Suburnya Buzzer dan Berkembangnya Bisnis Penggiringan Opini

6 September 2018 10:53 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
lika-liku buzzer. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
lika-liku buzzer. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
ADVERTISEMENT
Di era digital saat ini, jenis profesi semakin beragam dan fleksibel. Bekerja tak lagi harus mengenakan seragam rapi, duduk di ruangan kantor, dan sesuai jam kerja yang kaku.
ADVERTISEMENT
Tipe pekerjaan semacam ini banyak disukai kaum milenial. Salah satu yang memenuhi kriteria tersebut adalah menjadi seorang buzzer. Syaratnya harus melek isu terkini dan mampu menggiring opini publik, bahkan menyebar hoaks.
Profesi ini mulai banyak digandrungi karena gaji yang cukup tinggi dengan pekerjaan yang jika dilihat sekilas, tidak terlalu rumit.
Desi misalnya, memilih menekuni pekerjaan sebagai buzzer politik selepas lulus dari salah satu perguruan tinggi negeri ternama di Indonesia tahun 2017 silam. Ia terbuai oleh iming-iming gaji yang cukup besar dengan statusnya yang saat itu masih fresh graduate.
Pengamat politik Universitas Al-Azhar, Zaenal A Budiyono, menilai profesi buzzer menjadi alternatif baru dalam mempengaruhi masyarakat.
"Mereka memiliki pengaruh, mereka bisa menjadi alternatif baru dari pada iklan konvensional yang biasa. Mereka memiliki pengaruh yang besar, sehingga itu digunakan,” ujar Zaenal, di Ruang Hampa, Jagakarsa, Jakarta Selatan, Rabu (5/9).
ADVERTISEMENT
Awalnya, para buzzer di media sosial hanya digunakan sebagai promotor barang komersial suatu perusahaan. Biasanya mereka memanfaatkan media sosial untuk menjajakan iklan.
Seiring berjalannya waktu, buzzer dilirik oleh aktor politik, sehingga mereka bekerja untuk dua tujuan yakni pembingkaian dan amplifikasi isu-isu politik tertentu sesuai kepentingan partai politik, aktor politik.
Profesi buzzer memiliki dua kategori yakni, buzzer yang dilakukan secara sukarela dan buzzer sesuai permintaan. Biasanya buzzer sesuai permintaan ini dilirik oleh para aktor politik seperti untuk memenangkan pilkada, pileg, hingga pilpres.
Kini buzzer sukarela pun lebih memilih melakukan praktik yang bersifat komersil, terutama dalam politik.
Ilustrasi Buzzer (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Buzzer (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Profesi buzzer sah dilakukan
Zaenal menyebut cara buzzer politik menggiring opini publik pun beragam, dengan positive campaign, negative campaign hingga black propaganda. Penggiringan opini biasanya sesuai permintaan dari para aktor politik tersebut.
ADVERTISEMENT
Tidak ada masalah dengan seseorang yang berprofesi sebagai buzzer politik. Hanya saja yang tidak diperbolehkan adalah menggiring opini publik dengan black propaganda.
Black propaganda yang dimaksud adalah mempengaruhi publik dengan menyebarkan fitnah, hoaks, dan hal-hal yang bersifat privat.
"Gunakanlah treat-treat kampanye yang positif, maksimal negative campaign, jangan gunakan black propaganda, saya setuju bahwa buzzer yang sifatnya black propaganda memang harus dilarang karena itu justru membawa demokrasi kita pada level yang lebih rendah," jelas Zaenal.
Negative campaign boleh dilakukan oleh buzzer politik selama mereka mempunyai data yang kuat dengan isu yang ingin disampaikan kepada masyarakat.
"Kalau negative campaign menurut saya sah, selama dia punya data, bahwa data itu belum tentu benar itu soal lain. Yang terpenting Anda ada rujukan data itu misalnya rujukan data adalah kumparan misalnya, media-media lain, yang bisa dijadikan rujukan," lanjut Zaenal.
Ilustrasi Buzzer (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Buzzer (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Para buzzer politik ini juga tidak hanya menggunakan satu media sosial, tapi juga memanfaatkan ekosistem media sosial yang luas termasuk grup-grup yang sifatnya lebih tertutup di WhatsApp bahkan di Telegram yang tak banyak orang gunakan.
ADVERTISEMENT
Buzzer akan memilih pemberitaan dari sebuah situs media yang mendukung pembingkaian isu politik yang mereka lakukan. Pesan yang disampaikan juga tidak hanya disampaikan melalui narasi pada tulisan, tapi bisa juga gambar dalam bentuk meme maupun video yang diunggah ke Youtube. Pemanfaatan ekosistem ini menjadi strategi untuk memenangkan perang informasi.
Zaenal menilai di era sekarang buzzer berperan penting dalam kemenangan tokoh politik. Di titik ini pula buzzer sudah menjadi industri, penyebaran informasi hoaks, hingga ujaran kebencian berbau SARA telah menjadi strategi yang dihalalkan bagi mereka.
Maka dari itu buzzer perlu juga diatur dalam mempromosikan kandidat dan batas waktu berkicau. Masyarakat pun harus cerdas menggunakan media sosial agar tidak terpengaruh oleh penyebaran informasi hoaks.
ADVERTISEMENT
“Tentunya harus ada literasi masyarakat. Kalau tidak masyarakat yang rugi, ya kita rugi tapi masyarakat yang di bawah lebih rugi karena ekonomi hancur, kerukunan kita tercabik,” pungkas Zaenal.
---------------------------------------------------------
Simak pengakuan para mantan buzzer selengkapnya dalam konten spesial Lika-Liku Buzzer.