Soes Toer: Pemulung adalah Pekerjaan Paling Mulia

22 Juni 2018 12:32 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
“Kerjalah yang benar jangan minta-minta. Kerja karena kerja itu mulia,” pesan yang selalu diingat oleh Soesilo Toer, adik kebanggaan Pramoedya Ananta Toer, sastrawan besar Indonesia.
ADVERTISEMENT
Di rumah masa kecilnya di Blora, Jawa Tengah, Soesilo Toer (81) hidup dikelilingi sampah. Barang bekas itu dia kumpulkan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
Tak malu, meski gelar doktor disandang, bapak satu anak itu tetap giat memulung kala gelap malam menjelang. Baginya, memulung adalah kenikmatan abadi. Dari usia dini, hingga kuliah ke luar negeri, dan sampai saat ini, pria yang hampir semua rambutnya beruban itu tetap memulung sampah di jalanan.
“Saya kepengen jadi hakikat manusia yang menciptakan nilai lebih atau nilai tambah. Hakikat hidup saya, saya ngambil kata-kata dari Plautus, seorang dramawan Yunani kuno. Anda bukan manusia kalau Anda tidak mengerti hidup Anda sendiri,” jelas Soes saat dikunjungi kumparan di kediamannya, Rabu (6/6).
Soesilo Toer di Perpustakaan PATABA (Foto: Retno Wulandhari Handini/kumparan​)
Dan hakikat hidup Soes itu jatuh pada aktivitas memulung. Kegiatan memungut sampah itu nyatanya telah mencipta nilai lebih baginya. Memulung dapat memberi makan dia dan keluarganya, dan juga generasi muda lainnya.
ADVERTISEMENT
Menurut Soes nilai lebih dari memulung itu ada pada barang-barang yang dia pungut. Barang itu sudah tentu tak bernilai sehingga dibuang pemiliknya. Namun bagi Soes, barang tak bernilai itu bisa dioleh menjadi barang yang bermanfaat dan bisa dijual untuk menghasilkan uang. Begitulah nilai lebih yang dipahami oleh adik keenam Pramoedya Ananta Toer itu.
“Semua kerja mulia tapi buat saya yang paling mulia adalah jadi pemulung,” Soes berkelakar.
Anak istri Soes tak pernah merisaukan jalan yang ditempuh olehnya. Pendidikan ‘pembiaran’ yang telah dipraktikkan Mastoer, ayah Soes, kepada keluarganya juga diterapkan oleh penulis novel Dunia Samin itu.
Soes mengisahkan, sedari kecil orang tuanya tidak pernah menyuruhnya untuk belajar atau secara detail mengajari pelajaran sekolah. Soes dan saudara-saudaranya juga harus belajar sendiri, salah satunya baca tulis. Selain itu, Soes mengaku tak pernah dilarang ini itu oleh orang tuanya dulu, termasuk memulung. Itulah pendidikan 'pembiaran' yang terus dia kenang dan praktikkan.
Soes Toer saat memulung di jantung Blora (Foto: Retno Wulandhari Handini/kumparan​)
Di usia senjanya, pria seumuran Soes biasanya duduk di rumah sembari menimang cucu. Tetapi, ada prinsip lain yang terus dipegang erat oleh doktor ekonomi politik itu.
ADVERTISEMENT
“Saya bilang sampai saya tidak fungsi, kalau saya sudah tidak fungsi, saya siap di-mercy dying atau gantung diri. Tapi sampai sekarang saya masih tetap punya fungsi, paling tidak sebagai laki-laki (menafkahi keluarga),” kata Soes sembari tertawa.
Soes sempat bekerja di Triangle Cooporation, sebuah perusahaan Belanda sebelum berangkat kuliah ke Rusia. Dia menjabat sebagai wakil kepala klaim dan asuransi. Gajinya paling besar di antara pegawai pribumi lainnya.
Soesilo Toer memulung (Foto: Retno Wulandhari Handini/kumparan)
Soes pun bertekad untuk kembali ke perusahaan itu setelah gelar doktor berhasil direngkuh. Namun, setelah kembali dari Rusia perusahaan tersebut justru pailit alias bangkrut.
Soes merupakan adik keenam Pramoedya Ananta Toer. Dia menghabiskan masa tuanya di Blora.
Banyak faktor yang membuat Soes memilih untuk hidup berkubang pada tumpukan sampah. Perbedaan sistem di Rusia dan Indonesia membuat ijazah Soes tidak bisa diterima. Soes mengambil S3 jurusan Ekonomi Politik di Institut Plekhanov, Rusia.
Dokumen Soesilo Toer (Foto: Retno Wulandhari Handini/kumparan​)
Selain itu, stigma bahwa dia merupakan anggota PKI menjadi penghalang baginya untuk mengembangkan karier sesuai bidang yang dikuasai. Padahal, dengan tegas Soes menolak anggapan tersebut.
ADVERTISEMENT
Selain memulung, Soes juga menulis, salah satu karya yang terkenal adalah Dunia Samin, buku yang ditulisnya hampir 30 tahun. Selain itu, dia juga menulis biografi Pram sebanyak 8 buku.