Suara Lantang Perempuan Aceh Dukung RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

10 Februari 2019 14:59 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Aktivis perempuan Aceh berfoto bersama. Foto: Zuhri Noviandi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Aktivis perempuan Aceh berfoto bersama. Foto: Zuhri Noviandi/kumparan
ADVERTISEMENT
Desakan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) juga turut disuarakan oleh sejumlah aktivis perempuan di Aceh. Mereka berharap lahirnya RUU ini menjadi secercah cahaya bagi para korban dalam memenuhi hak-hak mereka atas kejahatan kekerasan seksual. 
ADVERTISEMENT
Kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di Aceh terus meningkat tiap tahunnya. Namun hak-hak perlindungan atas mereka masih terabaikan, RUU PKS menjadi jawaban yang selama ini dinantikan. 
Aktivis perempuan Aceh yang juga salah seorang penyusun naskah akademik dan draf rancagan RUU PKS, Samsidar, mengaku miris ketika melihat fenomena kekerasan dialami oleh perempuan dan anak di Indonesia khususnya Aceh. Di mana para pelaku kerap lolos dari jeratan hukum. 
“Di mana hati nurani kita kalau tidak bisa menjerat pelaku?” ujar Samsidar saat berdiskusi bersama kumparan, Minggu (10/2) di Banda Aceh. 
Aktivis perempuan Aceh yang juga salah seorang penyusun naskah akademik dan draf rancagan RUU PKS, Samsidar. Foto: Zuhri Noviandi/kumparan

Dari hasil data yang dirangkum oleh Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan (LBH-APIK) Aceh, kasus kekerasan seksual di Aceh selama medio 2018 mencapai 30 kasus dari 115 kasus yang didampingi, sementara di 2017 mencapai 159 kasus. 

ADVERTISEMENT
“10 Persen dilaporkan 90 hilang di tengah jalan. Jumlah angka yang dilaporkan itu juga bakalan berkurang ketika dilaporkan ke polisi. Setelah itu hanya 4 persen yang dapat vonis. Karena apa, lantaran ada aturan hukum yang sangat sulit diterobos oleh kepolisian,” kata Samsidar. 

Sejumlah aktivis yang tergabung dalam Jaringan Muda Setara melakukan aksi dengan membawa poster saat berlangsung Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) di Kawasan Bundaran HI Jakarta, Minggu (10/2). Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
Darurat kekerasan seksual menjadi salah satu alasan mengapa aktivis perempuan Aceh ikut mendesak agar RUU PKS disahkan. Samsidar mencotohkan, selama kurun waktu dua bulan terakhir, unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polda Aceh telah menangani 25 kasus dengan korban mencapai 35 orang. 

“Jadi sudah sangat darurat. Aparat penegak hukum sebenarnya punya kesulitan untuk menyelesaikan kasus ini karena keterbatasan undang-undang. Begitu juga pendamping dan pemerintah punya kesulitan karena tidak ada pegangan secara regulasi,” ujarnya. 

ADVERTISEMENT
Menurut Samsidar, salah satu penyebab masifnya kasus kekerasan seksual ini, salah satunya akibat lemahnya penanganan hukum terhadap pelaku kekerasan. Apalagi, penanganan kasus kekerasan seksual ini pada praktiknya seringkali mengabaikan hak-hak korban.

Tampak belakang Masjid Baiturrahman Foto: Alan Kusuma/kumparan
Dengan lahirnya RUU PKS akan menjawab semua kebutuhan itu. Karena di dalamnya tertuang soal definisi dan ruang lingkup tentang kekerasan seksual. Isinya melingkupi soal penghapusan, upaya pencegahan, dan penanganan. Tidak hanya secara hukum tetapi juga secara terpadu. 

“Ada hak-hak korban di sana. Ada soal seperti apa proses-proses hukum yang lebih bermartabat dan berkeadilan terhadap korban. Ada juga upaya-upaya untuk pemulihan korban, yang selama ini tidak ada,” ungkapnya. 

Sebagai salah seorang yang pernah terlibat dalam tim penyusun draft RUU PKS, Samsidar menjelaskan, dalam RUU tersebut tertera soal unsur-unsur perlindungan terhadap korban, keluarga, saksi, dan termasuk saksi ahli serta pendamping yang selama ini tidak di dapatkan. 

ADVERTISEMENT
Kemudian di dalam draf RUU tersebut juga terdapat soal restitusi yaitu soal ganti rugi yang harus dilakukan oleh pelaku. Kalau tidak bisa memenuhi, maka negara yang menalangi yaitu pengadilan negeri setempat atau daerah masing-masing di Indonesia. 

