ia langsung membonceng motor dan basah kuyup diterpa lebat hujan.
Angger kehilangan ayah-ibunya saat siklon melanda. (Foto: Ardhana Pragota/kumparan)
Dalam perjalanan pulang menembus badai, petir dan angin ribut yang sebelumnya hanya ia dengar di telinga, kini benar-benar ia rasakan.
ADVERTISEMENT
“Biasanya kalau hujan pakai angin, jarak pandang 5 meter sampai 10 meter masih bisa dilihat. Kalau yang kemarin itu sampai sampai 5 meter sudah enggak kelihatan. Karena saking derasnya dan ditambah angin,” cerita Angger kepada kumparan, Minggu (3/12).
Setibanya di Jlagran, kekalutan Angger menjelma nyata. Separuh bagian rumahnya telah terkubur pasir. Ayah, ibu, dan keponakannya berada di bawah gundukan longsoran pasir.
Dari tangga yang menghubungkan permukiman bagian atas dan pinggir sungai, Angger hanya mampu berdiri terdiam menyaksikan proses evakuasi. Ia tidak diperbolehkan mendekat. Berselimut siraman air, hati Angger berdetak cemas.
Kepastian didapat menjelang magrib. Seperti diduga, itu kabar duka. Jenazah ibu beserta keponakan Angger berhasil dievakuasi. Sedangkan untuk mengangkut jenazah sang ayah, perlu waktu satu hari untuk menemukannya.
ADVERTISEMENT
Longsor yang menimpa rumah Angger pada Selasa (27/11), menjadi kehilangan besar dalam hidupnya.
Rumah terkena longsor akibat siklon (Foto: Ardhana Pragota/kumparan)
Bagi Angger, hujan deras serta longsor yang melanda Yogyakarta hari itu--dan merenggut nyawa keluarganya--merupakan kehendak Yang Kuasa. Tragedi itu muncul bersama amukan siklon tropis Cempaka. Saat itu, kecepatan angin mencapai 20 knot dan curah hujan melebihi 100 ppm.
Soal banjir, Angger dan warga sekitarnya sebetulnya sudah terbiasa. Setiap kali hujan deras turun, luapan air Sungai Winongo selalu datang menghampiri rumahnya yang hanya 10 meter dari bibir sungai.
“Banjir sudah dari dulu, dan sering terjadi kalau musim hujan. Setiap musim hujan itu mbludak (air tumpah). Tapi longsor baru kali ini,” kata dia.
Warga setempat telah melalui beberapa kali banjir bandang, dan merasa telah bersahabat dengan luapan air Kali Winongo. Sulastri, ibu berusia 75 tahun yang telah tinggal di kawasan itu sejak 1975, sudah paham betul dengan gerak-gerik sungai yang bersebelahan dengan rumahnya.
ADVERTISEMENT
“Kalau hujan, mesti banjir. Banjir yang besar itu baru tiga kali,” ucap Sulastri yang saat itu sedang mencuci pakaian tak jauh dari rumah Angger.
Menurut Sulastri, masing-masing rumah di sana sudah memiliki mekanisme kesiapan alamiah jika hujan turun. “Kami enggak tidur dan bersiaga.”
Namun, selama 30 tahun lebih hidup di bantaran kali, baru kemarin ia mendapati alam benar-benar tak bersahabat. Padahal sebelumnya pun, banjir bandang--baik karena cuaca buruk dan kiriman dari Gunung Merapi--telah beberapa kali menyambangi kawasan itu.
Yang berbeda kali ini, hujan lebat menimbulkan longsor hingga menewaskan tetangganya sendiri. Ini membuat bencana kemarin terasa lebih menyakitkan dibanding sebelum-sebelumnya.
Sulastri kemudian menunjukkan beberapa ranting pohon mangga berukuran 10 meter yang telah dipotong-potong untuk proses evakuasi. Pohon mangga tersebut memiliki akar yang membuat tanah menjadi lapuk.
ADVERTISEMENT
“Mungkin kalau enggak ada beban berat, ya enggak longsor,” ucapnya heran.
Ditambah, kebiasaan warga lain yang sering membuang air di talud, seakan menjadikan bencana longsor tinggal menghitung waktu.
“Karena tanahnya lapuk, ya nggak kuat menyangga beban berat. Talud ini kan enggak ada cakar ayamnya. Ini cuma batu ditata. Sudah beberapa tahun ya rapuh kalau kena air terus. Bawahnya pun tanah gembur. Kekuatannya cuma seberapa?” kata Sulastri.
Sulastri meyakini kehendak alam tak akan setega ini pada manusia. Ia percaya, pendangkalan sungai hingga polusi tanah yang dicurigai menjadi penyebab longsor tempo hari, disebabkan oleh ulah manusia sendiri.
