Skandal Cambridge Analytica, Trump, dan Bahaya Teknologi

21 Maret 2018 21:29 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Christopher Wylie. (Foto: Reuters/Henry Nicholls)
zoom-in-whitePerbesar
Christopher Wylie. (Foto: Reuters/Henry Nicholls)
ADVERTISEMENT
Terbongkarnya skandal pencurian data jutaan pengguna Facebook oleh Cambridge Analytica telah menyita perhatian publik. Skandal itu, buat masyarakat Barat yang menjunjung tinggi nilai-nilai privasi, tentu ibarat petir di siang bolong.
ADVERTISEMENT
Tanpa mereka sadari, dan itu juga berarti tanpa persetujuan mereka, data pribadi milik mereka di media sosial, diretas dan dijual ke pihak ketiga sebagai bahan kampanye politik Donald Trump di pemilu presiden AS tahun 2016 lalu.
Apa yang telah dilakukan oleh Cambridge Analytica memang ngeri-ngeri sedap. Dengan menyediakan big data ke tangan sekelompok ilmuwan komputer jenius, konsultan politik ini berhasil membantu Donald Trump memenangi pemilu presiden Amerika. Tidak cuma itu, sebelumnya konsultan politik ini juga pernah membantu kelompok pro-Brexit memenangkan referendum yang menentukan nasib Inggris di Uni Eropa pada 2014 lalu.
Cambridge Analytica semula terdengar asing. Padahal, konsultan pemasaran politik ini mengklaim telah bekerja di berbagai negara di dunia, terutama di negara berkembang seperti Nepal, Malaysia, dan Kenya.
ADVERTISEMENT
Nama konsultan ini seketika mencuat setelah media Inggris The Observer dan media Amerika The New York Times membongkar skandal pencurian dan eksploitasi data jutaan pengguna Facebook yang mereka lakukan. Menurut laporan The Guardian, Cambridge Analytica membeli setidaknya 50 juta data pengguna Facebook dari seorang akademisi Cambridge University, Aleksander Kogan.
Aktivitas ilegal Cambridge Analytica “memberdayakan” data jutaan pengguna Facebook ini terbongkar setelah seorang mantan pekerjanya, Christopher Wylie mau membuka tabir itu. Wylie, seperti yang dilaporkan The Guardian, merasa terpukul begitu menyadari bahwa kecerdasan dan kemampuan yang ia miliki justru digunakan untuk membantu Trump meraih kekuasaan.
Alexander Nix. (Foto: Reuters/Pedro Nunes)
zoom-in-whitePerbesar
Alexander Nix. (Foto: Reuters/Pedro Nunes)
Cambridge Analytica lahir dari dua hal yang hampir tak terpisahkan: ide dan uang. Ide dari anak muda jenius yang punya pikiran brilian: ingin memadukan teknologi, komunikasi, dan psikologi dalam politik. Serta uang dari miliuner kaya pendukung agenda politik konservatif dari Amerika. Tidak heran kalau Cambridge Analytica punya rekam jejak mentereng dalam menyukseskan agenda politik sayap Kanan: memenangkan Trump dan kelompok Brexit.
ADVERTISEMENT
Christopher Wylie adalah sosok yang mewakili aspek kejeniusan itu. Dalam pengakuannya kepada The Guardian, Wylie menceritakan seluk-beluk di balik kerja-kerja konsultan politik, yang boleh dibilang inovatif sekaligus “menakutkan” itu.
Wylie, ilmuwan data yang di tahun 2012 lalu berusia 24 tahun, baru saja memperoleh gelar doktor di bidang fashion forecasting. Ia punya satu ide brilian: memadukan data untuk menggali lebih dalam aspek psikologi seseorang, yang kelak dapat digunakan untuk memprediksi pilihan politik mereka. Dengan begitu, pikir Wylie, ia bisa menjejali mereka dengan iklan-iklan kampanye politik yang “sesuai” dengan karakter psikologinya.
Wylie secara tidak langsung sedang membicarakan suatu disiplin ilmu yang namanya: Psychographics. Ilmu yang kemudian ternyata berjasa besar mengantar Trump ke kursi kepresidenan Amerika, dan Wylie ditakdirkan terlibat di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Wylie mengaku menyesal telah membantu orang seperti Trump--yang disebut demagog (pandai menghasut) oleh mendiang Hawking--berkuasa di negeri adikuasa. Orang-orang yang tahu itu mungkin akan menganggapnya sebagai “pengkhianat” atau istilah sejenis lainnya.
