Sjamsul Nursalim yang Istimewa

13 September 2018 18:26 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sjamsul Nursalim. (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Sjamsul Nursalim. (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
ADVERTISEMENT
Mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung pernah meminta agar jaksa penuntut umum (JPU) KPK menghadirkan pemegang saham kendali BDNI, Sjamsul Nursalim, sebagai saksi dalam persidangan kasus dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI ke BDNI.
ADVERTISEMENT
Syafruddin menyampaikan hal itu usai JPU membacakan dakwaan terhadapnya, Kamis (31/5) lalu.
Namun, hingga tuntutan kepada Syafruddin dibacakan, Sjamsul tidak dihadirkan dalam persidangan. Hal itu pula yang dipertanyakan oleh Syafruddin dalam nota pembelaannya (pledoi).
"Sjamsul Nursalim yang diduga diperkaya oleh kami tidak pernah diminta keterangan atau diperiksa oleh penyidik, dan tidak pernah dihadirkan dalam persidangan kami, walaupun kami sudah meminta majelis hakim untuk JPU menghadirkan Sjamsul Nursalim," kata Syafruddin saat membacakan pledoinya di hadapan majelis hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (13/9).
Menurut Syafruddin, jaksa tidak memberikan alasan terkait tidak dihadirkannya Sjamsul dalam persidangan. "Tidak ada penjelasan dari JPU mengapa Sjamsul tidak bisa dihadirkan dipersidangan," ucapnya.
ADVERTISEMENT
Perbuatan Syafruddin dalam penerbitan SKL BLBI disebut telah menguntungkan Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham kendali BDNI, sekaligus penerima SKL obligor BLBI. Keuntungan yang didapat yakni Rp 4,58 triliun.
Syafruddin menganggap bahwa ketidakhadiran serta tidak ada penjelasan dari Sjamsul Nursalim membuat dakwaan dan tuntutan dari jaksa tidak objektif dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Syafruddin mengklaim tidak mengenal dan tidak berhubungan dengan Sjamsul Nursalim, baik sejak menjabat Ketua BPPN pada 26 April 2002 hingga 30 April 2004, maupun setelah menjabat.
"Hukum positif berdasarkan logika hukum dan rasa keadilan. Bagaimana bisa kami didakwa memperkaya orang lain, yang kami sendiri tidak kenal dan tidak pernah berhubungan," kata Syafruddin.
Tuntutan Jaksa
Dalam kasus ini, Syafruddin dituntut 15 tahun hukuman penjara. Ia juga dituntut membayar denda Rp 1 miliar subsidair 6 bulan kurungan.
ADVERTISEMENT
Syafruddin dinilai terbukti melakukan korupsi dalam penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) terkait Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Sjamsul Nursalim.
Padahal, Sjamsul belum memenuhi syarat untuk mendapat SKL. Sjamsul dianggap belum menyelesaikan kewajibannya terkait piutang kepada petani tambak.
Syafruddin dinilai terbukti menghapus piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja dan PT Wachyuni Mandira. Kedua perusahaan tersebut merupakan perusahaan Sjamsul Nursalim.
Menurut jaksa, penghapusbukuan awalnya diusulkan pada Ratas Februari 2004. Saat itu Syafruddin melaporkan ke Presiden Megawati Soekarnoputri, utang petambak 3,9 triliun dan yang bisa dibayar Rp 1,1 triliun, sedangkan Rp 2,8 triliun diusulkan dihapusbukukan. Namun Syafruddin tidak melaporkan aset berupa hutang petambak yang diserahkan Sjamsul terdapat misrepresentasi saat diserahkan ke BPPN.
ADVERTISEMENT
Sehari setelah ratas, Syafruddin disebut tetap menandatangani ringkasan eksekutif yang diusulkannya dalam ratas. Ringkasan usulan itu disampaikan kepada Ketua KKSK Dorodjatun Kuntjoro-Jakti.
"Terdakwa mengetahui bahwa belum ada persetujuan presiden terkait write off atau penghapusbukuan terkait utang petambak Dipasena, tapi terdakwa tetap mencantumkan bahwa usulan penghapusan atas porsi unsuistainable tambak plasma sebesar Rp 2,8 triliun," kata jaksa Wayan saat membacakan tuntutannya.
Akibat penandatanganan itu, pada 13 Februari 2004, Dorodjatun menyetujui nilai utang masing-masing petambak plasma ditetapkan setingginya Rp 100 juta.
"Dengan penetapan utang maksimal tersebut maka dilakukan penghapusan atas sebagian hutang pokok secara proporsional sesuai beban masing-masing utang petambak plasma dan penghapusan seluruh tunggakan bunga serta denda," kata jaksa.