“Perlu ada imbauan agar masyarakat tidak membuang sampah dan air sembarangan. Tata letaknya harus diatur,” ujarnya.
Suyono di depan talud sungai yang roboh. (Foto: Ardhana Pragota/kumparan)
Muhammad Suyono, warga pinggir Sungai Gajah Wong yang sama-sama terbiasa dengan terpaan banjir, juga merasa bencana akhir November 2017 di wilayahnya berbeda.
ADVERTISEMENT
Suyono telah mempersiapkan kedatangan musim hujan dengan membangun tanggul selama dua minggu. Ia mengorbankan waktu agar rumahnya tidak menerima dampak meluapnya air Sungai Gajah Wong.
Sayangnya, apa yang terjadi melampaui prediksinya. Lahir, hidup, dan menua selama 40 tahun tak menjamin dirinya bisa memprediksi alam.
“Air sungai kemarin saking derasnya tidak mengikuti aliran sungai dan menabrak rumah saya yang berada di tikungan sungai,” ucap Suyono sembari menunjuk rumahnya yang hampir roboh.
Selain Suyono, Sulastri, dan Angger, terdapat 15-20 persen dari total 410 ribu warga Yogya yang tinggal di pinggiran sungai-sungai yang membelah kota itu, seperti Winongo, Code, dan Gajah Wong. Bagi mereka, banjir bandang adalah lagu lama.
Tapi Selasa itu memang berbeda.
Banjir dampak dari siklon Cempaka (Foto: Antara/Aloysius Jarot Nugroho)
Bencana alam di Kota Gudeg seakan terus bertambah buruk. Hal tersebut setidaknya juga dirasa Wahyu Wilopo, dosen Departemen Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada.
ADVERTISEMENT
Menurut Wahyu, pada medio awal 2000-an, Yogyakarta cenderung tak terlalu disibukkan dengan bencana alam seperti badai.
“Badai di Yogyakarta mulai sering terjadi mulai tahun 2004. Itu bagian dari perubahan iklim,” ujar Wilopo.
Namun, kondisi tata ruang kota Yogya memperburuk situasi. Yogya kini sesak karena pertumbuhan hunian yang berjalan beriringan dengan peningkatan aktivitas manusia.
“Setelah dibuat jadi rumah permukiman, jadi infiltrasinya (perembesan air ke tanah) berkurang. Sebab yang dahulu tanah, sekarang sudah menjadi aspal. Semua aliran air dibebankan ke drainase,” ujar Wilopo.
Titik-titik genangan tinggi di Yogya memang terjadi di kawasan padat bangunan. Jalan Solo-Yogyakarta di depan hotel Ambarrukmo, Jalan Gejayan, dan Jalan Colombo, adalah tiga jalur langganan banjir di Yogya. Ketiganya saat ini penuh oleh bangunan permanen.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut membuat air hujan tak mampu mencari saluran alaminya. Pada saat yang sama, sungai dipenuhi endapan lahar dingin serta sampah buangan masyarakat.
“Sungai dan sebagainya itu tidak mampu menampung semua itu. Ditambah drainase kota (menjadi) buangan limbah dan sampah,” kata Wilopo.
Jangankan siklon tropis, hujan deras biasa saja belum tentu mampu dihadapi Yogyakarta. Ketiadaan saluran resapan dan tata kota yang buruk membuat musim hujan menjadi momok menakutkan bagi sebagian masyarakat.
Lebih-lebih siklon tropis. Ia berdampak amat serius bagi Yogya. Siklon tropis Cempaka menumbangkan pohon di 131 titik, dan menyebabkan banjir di 110 titik serta kerusakan infrastruktur yang tidak sedikit.
Siklon tropis di Indonesia (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisikia (BMKG) Dwikorita Karnawati mengatakan, siklon tropis adalah kejutan bagi diskursus kebencanaan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
“Karena ini fenomena yang baru bagi kami, bagi teman-teman yang juga menekuni ilmu meteorologi. Mereka pun merasa surprise, ‘Kok Indonesia sekarang seperti itu? Dalam satu minggu bisa terjadi dua siklon,’” ujar Dwikorita.
“Cempaka itu bergerak menyentuh darat. Itu yang mengakibatkan curah hujan tinggi dan angin kencang. Baru ekornya pun sudah terasa seperti itu,” kata Guru Besar UGM tersebut.
Dwikorita mengingatkan, “Diperkirakan ke depan intensitas curah hujan semakin meningkat, sehingga kita harus semakin ketat mengatur tata ruang kita. Kalau itu memang zona merah, rentan longsor dan banjir, sedapat mungkin tidak ada hunian di sana.”
Badai memang pergi, namun badai lain bisa jadi akan menghampiri. Satu hal mutlak perlu dilakukan: antisipasi.
Dampak Siklon Tropis Cempaka dan Dahlia. (Foto: Antara)
ADVERTISEMENT