Setelah Purnawirawan: Antara Politik dan Dunia Sipil Lainnya

18 Januari 2018 21:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, jalan hidup seorang prajurit tak hanya berkutat untuk urusan barak. Posisi di dunia politik, bisnis, hingga organisasi sosial, terbuka bagi mereka yang telah purna tugas di TNI atau Polri. Di luar militerlah kemudian nama mereka biasanya lebih nyaring terdengar.
ADVERTISEMENT
Pada Rabu (17/1),mantan Panglima TNI Moeldoko baru saja dilantik menjadi Kepala Kantor Staf Kepresidenan. Posisi baru ini membuat purnawirawan yang pensiun dari TNI Angkatan Darat pada 2016 memegang jabatan penting di level nasional.
Selain menggantikan Teten Masduki sebagai Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko juga menjabat Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia sekaligus Wakil Ketua Umum DPP Partai Hanura.
Jenderal TNI (Purn.) Dr. Moeldoko. (Foto: Twitter: Moeldoko)
Sebelumnya, nama Moeldoko sempat muncul sebagai kandidat calon Ketua Umum PSSI periode 2016-2020 pada November 2016. Ia bersaing dengan juniornya, Edy Rahmayadi, yang saat itu masih aktif berdinas sebagai Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad).
Moeldoko keok dari juniornya. Sementara Edy memenangkan 76 suara dari 107 pemilik suara, Moeldoko hanya meraih 23 suara. Edy kemudian memegang tampuk kepemimpinan federasi sepak bola Indonesia ini sambil mengurus pasukan pemukul strategis TNI AD.
ADVERTISEMENT
Setelah itu, nama Moeldoko terbit tenggelam. Berbeda dengan Edy Rahmayadi yang selalu tampil seiring ekspose masyarakat terhadap dunia sepak bola.
Tak berhenti di situ. Pada pertengahan Juni 2017, Edy mengutarakan keinginannya untuk mundur dari TNI AD.
Ia berniat ikut mencalonkan diri di laga pemilihan kepala daerah Sumatera Utara. Edy siap meletakkan jabatannya sebagai Pangkostrad untuk memenuhi syarat pencalonan.
Cita-citanya untuk maju Pilgub berlangsung lancar. Setelah memilih pensiun dini, ia juga memperoleh dukungan dari Gerindra, Golkar, PKS, PAN, dan Hanura.
Ketum PSSI Letjen Edy Rahmayadi (tengah) bersama dengan Wakil Ketua Djoko Driyono (kiri) menyaksikan latihan tim nasional sepakbola Indonesia di Tangerang, Banten. (Foto: Muhammad Iqbal)
Moeldoko dan Edy hanya sekelumit kisah bagaimana para prajurit mempersiapkan langkah kaki mereka selanjutnya setelah purna tugas. Hampir setiap angkatan di TNI maupun Polri melahirkan tokoh baru yang justru meroket setelah pensiun.
ADVERTISEMENT
Edy masuk ke dalam generasi baru prajurit TNI dan Polri yang terjun ke dunia politik melalui Pilkada 2018. Selain dia, terdapat Brigjen TNI Edy Nasution yang maju menjadi Cawagub pada Pilgub Riau.
Selain itu, perwira Polri terdiri dari Irjen Anton Charliyan di Pilkada Jawa Barat, Irjen Safaruddin di Pilkada Kalimantan Timur, dan Irjen Murad Ismail di Maluku. Total kurang lebih ada 17 anggota TNI dan Polri yang ambil peruntungan dalam pilkada kali ini.
Mereka memutuskan masuk ke dunia politik ketika masih menduduki jabatan strategis di kesatuannya masing-masing. Anton misalnya, memilih untuk mengabdikan diri pada tanah kelahirannya.
“Pengabdian kan tidak hanya di Polri. Pengabdian ini bisa di mana saja. Kebetulan saya diberikan kesempatan oleh salah satu partai besar untuk mengabdi,” ucap Anton kepada kumparan, Senin (15/1).