ADVERTISEMENT
Perbuatan Syafruddin itu disebut merugikan keuangan negara hingga Rp 4,58 triliun. Perbuatan Syafruddin juga disebut telah menguntungkan Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham kendali BDNI, sekaligus penerima SKL obligor BLBI. Keuntungan yang didapat yakni Rp 4,58 triliun.
Atas perbuatannya, Syafruddin dinilai memenuhi unsur dalam Pasal 2 ayat 1 nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Latar Belakang
Kasus ini bermula pada saat BDNI milik Sjamsul mendapat BLBI sebesar Rp 37 triliun yang terdiri dari fasilitas surat berharga pasar uang khusus, fasilitas saldo debet dan dana talangan valas. Selain itu, BDNI juga disebut menerima BLBI sebesar Rp 5,4 triliun dalam periode setelah 29 Januari 1999 sampai dengan 30 Juni 2001 berupa saldo debet dan bunga fasilitas saldo debet.
ADVERTISEMENT
Namun kemudian BDNI melakukan penyimpangan dalam penggunaan dana puluhan triliun tersebut. BPPN kemudian menetapkan BDNI sebagai bank yang melakukan pelanggaran hukum.
Untuk menyelesaikan persoalan hukum.tersebut BDNI diwajibkan mengikuti Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dengan pola perjanjian Master Settlement Aqcusition Agreement (MSAA).
Berdasarkan perhitungan, jumlah kewajiban yang harus dibayar BDNI adalah sebesar Rp 47,2 triliun. Jumlah itu terdiri dari BLBI sebesar Rp 30,9 triliun, simpanan nasabah dan utang sebesar Rp 7,06 trilun, serta kewajiban balance sheet berupa utang BLBI kepada BI sebesar Rp 4,7 triliun dan L/C serta utang lainnya sebesar Rp 4,59 triliun.
Total kewajiban sebesar Rp 47,2 triliun itu dikurangi oleh jumlah aset yang dimiliki sebesar Rp 18,8 triliun. Sehingga yang harus dibayarkan BDNI adalah sejumlah Rp 28,4 triliun.
ADVERTISEMENT
Pada tanggal 21 September 1998, dilakukan penandatanganan penyelesaian pengambilalihan melalui MSAA, antara Kepala BPPN ketika itu, Glenn M. S. Yusuf, dengan BDNI yang diwakili oleh Sjamsul Nursalim selaku Pemegang Saham Pengendali. Disepakati bahwa BPPN mengambil alih pengelolaan BDNI dan Sjamsul akan bertanggung jawab menyelesaikan kewajibannya secara tunai mupun berupa aset dalam perjanjian MSAA
Dokumen terkait perhitungan atas kewajiban dan aset BDNI kemudian dibuat. Pada dokumen tersebut, termuat jumlah kewajiban dan juga jumlah aset BDNI. Dalam aset tersebut, juga dimuat bahwa BDNI memiliki piutang berupa pinjaman kepada petani tambak sebesar Rp 4,8 triliun.
Piutang itu disebut merupakan pinjaman dari BDNI untuk modal kerja operasi budidaya udang dan kepemilikan perumahan petambak dalam bentuk mata uang dolar AS dan rupiah. Usaha budidaya itu menggunakan Pola Kemitraan Inti Rakyat, yakni pola kerja sama antara petambak sebagai plasma dengan PT DCD dan PT WM sebagai inti. Kedua perusahaan itu juga dimiliki oleh Sjamsul.
ADVERTISEMENT
Piutang tersebut dicantumkan seolah-olah merupakan piutang yang lancar. Namun berdasarkan pemeriksaan audit berupa Financial Due Dilligent (FDD) oleh Kantor Akuntan Publik Prasetio Utomo & CO, disimpulkan bahwa kredit petambak plasma tersebut tergolong macet.
Glenn selaku Kepala BPPN menyatakan bahwa Sjamsul melakukan misrepresentasi atas keadaan kredit petambak sebesar Rp 4,8 triliun. Namun Sjamsul menolak menambah aset untuk mengganti kerugian dengan alasan utang petambak termasuk Kredit Usaha Kecil.
Setelah dilakukan penghitungan, didapatkan hak tagih utang dari para petambak plasma tersebut hanya sebesar Rp 220 miliar.
Meski demikian, sisa utang BDNI yakni sebesar Rp 4,58 triliun belum dibayarkan. Sementara Syafruddin, yang menjadi Kepala BPPN sejak 22 April 2002, kemudian menandatangani surat yang menjelaskan bahwa Sjamsul sudah menyelesaikan kewajiban PKPS.
ADVERTISEMENT
Perbuatan Syafruddin tersebut dinilai membuat Sjamsul Nursalin mendapat keuntungan sebesar Rp 4,58 triliun. Hal tersebut pula yang kemudian dihitung sebagai besaran kerugian negara.