“Rancangan ini muncul berasal dari bukti-bukti kasus kekerasan yang terjadi. Kami menyebutnya evidence base. Berdasar pada kasus-kasus puluhan tahun yang banyak ditangani oleh berbagai instasi seperti PPA, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), LBH, Komnas Perempuan dan pihak terkait laiinnya,” kata Samsidar. 
Pengaburan Fakta di Balik RUU PKS 
Samsidar kecewa terhadap kelompok-kelompok yang menyuarakan tentang isu miring terhadap RUU PKS. Bahkan lahir petisi penolakan di situs Change.org yang menganggap RUU ini hanya menjerat orang-orang yang dipaksa, tetapi sah bagi mereka yang bertindak dengan sukarela. 
ADVERTISEMENT
Samsidar melihat ada pengaburan fakta di balik rancangan RUU PKS dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak menyenangi RUU ini lahir. Sebab kata dia, draf RUU yang saat ini beredar bukanlah dokumen resmi seperti yang mereka garap sejak awal dan telah diserahkan ke komisi 8 DPR RI. 

Menyikapi hal ini beberapa waktu lalu, Samsidar bersama dengan aktifis perempuan dari beberapa lembaga di Aceh, telah mengadakan diskusi tentang dokumen RUU PKS. Di dalam diskusi itu Samsidar menjelaskan tentang isi draf RUU PKS yang sebenarnya.  

“Ini sudah masif bahkan sesungguhnya ini sudah memelintir (memalsukan) dokumen negara. Walaupun RUU PKS ini belum disahkan, tetapi yang dipelintir itu adalah dokumen negara,” ujarnya. 

ADVERTISEMENT
Dikatakan Samsidar, akhir-akhir ini RUU PKS telah dilahirkan dengan berbagai versi informasi yang menyesatkan tidak sesuai dengan apa yang mereka tulis. Samsidar menjelaskan, ragam versi yang dipolitisir itu salah satunya soal tafsiran. 

“Sejatinya tidak boleh dokumen hukum ditafsir sesuka hati. Tidak ada kata-kata di sana tentang pro zina, pro LGBT, melegalkan penyimpangan seksual, selanjutnya penafsiran tentang kontrol seksual. Hal ini tidak ada di dalam dokumen itu,” katanya.  

Ilustrasi pelecehan seksual Foto: Nugroho Sejati/kumparan
“Di dalam RUU-PKS ini hanya mengatur tentang jenis kekerasan seksual, yaitu pelecehan seksual, eksploitasi seksual, perkawinan paksa, aborsi paksa, perkosaan, perbudakan seksual, penyiksaan seksual, dan pemaksaan kontrasepsi. Jika ada di luar itu berarti ini penyesatan informasi,” tambahnya. 

ADVERTISEMENT
Bagi Samsidar, RUU PKS tidaklah harus dipolitisir apalagi menyesatkan informasi tersebut. Karena yang dibangun di dalam RUU itu  adalah memenuhi hak-hak korban kekerasan seksual, yang belum ada dalam UU negara saat ini. 

“Yang kita bangun dalam UU ini adalah pemenuhan hak-hak korban kekerasan seksual. Kesulitan-kesulitan yang sampai sekarang kita alami itu baik penegak hukum maupun pendamping saat menangani kasus kekerasan seksual,” ujarnya, 

Meminta kepada DPR RI khususnya komisi 8 untuk mempublikasi kembali draf RUU-PKS yang resmi. Kemudian meminta adanya upaya hukum bagi orang-orang yang mempelintir informasi dokumen resmi negara tersebut meski belum disahkan. 

Sementara itu, Amrina Habibi, mewakili P2TP2A mengatakan pihaknya secara tertulis pernah memberi masukan ke komisi 8 DPR-RI saat mengunjungi Aceh. Pada kesempatan itu ia juga mendesak DPR untuk segera mengesahkan RUU PKS.
ADVERTISEMENT
“Kita sudah berikan seluruh hasil temuan lapangan mengenai kasus kekerasan seksual yang terjadi di Aceh,” katanya. 
Ilustrasi pelecehan seksual Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Dikatakan Amrina, RUU PKS begitu komprehensif isinya sudah mengakomodir seluruh aspek yang selama ini menjadi hambatan dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Salah satu poin yang istimewa dalam RUU tersebut, yakni adanya perhatian penuh terhadap keluarga korban.

“Ketika persidangan, kita harus membawa saksi, keluarga, konsumsi untuk mereka, jadwal sidang yang diulur-ulur, semua ini mampu dijawab dalam RUU tersebut. Tentunya dalam implementasi nanti kita butuh aturan turunan yang teknis,” sebutnya. 
Draf RUU PKS ini banyak yang dipalsukan. Bagi Anda yang ingin mempelajarinya, bisa langsung membuka situs DPR, yang jelas asli.
ADVERTISEMENT