Sumarsih: Jokowi Sudah Berubah

4 Februari 2019 16:29 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Jokowi di tengah massa pada kampanye Pemilu 2014. Foto: AFP Photo/Agus Suparto
zoom-in-whitePerbesar
Jokowi di tengah massa pada kampanye Pemilu 2014. Foto: AFP Photo/Agus Suparto
ADVERTISEMENT
“Harus ditemukan. Harus jelas. Bisa ketemu hidup atau meninggal," ujar Jokowi kepada wartawan di rumah relawan di Jalan Sukabumi, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (9/6/2014) siang.
ADVERTISEMENT
"Wiji Thukul itu, saya sangat kenal baik. Dia kan orang Solo. Anak-istrinya saya kenal. Puisi-puisinya saya juga tahu," lanjut Jokowi.
Pernyataan itu diucapkan Joko Widodo, mantan Wali Kota Solo, ketika pertama kali ia maju menjadi calon presiden pada Pemilu 2014. Janji itulah yang menggerakkan Fitri Nganthi Wani, putri Wiji Thukul, untuk pertama kalinya masuk bilik suara dan mencoblos pasangan calon Jokowi-JK empat tahun lalu.
Janji itu juga yang membuat ia kembali berharap nasib bapaknya yang lenyap menemui kejelasan. Janji yang membuat Nganthi Wani ngotot menemui kembali Jokowi yang kemudian berhasil duduk di atas kursi presiden.
“Tapi setelah itu saya berpikir, kayaknya saya harus let it go deh. Karena energinya (Jokowi) beda, tidak seperti sebelum-sebelumnya,” ujarnya kepada kumparan, Jumat (1/2).
ADVERTISEMENT
Hal serupa dirasakan oleh Maria Catarina Sumarsih, ibunda korban penembakan Tragedi Semanggi I, Bernardinus Realino Norma Irawan alias Wawan. Simpati perempuan berusia 66 tahun kepada Jokowi pada 2014, kini berubah menjadi antipati. Rasa percaya bahwa presiden ketujuh itu bisa menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu menjelma kecewa.
Seberapa besar kekecewaan mereka?
Sumarsih dan payung hitam di Aksi Kamisan. Foto: Rakha Mufrihandhanu/kumparan
Berikut percakapan kami bersama keduanya di ruang dan waktu berbeda. Sumarsih yang setia menagih janji Jokowi dan pemerintah di Aksi Kamisan kami temui di depan Istana Negara pada 31 Januari. Sementara Nganthi Wani kami hubungi keesokan harinya.
Berikut sedikit cerita mereka.
Pemilu Presiden 2019 kali ini pilih siapa?
Sumarsih: Saya tidak akan pilih Prabowo, juga tidak akan milih Jokowi. Tetapi, kalau misalnya Pak Jokowi tiba-tiba di sisa masa jabatannya memerintahkan Jaksa Agung untuk menindaklanjuti berkas penyelidikan Komnas HAM terkait kasus Semanggi 1, kasus Semanggi 2, dan kasus Trisakti mungkin saya berubah pikiran. Saya akan berubah pikiran.
ADVERTISEMENT
Tetapi dengan catatan, benar-benar dilaksanakan dulu. Kalau hanya perintah tanpa ada langkah konkret ya nanti dulu. Nanti dulu.
Rasa-rasanya saya sudah enggak percaya. Pak Jokowi sudah berubah, sifat kenegarawanannya luntur, kenegarawanannya teruji dengan tidak terselesaikannya kasus-kasus pelanggaran HAM berat.
Ini menunjukkan bahwa ketika HAM sebagai jantung demokrasi masih bermasalah, sebenarnya Pak Jokowi bukan seorang yang demokratis karena menjanjikan penyelesaian kasus HAM hanya sebagai upaya untuk mencari kekuasaan.
Presiden Jokowi di Istana Negara, Jakarta, Senin (6/8/2018). Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
Nganthi Wani: Kalau soal pilihan kan masih jadi rahasia kan. Sejak kecil energinya terkuras di sini (pemilu) setiap 5 tahun sekali. Saya pikir itu akan berdampak baik untuk masa depan saya. Ternyata itu hanya menguras energi dan sangat melelahkan.
ADVERTISEMENT
Sekarang banyak juga yang nanyain, "Mba kenapa enggak pernah ikut Kamisan?" Manusia kan punya kapasitas sendiri-sendiri, dan saya merasa kapasitas saya, kami sebagai keluarga inti Wiji Thukul, sudah overload gitu. Jadi toxic malahan, enggak kasih energi positif lagi.
Kasus HAM kayak gini diangkatnya musiman, hanya memainkan harapan kami, dan enggak tahu akan terwujud atau enggak. Semakin dewasa saya pikir ini disengaja, memang ada yang punya kepentingan di sini. Jadi kita cuma dipakai sebagai alat aja.
Infografik Potensi Golput 2019. Foto: Basith Subastian/kumparan
Apa yang dijanjikan Jokowi ketika Pilpres 2014? Bagaimana komunikasinya saat itu?