Murad Ismail, Edy Rahmayadi, dan Anton Charliyan (Foto: Antara/Wahyu Putro, Adhim Mughni/kumparan, Instagram @antoncharliyan)
Sepintas, pemandangan tokoh militer yang masuk ke dunia politik tampak tidak asing. Indonesia pernah melalui masa otoritarianisme Orde Baru yang didominasi oleh militer. Baru Pascareformasi, para pemimpin sipil kemudian banyak bersanding mesra dengan purnawirawan dengan semangat gotong royong.
ADVERTISEMENT
Dalam buku The Army and Politics in Indonesia (1988) karangan akademisi Australia Harold Crouch, para perwira TNI pada masa awal 1950-an merasa perlu diakomodir kepentingannya karena telah memberikan andil besar dalam memperoleh kemerdekaan. Gairah para prajurit untuk ikut terlibat dalam urusan negara ini telah terasa sejak perang kemerdekaan.
Meski berambisi, beberapa perwira kala itu tetap meragukan kapasitas mereka sendiri untuk menduduki kekuasaan. “Selama dua dekade setelah 1945, militer memiliki ketidakpercayaan terhadap kepemimpinan sipil, namun tidak bisa mengambil sikap karena perbedaan pandangan di internal militer,” tulis Crouch.
Soeharto dengan Wiranto di belakangnya. (Foto: Reuters.)
Militer menemukan momentumnya setelah tragedi 1965. Pada masa pemerintahan Soeharto, doktrin Dwifungsi ABRI --yaitu menjalankan peran sebagai penjaga keamanan dan juga kekuasaan-- menemukan kejayaannya.
ADVERTISEMENT
Pada saat itu, ABRI memiliki fraksi di parlemen. Menteri dari perwira yang berasal dari ABRI jamak ditemui. Penunjukan jenderal menjadi kepala daerah merupakan hal yang biasa. Jenderal ABRI bisa memegang jabatan di BUMN, seperti Dirut pertama Pertamina Jenderal Ibnu Sutowo.
Pembaruan peran militer ditabuh pada saat senjakala kepemimpinan Soeharto dimulai. Reformasi dipenuhi jargon “kembalikan ABRI ke tangsi” untuk menghapus doktrin dwifungsi ABRI.
Upaya itu dilakukan guna menghindarkan para prajurit dari kontestasi kekuasaan demi melancarkan jalannya demokrasi. TNI dan Polri ditempatkan sebagai lembaga yang profesional dan sepenuhnya berkonsentrasi dalam mewujudkan pertahanan dan keamanan.
Semangat itu kemudian melahirkan Tap MPR No. 7 tahun 2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Republik Indonesia yang isinya “TNI dan Polri harus profesional, netral, dan tidak ikut berpolitik praktis”.
ADVERTISEMENT
Ketetapan itu kemudian diikuti oleh berbagai aturan mengenai peran TNI dan Polri. Prajurit TNI dan Polri diminta untuk lebih berkutat di dunia militer dan terhindar dari praktik politik praktis ataupun bisnis.
Wiranto dan rekan-rekannya di TNI AD. (Foto: Facebook Official Wiranto)
Setelah reformasi, keterlibatan TNI dan Polri di ruang-ruang pemerintahan tetap terasa namun berganti rupa. Mereka yang terjun ke dunia politik biasanya baru muncul setelah purna tugas.
Generasi Susilo Bambang Yudhoyono, Luhut Panjaitan, Sutiyoso, Prabowo, Agum Gumelar, misalnya, sudah purna tugas terlebih dulu sebelum terjun ke dunia politik. Hingga kemudian sistem demokrasi di Indonesia menemukan bentuknya melalui pemilihan presiden secara langsung pertama kalinya di tahun 2004.
Perubahan pola pascareformasi juga terjadi di struktur kepemimpinan yang diisi oleh aktor dengan beragam latar belakang. Dalam survei Power , Welfare, and Democracy (2013) yang dikerjakan oleh Universitas Gadjah Mada dan Universitas Oslo, Norwegia, aktor asal militer ternyata tak lagi dominan.
ADVERTISEMENT
Peran TNI dan Polri di dunia politik diatur seksama. Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota; hingga UU No. 34/2004 tentang TNI; dan UU No. 2/2002 tentang Polri mengatur batasan-batasan keterlibatan prajurit dalam politik praktis.