Christopher Wylie. (Foto: Twitter @DharmaMum)
zoom-in-whitePerbesar
Christopher Wylie. (Foto: Twitter @DharmaMum)
Sebetulnya, Wylie tak sepenuhnya salah.
Dilansir The Guardian, Wylie mengaku lebih dulu menawarkan jasanya kepada Liberal Democratic Party UK, partai dengan garis ideologi Tengah-Kiri di Inggris--yang giat memperjuangkan hak-hak LGBT. Namun alih-alih diterima dengan pelukan hangat, niat baik Wylie justru ditolak. Ia malah dikatai sebagai anak muda yang pesimis.
Setelah idenya ditolak mentah-mentah, seorang koneksinya di partai itu lantas merekomendasikannya ke sebuah perusahaan bernama Strategic Communication Laboratories (SCL Group).
Ketika Wylie bertemu dengan bos perusahaan itu, Alexander Nix, ia diterima dengan tangan terbuka. Nix bahkan bilang, “Kami akan memberimu kebebasan penuh. Eksperimen. Bergabunglah dan uji-cobakan semua ide-ide gilamu.”
ADVERTISEMENT
Beberapa bulan berselang, Wylie dipertemukan dengan Steve Bannon yang ketika itu masih menjabat sebagai pemimpin redaksi media ekstrem Kanan, Breitbart. Saat itu, Bannon sedang berada di Inggris, menyambangi kawannya Nigel Farage, untuk memberinya dukungan moril atas misi kampanye membawa Inggris keluar dari Uni Eropa (Brexit).
Setelah berbincang dengan Wylie, Bannon merasa sangat tertarik dengan idenya tentang pemanfaatan personality profiling (merekam dan menganilisis rekam jejak kelakuan dan psikologi seseorang lewat data-data di media sosial) yang bisa digunakan sebagai mesin propaganda untuk mengubah lanskap politik di Amerika, seperti yang ia bayangkan.
Steve Bannon. (Foto: Reuters/Pascal Rossignol)
zoom-in-whitePerbesar
Steve Bannon. (Foto: Reuters/Pascal Rossignol)
Bannon kemudian membawa ide itu ke pebisnis Amerika yang pro agenda politik konservatif, Robert Mercer. Setelah mendengar penjelasan Wylie, Mercer kemudian bersedia untuk menginvestasikan USD 15 juta untuk membiayai Cambridge Analytica.
ADVERTISEMENT
Setelah mendapat dana, masih ada satu hal lagi yang menghambat rencana Wylie: ketersediaan data. Awalnya, Cambridge Anaytica berusaha mendapat data yang dihimpun oleh duo akademisi asal Cambridge University’s Psychometrics Centre, Michal Kosinski dan David Stillwell. Usaha itu gagal karena di akhir negosiasi Kosinski menolak menyerahkan data yang dimilikinya setelah ia curiga terhadap kegiatan Cambridge Analytica.
Namun, mereka akhirnya bisa mendapatkan komponen big data itu dari seorang akademisi lain yang juga berasal dari Cambridge, Aleksandre Kogan. Kogan, lewat perusahaan miliknya Global Science Research, menyiasati masalah data itu dengan menciptakan sebuah aplikasi tes kepribadian: thisismydigitallife. Kogan, yang juga kolega Michal Kosinski meniru metode psychographics yang lebih dulu dikembangkan oleh Kosinski.
ADVERTISEMENT
Lewat tes kepribadian yang bisa diakses di laman Mechanichal Turk dan Qualtrics itu, setiap orang yang melakukan tes, tanpa mereka sadari setuju untuk memberi akses kepada Kogan untuk mengakses profil Facebook mereka. Bahkan, profil teman Facebook mereka juga bisa dicuri. Dari situ, Kogan berhasil memperoleh setidaknya 50 juta data profil pengguna Facebook. Dengan data itu, Wylie kemudian bisa membuat sistem perangkat lunak yang ia sebut sebagai “Bannon Psychological Warfare Mindfuck Tool”.
