Suap Rp 2,79 Miliar untuk Muluskan Kampanye Pilgub Sultra
ADVERTISEMENT
Ribuan lembar pecahan Rp 50 ribu hasil operasi tangkap tangan (OTT) Wali Kota Kendari nonaktif, Adriatma Dwi Putra dan ayahnya, Asrun, diperlihatkan saat KPK menggelar konferensi pers, Jumat (9/3). Nilainya cukup fantastis: Rp 2,79 miliar.
ADVERTISEMENT
Saking banyaknya, KPK harus menggunakan troli untuk membawa tumpukan uang haram tersebut.
Suap didapatkan dari Direktur Utama PT Sarana Bangun Nusantara, Hasmun Hamzah, terkait sebuah proyek pengadaan barang dan jasa di Pemerintah Kota Kendari Tahun Anggaran 2017-2018. KPK menduga uang itu akan 'disawer' ke masyarakat Sulawesi Tenggara.
Pasalnya, Asrun, mantan wali kota Kendari dua periode, akan maju dalam perhelatan Pemilihan Gubernur (Pilgub) Sultra 2018. Entah, berapa nominal uang yang masing-masing akan diterima setiap warga, jika OTT tak jadi dilakukan.
"Tim (penyidik) melakukan penggeledahan apakah ada kemungkinan uang itu sudah diserahkan kepada masyarakat. Dan hasil kerja keras tim, uang tersebut ternyata belum sempat dibagikan," ujar Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan di Gedung KPK, Jumat.
Penunjukan barang bukti tumpukan uang tersebut dilakukan seminggu berselang terjadinya OTT. Sebelumnya, penyidik hanya menunjukkan buku tabungan Bank Mega, Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), dan kunci kendaraan.
ADVERTISEMENT
Basaria menjelaskan, keberadaan uang miliaran rupiah yang terbungkus dalam kardus itu, baru ditemukan saat KPK menggeledah rumah seseorang berinisial I, kolega tersangka, pada 7 Maret. Bahkan, sebelum disita, uang itu sempat disembunyikan di hutan.
Awalnya, penyidik mendengar informasi terkait adanya penarikan uang sebesar Rp 1,5 miliar dari rekening Adriatma. Diduga, uang itu diminta Adriatma kepada Hasmun. Namun, setelah penarikan, uang itu tak diketahui keberadaannya.
"Penyidik menelusuri pergerakan uang setelah ditarik dari bank, dibawa mobil ke jalanan di lokasi hutan di Kendari dan sejumlah tempat," kata juru bicara KPK, Febri Diansyah, saat dikonfirmasi, Kamis (8/3).
"Penyidik juga menelusuri asal usul uang selain Rp 1,5 miliar yang ditarik dari bank tersebut. Karena dugaan penerimaan adalah Rp 2,8 miliar," imbuh dia.
Selain itu, KPK juga mengungkap adanya sandi 'koli kalender'. Sandi tersebut dipakai untuk berkomunikasi membahas suap. Mereka menghindari penggunaan kata 'uang' ataupun nominal. Adapun, sandi itu merujuk pada uang setara Rp 1 miliar.
ADVERTISEMENT
KPK tak menampik, dinasti politik seperti yang terjadi pada Adriatma dan Asrun, tengah menjadi perhatian pihaknya. Pun tidak melarang tradisi politik dinasti, namun, KPK mengingatkan pejabat daerah untuk tidak menyalahgunakan kekuasaannya.
Asrun tercatat menjabat sebagai Wali Kota Kendari dalam dua periode terakhir, yakni tahun 2007-2012 serta tahun 2012-2017. Posisinya sebagai Wali Kota Kendari kemudian digantikan oleh Adriatma, menjadi wali kota termuda yang dilantik di usia 28 tahun pada 2017.
Tahun ini, berbekal jabatan Wali Kota Kendari dua periode, Asrun bersama pasangannya, Hugua --Bupati Wakatobi, mantap maju di Pilgub Sultra. Mereka diusung PAN, PDIP, PKS, Gerindra, Hanura dengan total 16 kursi (58 persen).
Namun sekarang, tekad Asrun tersandung kasus. KPK memberikan peringatan kepada seluruh kepala daerah --juga calon kepala daerah--, untuk tidak menciderai kepercayaan rakyat.
"Dari sejumlah kasus yang kami tangani, sudah terungkap banyak modus dan cara mengelabui transaksi-transaksi suap. Selain itu, peran masyarakat juga semakin tinggi melaporkan kasus korupsi. Kami harap ini bisa jadi peringatan bagi seluruh PN (penyelenggara negara), termasuk kepala daerah karena cukup banyak kepala daerah yang diproses akhir-akhir ini," ujar juru bicara KPK Febri Diansyah saat dihubungi, Sabtu (10/3).
ADVERTISEMENT
"Menerima suap dengan 'menjual' kewenangan atau pengaruh adalah bentuk nyata pengkhianatan tersebut," tutupnya.