Jika ingin melakukan aktivitas politik seperti menjadi kandidat dalam pemilu, prajurit wajib mundur dari kesatuannya.
Pertemuan SBY dan Prabowo (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Namun ada banyak kisah sukses bagi para prajurit dari seniornya. Dua politikus paling menonjol saat ini, Susilo Bambang Yudhoyono dan Prabowo Subianto, besar dari TNI. Nama lain yang saat ini naik daun seperti Wiranto, Luhut Panjaitan, dan AM Hendropriyono.
Kemenangan SBY, sosok yang besar di militer, pada Pilpres langsung untuk pertama kalinya tentu menjadi cerita indah.
ADVERTISEMENT
Nama SBY muncul saat menjabat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral hingga Menko Polhukam. SBY kemudian mendirikan Partai Demokrat yang menjadi kendaraan politiknya untuk memenangi Pilpres mengalahkan petahana Megawati Soekarnoputri.
SBY kembali menang di tahun 2009 dan menggenapkan kepemimpinannya selama dua periode. Partai Demokrat sebagai partai pemenang pemilu 2009 hingga kini masih diperhitungkan sepak terjangnya.
Sementara Prabowo mendirikan Gerindra pada 2009. Ia maju menjadi wakil Megawati Soekarnoputri dan gagal bersaing melawan SBY. Meski tidak meraih hasil signifikan pada pemilu 2009, nama Prabowo tetap moncer di permukaan hingga sekarang.
Tahun berganti, pemenang ikut berganti. Pemilu 2014 menjadi rezeki bagi Partai Gerindra. SBY yang akan mengakhiri masa jabatannya sebagai presiden harus rela mendapati partainya hanya memperoleh sedikit suara. Sementara Gerindra justru melesat meraih peringkat tiga.
ADVERTISEMENT
Prabowo tentu saja menjadi salah satu tokoh paling menonjol kala itu. Ia maju menjadi calon presiden berhadapan dengan Joko Widodo. Prabowo kemudian kalah tipis.
Prabowo Subianto saat menjabat Danjen Kopassus (Foto: Facebook: Prabowo Subianto)
Kesempatan rangkap jabatan juga dimiliki para purnawirawan. Selain di dunia politik, banyak dari mereka yang menjadi pengusaha hingga memimpin federasi olah raga.
Sebagai contoh adalah Menteri Polhukam dan Ketua Umum Hanura, Wiranto. Mantan Menpangab tahun 1997-1999 ini juga menjadi politisi yang menduduki posisi Ketua PBSI.
Dunia keolahragaan memang dekat dengan perwira. Di induk organisasi badminton nasional, terdapat nama-nama seperti Sutiyoso dan mantan Panglima TNI Djoko Santoso.
Organisasi lain yang dekat dengan militer adalah KONI. KONI Pusat saat ini dipimpin oleh Mayjen TNI (Purn) Tono Suratman. Sebelumnya terdapat nama Wismoyo Arismunandar dan Agum Gumelar sebagai Ketua KONI Pusat.
ADVERTISEMENT
Belum lagi mereka yang bersinggungan dengan dunia bisnis. Di balik citra Prabowo sebagai Ketum Gerindra dan tokoh yang paling memungkinkan mencalonkan diri dalam Pilpres 2019, Prabowo memiliki kekayaan dan kemampuan sebagai pengusaha sukses.
Dalam laporan kekayaan kepada KPK tahun 2009, Prabowo tercatat memiliki kekayaan Rp 1,58 triliun dan USD 7,57 juta. Prabowo juga mendirikan perusahaan Nusantara Energy yang bergerak di sektor ekstraksi.
Menko Kemaritiman Luhut misalnya, ia sempat memiliki PT Toba Sejahtera yang juga bergerak di bidang pertambangan. Ia membesarkan bisnisnya bersamaan dengan aktivitasnya sebagai anggota Partai Golkar sejak awal tahun 2000-an setelah purna tugas dari TNI.
Dunia sipil tentu saja menjadi pilihan paling menggoda bagi para pensiunan prajurit.
Politik dunia pensiun para perwira (Foto: Muhammad Faisal Nu'man/kumparan)
ADVERTISEMENT