Perkembangan teknologi informasi paling mutakhir, yang ditandai dengan munculnya media-media sosial terbukti bisa mendisrupsi demokrasi. Terbongkarnya skandal pemanfaatan data jutaan pengguna Facebook oleh firma Cambridge Analytica adalah salah satu buktinya.
Cambridge Analytica sendiri, oleh Christopher Wylie, disebut punya ekspertis dalam hal “operasi psikologi”. Metode ini dilakukan dengan mengubah pemikiran seseorang bukan lewat persuasi, tapi lewat “dominasi informasi” yang meliputi seperangkat teknik-teknik tertentu seperti rumor, disinformasi, dan berita palsu. Dari penjelasan Wylie ini kita bisa menemukan titk terang tentang apa sesungguhnya yang ia sebut sebagai psychological warfare tool.
ADVERTISEMENT
Lalu, bagaimana Cambridge Analytica memanfaatkan data Facebook sebagai alat prediksi politik yang mereka klaim presisi?
Wylie dan Cambridge Analytica menyadari bahwa informasi personal seperti ras, gender, orientasi seksual, kecerdasan, sampai trauma masa kecil bisa diketahui dengan melacak jejak maya berupa “likes” yang diklik seseorang di laman Facebook mereka.
Molly Schweickert, kepala divisi digital di perusahaan itu, dalam sebuah konferensi yang membahas soal pemasaran digital di Jerman, bahkan mengatakan, hanya dengan “beberapa lusin ‘likes’ mereka dapat memprediksi partai politik mana yang bakal dipilih seseorang, sampai menyediakan petunjuk kuat tentang hubungan orang tua mereka di masa kecil.”
Facebook dan Instagram. (Foto: REUTERS/Yves Herman)
zoom-in-whitePerbesar
Facebook dan Instagram. (Foto: REUTERS/Yves Herman)
Celah yang terdapat pada Facebook itu membuat beberapa pihak khawatir. Beberapa di antaranya ialah Michael Kosinski dan David Stillwell, duo akademisi yang giat melakukan studi di bidang Psychographics.
ADVERTISEMENT
Mereka justru menganggap kemampuan prediksi yang didasarkan pada rekam jejak digital seseorang dapat berdampak negatif, karena itu akan dengan mudah diterapkan ke segmen masyarakat luas tanpa persetujuan atau bahkan tanpa mereka sadari. Hal itu, menurut mereka akan menguntungkan pihak-pihak tertentu seperti: institusi pemerintahan, korporasi bisnis, atau bahkan teman Facebook kita sendiri.
Sentimen moralis seperti yang diungkap Kosinski dan Stillwell sama sekali tidak dimiliki oleh bos Cambridge Analytica, Alexander Nix. Nix, sebagaimana pebisnis lain, hanya peduli pada uang.
Untuk memanfaatkan jutaan data menjadi mesin propaganda politik mematikan, Cambridge Analytica memproses data dari puluhan juta pengguna Facebook AS dengan mesin algoritma mereka untuk mencari pola psikologi tertentu. Misal, seorang yang menyukai Kim Kardashian cenderung punya kepribadian yang terbuka, sangat teliti, dan punya pikiran yang agak terbuka. Kemudian mereka yang menyukai film Fight Club, dinilai punya kepribadian yang lebih suka tantangan baru, dibanding seseorang yang suka menonton American Idol.
ADVERTISEMENT
Dengan kemampuan membaca kepribadian dan aspek psikologi seseorang semacam itu, Cambridge Analytica bisa mengidentifikasi cara persuasi politik macam apa yang efektif digunakan sesuai dengan kepribadian mereka. Atau pesan politik macam apa yang bisa menarik mereka memilih salah satu calon. Pendekatan politik seperti ini dikenal dengan istilah micro-targeting.
Donald Trump (Foto: REUTERS/Win McNamee)
zoom-in-whitePerbesar
Donald Trump (Foto: REUTERS/Win McNamee)
Dalam pemilu presiden AS 2016 lalu, perusahaan ini, seperti yang diakui oleh salah satu direkturnya Molly Schweickwert telah mulai bekerja sama sebagai konsultan politik pemenangan Trump pada Juni 2016. Bos Cambridge Analytica, dalam tayangan investigasi di Channel 4 News, mengatakan kalau perusahaanya punya peran besar dalam memenangkan Trump. Ia mengklaim bahwa perusahaanya telah melakukan semua riset terkait data, strategi kampanye digital, hingga kampanye di televisi.
