Suara Lantang Anak SMK Boedoet dan Kawan-kawan Lainnya Saat Demo DPR
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Lima menit sebelum polisi melepaskan water canon, kami menemui tiga pelajar SMK yang berada di tengah lautan massa. Mereka merupakan siswa SMKN 1 Jakarta atau yang biasa dikenal SMK Boedoet (Boedi Oetomo).
Kala ditemui, mereka tengah duduk bercengkrama beralaskan aspal. Seragam sekolah telah ditanggalkan, tetapi celana abu-abu masih dipakai.
Satu dari tugas siswa yang kami wawancarai adalah Aksu Apari. Ia mengatakan, datang ke DPR untuk menyuarakan pendapatnya. Kebetulan, kakaknya adalah mahasiswa Universitas Bakrie. Kedatangannya sebagai bentuk solidaritas untuk kakak kandungnya dan mahasiswa lain yang tengah berjuang.
Meski masih SMK, dia mengaku mengikuti perkembangan Revisi KUHP. Salah satu pasal yang menurutnya bermasalah ada pada pasal 432 Revisi KUHP. Di pasal tersebut, disebutkan bahwa gelandangan dapat didenda senilai Rp 1 juta.
ADVERTISEMENT
“Sangat-sangat zalim. Seharusnya pemimpin itu menjaga masyarakat. Masyarakat bawah. Ini malah masyarakat bawah yang ikut didenda,” tegas Aksu Apari, Selasa (24/9).
Kesadaran politik yang dimiliki Aksu rupanya diwariskan dari kedua orang tuanya. Ia menuturkan, kedua orang tuanya merupakan alumnus Universitas Trisakti, yang juga merupakan aktivis ‘98. Oleh sebab itu, orang tualah yang mendorong dia untuk turun ke jalan.
Aksu juga tak menampik bakal banyak pihak yang memandang sebelah mata aksinya. Ia juga paham betul bahwa orang lain tak seperti orang tuanya yang memberikan restu.
“Bayak yang bilang SMA kan belum pantas ikut ginian. Kalau menurut saya, setidaknya saya jiwa raga sudah siap, umur sudah siap, pemikiran juga matang. Pantas-pantas saja ikut kayak begini. Setidaknya kalau misalnya RUU disahkan, kan saya juga yang merasakan di masa depan,” tegasnya.
Belum tuntas ia bercerita, polisi mulai menembakkan water canon ke arah demonstran pada pukul 16.12 WIB. Massa yang berada dekat gerbang DPR pun berlarian ke arah kami. Tepatnya ke arah Gedung TVRI.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, percakapan kami dengan Aksu terputus. Gagal pula kami mengabadikan foto Aksu dan kedua kawannya.
***
Aksu bukan satu-satunya pelajar yang kami temui. Dua jam setelah pertemuan yang dipisahkan semburan water canon, kami bertemu dua pelajar SMK di Masjid TVRI. Keduanya tengah beristirahat. Di pipi mereka ada pasta gigi yang masih menempel. Tanda bahwa mereka telah mencicipi perihnya gas air mata.
Adalah Rizki Aparid dan Doni Muhammad Aldzufrie. Keduanya merupakan siswa kelas 1 SMK Dewi Sartika, Jakarta Barat. Mereka sengaja datang untuk mendukung aksi mahasiswa.
“Pemerintah enggak adil masalah HAM,” ucap Rizki memulai percakapan.
Ia memang tak merinci apa masalah HAM yang ada di Indonesia. Namun, ia mengaku, ada yang salah dengan republik ini. Makanya, ia memutuskan ke DPR bersama empat kawannya. Ikut demo untuk pertama kalinya.
ADVERTISEMENT
“Perih. Mata sampai merah. Untung ada teman saya. Dibawa kemari,” katanya.
Rizki menyebut, dia memang belum meminta restu orang tua untuk ikut aksi tersebut. Namun, ia yakin betul bahwa orang tuanya pun setuju. Di rumah, kata dia, orang tuanya juga resah dengan DPR.
Sementara kawannya, Doni, menyebut, ikut aksi karena hati nurani. Isu DPR yang bermalahan mereka dengar dari sejumlah pemberitaan. Pada Selasa malam, ia, Rizki, dan sejumlah kawannya berunding di grup WhatsApp. Menentukan apakah ikut turun atau tidak.
Dari hasil diskusi di grup WhatsApp, diputuskan bahwa mereka harus turun pada Rabu selepas pulang sekolah. Yang tak mau turun tak jadi masalah. Tak ada yang memaksa. Pihak sekolah pun tak tahu menahu soal rencana mereka.
ADVERTISEMENT
“Dari pemikiran kita masing-masing. Pemikiran kita itu biar adil. Di mana sila ke lima, bang? Sila kelima pancasila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia? Kita mikir, ya sudah kita jalan. Kita enggak dipaksa,” kata Doni.
Pelajar berusia 17 tahun itu punya pandangan tersendiri tentang DPR. Menurut dia, orang-orang yang mengisi jabatan wakil rakyat harus mundur.
“Kalau saya sih (DPR) harus lengser. Takutnya lebih parah dari 1998,” pungkasnya.