Setelah Tere Liye, Giliran Dee Lestari Bicara soal Pajak Royalti

8 September 2017 10:20 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Dewi 'Dee' Lestari (Foto: Instagram/ @deelestari)
zoom-in-whitePerbesar
Dewi 'Dee' Lestari (Foto: Instagram/ @deelestari)
ADVERTISEMENT
Persoalan pajak royalti penulis yang dikeluhkan Tere Liye kini berkembang menjadi diskusi-diskusi baik antar penulis maupun praktisi pajak. Berbagai suara mulai muncul terkait tarif pajak royalti penulis sebesar 15 persen yang dinilai terlampau tinggi.
ADVERTISEMENT
Salah satunya adalah Dewi Lestari atau yang akrab dikenal dengan nama Dee Lestari. Penulis novel Supernova ini juga mengeluhkan masalah yang sama terkait tarif pajak royalti penulis. Padahal, royalti yang diperoleh penulis dari penerbit hanya 10 persen atau 15 persen jika memiliki daya tawar.
"Genggamlah sebuah buku dan bayangkan bahwa 90% dari harga banderol yang Anda bayar adalah untuk aspek fisiknya saja. Hanya 10% untuk idenya (bisa 12,5 – 15% kalau punya bargaining power ekstra). Lalu, penulis berhadapan dengan negara. Potongan kue kami yang mungil itu dipotong lagi lima belas persen, tak peduli kami hidup seperti burung hantu, wara-wiri untuk riset, merogoh kocek untuk 365 cangkir kopi per tahun, atau apa pun juga. It’s done deal," kata Dee seperti dikutip dari tulisan di laman facebooknya, Jumat (8/9).
ADVERTISEMENT
Menurut Dee, penulis tidak akan pernah mengecap seratus persen penerimaan royalti karena pemotongan itu bersifat langsung. Lalu, sisanya dimasukkan ke dalam pendapatan tahunan. "Bulat utuh menjadi pendapatan kena pajak dan masih harus menghadapi hitungan pajak berjenjang," katanya.
Dee mengaku pernah mencurahkan keglisahannya soal pajak tersebut kepada Presiden Jokowi di acara Temu Kreatif BEKRAF di ICE BSD, tahun 2015. Di sana, Dee mengaku meminta agar pajak royalti penulis diringankan.
Dalam kesempatan lain, dia juga berdiskusi dengan salah satu petugas pajak. Menurut dia, dari pandangan awamnya peraturan pajak saat itu dirasa memberatkan penulis dua kali. Sebab, sudah pendapatan royalti dikenai 15%, sisanya yang masuk ke penghasilan tahunan dihitung utuh sebagai pendapatan kena pajak.
ADVERTISEMENT
"Saya lalu membandingkan dengan suami saya, seorang praktisi kesehatan, yang karena profesinya dapat menggunakan rumus norma sebesar 30%. Dari total pendapatannya, ia cukup memasukkan 30% untuk dikenai pajak. Sisanya? Dianggap sebagai modal usahanya sebagai praktisi kesehatan," ujarnya.
Penulis secara administrasi pajak diakui sebagai pekerja bebas, sehingga boleh menghitung pajak dengan Norma Penghitungan Penghasilan Netto. Intinya, penulis yang penghasilan setahun tidak melebihi Rp 4,8 miliar boleh NPPN, dan penghasilan nettonya diakui (deemed) sebesar 50%, baru dikurangi PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) dan dikenai pajak sesuai tarif berlaku.
Namun yang jadi persoalan adalah Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 atas royalti penulis buku yang dipotong 15% atas jumlah bruto. Tarif tersebut dinilai cukup berat, karena umumnya jatah royalti penulis hanya 10% dari penjualan.
ADVERTISEMENT
Menurut Dee, meskipun ada fasilitas NPPN, beberapa penulis mengadu ke dia jika penggunaan norma tersebut ditolak oleh KPP setempat. Alasannya, norma itu hanya bisa dipakai untuk pendapatan non-royalti.
"Ketika penulis dianggap memperoleh penghasilan pasif, maka ia tidak dianggap layak untuk memanfaatkan rumus norma. Penulis dianggap tidak keluar modal. Biaya kertas, percetakan, distribusi, dsb, adalah modal penerbit. Terkecuali jika penulis menerbitkan sendiri karyanya, barulah ia dianggap keluar modal," ujarnya.
Selain itu, Dee juga mempertanyakan kenapa pajak royalti penulis tidak dikenakan pajak final saja. Menurut dia, skema itu lebih sederhaa meskipun pajak yang tidak final bisa digunakan sebagai kredit pajak dan yang selalu menjadi alasan ketidakfinalan pajak royalti dianggap “menguntungkan”.
"Tapi, silakan simulasi sendiri. Mana yang lebih punya dampak bagi kami. Dikenai pajak dua kali atau sekalian jadikan pajak royalti sebagai pajak final? Karena toh setelah profesi penulis punya rumus norma sekalipun, kami tetap tidak dapat menggunakannya untuk meringankan pajak royalti kami," katanya.
ADVERTISEMENT
Terakhir, Dee menuliskan dua poin catatannya:
• Jika royalti tetap dianggap penghasilan pasif, maka perlakukanlah pajaknya seperti pemasukan pasif. Final. Setelah penerbit memotong pajak kami, maka selesai urusan.
• Jika royalti bisa dipertimbangkan sebagai penghasilan aktif, maka beri pilihan penggunaan norma pada seluruh pendapatan kami tanpa kecuali.
"Jujur, pilihan pertama lebih menggairahkan bagi saya. Bayangkan, jika para kreator diberi keleluasaan seperti itu, negara benar-benar dapat menghadirkan atmosfer kondusif bagi para penemu dan insan kreatif yang pekerjaannya mencipta, termasuk penulis," ujarnya.