ADVERTISEMENT
Pemimpin bidang data perusahaan itu, Alex Tayler juga berpikiran sama. Menurutnya, mereka telah membantu Trump untuk memenangi pemilu meski mengalami kekalahan dalam hal popular vote. Bagi Tayler, perusahaanya telah membantu Trump memilih lokasi kampanye di negara-negara bagian yang tepat, di tempat yang punya banyak pemilih mengambang (swing voters).
Direktur Centre for the Study of Media, Communication, and Power dari King’s College, Martin Moore, menjelaskan secara lebih detail soal kampanye Trump di media sosial. Dari hasil telaahnya, kampanye Trump menggunakan 40-50 ribu varian iklan yang berbeda per hari.
Iklan dengan jumlah sebesar itu digunakan secara terus menerus untuk mengukur respons publik. Iklan dengan respons paling ramai kemudian dikembangkan dan diredistribusi kembali menjadi propaganda atau iklan di hari-hari berikutnya. Dengan begitu, data Cambridge Analytica tentang rekam jejak digital, dan tentu saja soal karakter psikologi pemilih di Amerika jadi kian presisi.
Christopher Wylie. (Foto: Twitter @DharmaMum)
zoom-in-whitePerbesar
Christopher Wylie. (Foto: Twitter @DharmaMum)
Menurut si whistleblower, Christopher Wylie, apa yang terjadi pada rakyat Amerika dan Inggris, bisa terjadi pada warga negara mana pun di dunia ini. Bagi Wylie, Cambridge Analytica tidak lebih dari “tentara bayaran” yang bersedia bekerja untuk siapa pun asalkan mereka dibayar.
ADVERTISEMENT
Selain Cambridge Analytica, satu pihak yang harus bertanggung jawab kepada publik adalah perusahaan penyedia platform media sosial, yaitu Facebook. Menurut Wylie, Facebook sebetulnya telah mengetahui pencurian data yang dilakukan oleh Kogan. Tapi mereka tidak serius menanggapinya.
Facebook, kata Wylie, hanya menyuruhnya untuk menghapus data-data itu serta mengharuskannya mengisi sebuah form yang mesti dicentangi dan dikirim balik kepada mereka. Setelah itu, Facebook nyaris tidak melakukan apapun, terutama untuk memverifikasi kalau Wylie sudah menghapus data yang dicuri itu.
Seperti yang diberitakan oleh The Guardian, bulan lalu direktur kebijakan Facebook di Inggris, Simon Milner, dimintai keterangan di hadapan parlemen. Ketika ditanya soal pencurian data, Milner mengelak kalau data Facebook telah dicuri.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, mereka (Cambridge Analytica) memang punya banyak data, tapi itu bukan data yang disediakan oleh Facebook. Pernyataan Milner sebetulnya menunjukkan gelagat kalau Facebook mau lepas tangan atas kasus ini.
Sementara menurut pakar data, Paul Oliver Dehaye, eksploitasi data Facebook untuk kepentingan politik ini menunjukkan kalau platform media sosial itu memang pada dasarnya bersifat merusak. Pemerintah Inggris sendiri telah mengundang pemimpin Facebook Mark Zuckeberg untuk memberi keterangan langsung di hadapan parlemen Inggris. Zuckeberg diberi batas waktu sampai tanggal 26 Maret nanti untuk merespon undangan Parlemen Inggris.
Kasus Cambridge Leaks ini seharusnya menjadi momentum bagi kita untuk menyadari bahwa regulasi perlindungan data kian mendesak untuk diformulasikan. Di sini pemerintah punya kewajiban besar untuk melindungi data rakyat mereka dari kerakusan pebisnis, tak terkecuali dari platform media sosial.
ADVERTISEMENT
Meminjam frasa Anthony Barret, pendiri laman opendemocracy.org, “siapa pun yang menguasai data (media sosial) ini, dia akan menguasai masa depan.”
===============
Simak ulasan mendalam lainnya dengan mengikuti topik Outline!