Sumarsih: Tahun 2014 saya pernah ke Rumah Transisi di Jalan Menteng diterima oleh Mas Andi Widjajanto dan Mbak Jaleswari Pramodawardhani yang sekarang di KSP (Kantor Staf Presiden).
ADVERTISEMENT
Pada saat itu ya kami minta supaya komitmen Pak Jokowi (menyelesaikan kasus HAM masa lalu) ditulis di dalam visi misi dan Program Aksi Jokowi-JK menjadi prioritas tahun yang pertama. Waktu itu Mas Andi sama Mba Dani bilangnya untuk penyelesaian kasus HAM berat akan diprioritaskannya pada tahun kedua.
Tapi kan kenyataannya sampai sekarang juga enggak (jadi prioritas). Pak Jokowi lebih mampu memberikan infrastruktur tanpa ada perhatian untuk masalah kemanusiaan, masalah penegakan supremasi hukum dan HAM.
Nganthi Wani: Di media sudah ada waktu bilang, Wiji Thukul harus ketemu. Waktu udah capres dan memang banyak yang support kan lewat medsos atau pun ketemu langsung. Pak Jokowi udah bilang, udah kasih harapan, berarti kemungkinan ada yang bantu soal masalah Bapak.
ADVERTISEMENT
Saya menjaga harapan banyak pihak termasuk dari ibu saya. Saya masih agak bingung waktu saya harus bersikap, kayak gimana. Tapi saya menuruti kok, rata-rata semua dukung tentang janji dia (Jokowi) dan itu memang harus ditagih.
Aksi Kamisan Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Kemudian ya ketika saya bertemu lagi setelah dia jadi presiden, saya pegang terus tangan beliau. Beneran enggak saya lepas, "Demi Ibu, Pak”. Sampai saya udah hampir mau nangis.
Terus akhirnya dia bilang “Iya”. Tapi pelan banget. Dari situ saya udah mikir, kayanya abis ini saya harus let it go deh. Karena energinya beda gitu dari yang saya rasain sebelum-sebelumnya.
Setelah Jokowi terpilih, ada komunikasi selanjutnya terkait janji penyelesaian kasus HAM itu?
ADVERTISEMENT
Sumarsih: Selama Presiden Jokowi menjabat kayaknya 4 kali saya mengajukan surat permohonan menghadap Presiden Jokowi atas nama JSKK (Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan), 2 kali atas nama Aksi Kamisan, kemudian atas nama keluarga Korban Semanggi 1, Ibunya Wawan, terus kemudian satu lagi atas nama Keluarga Korban Trisakti, Semanggi 1, dan Semanggi 2.
Tahun 2015, surat itu didisposisikan ke Kementerian Hukum dan HAM. Surat berikutnya tidak ada jawaban. Surat ketiga didisposisikan ke Menko Polhukam, waktu itu Pak Luhut Binsar Panjaitan.
Saya ditelepon oleh orang Kemenko Polhukam. "Karena Bapak Presiden sibuk, jadi Ibu akan diterima oleh Bapak Menko Polhukam", katanya begitu.
Saya bilang begini, "Kalau Pak Jokowi sibuk, enggak ada waktu untuk menerima kami keluarga korban ya enggak apa-apa. Yang penting kasusnya diselesaikan. Bulan November yang lalu kami sudah pernah bertemu dengan Pak Menko Polhukam dalam rangka 15 tahun Tragedi Semanggi 1."
ADVERTISEMENT
Saya mengajukan permohonan lagi untuk bertemu dengan Bapak Presiden. Kemudian pada 31 Mei 2018 akhirnya kami diterima Pak Jokowi. Nah ketika diterima, waktu itu Pak Jokowi bilang, “Kami akan mendengarkan langsung suara dari korban."
Pasangan capres-cawapres nomor urut 01 Joko Widodo (kiri) dan Ma'ruf Amin menjawab pertanyaan saat Debat Pertama Capres & Cawapres 2019. Foto: Antara/Sigid Kurniawan
Tetapi di dalam debat capres-cawapres kemarin apa bunyinya? Yang disampaikan adalah alasan-alasan Jaksa Agung tidak mau menindaklanjuti berkas penyelidikan Komnas HAM. Misalnya adanya kompleksitas hukum, waktunya udah terlalu lama dan sebagainya.
Lho ini kan sudah disuarakan di dalam surat-surat yang kami kirim kepada Presiden setiap hari Kamis itu. Kami sampaikan bahwa Kejaksaan Agung mengembalikan berkas penyelidikan Komnas HAM dengan berbagai alasan.
Katanya terbentur regulasi UU Pengadilan HAM, misalnya kebutuhan akan adanya bukti seperti peluru…
ADVERTISEMENT
Sumarsih: Masalah peluru juga pernah disampaikan ke Kejaksaan Agung. Itu peluru yang menancap di tubuh mahasiswa baik dalam Semanggi 1 maupun Trisakti sudah diuji balistik di Kanada bersama-sama dengan Bareskrim Polri.
Tetapi kemudian kalau misalnya peluru itu hilang, yang salah siapa? Bukan kami keluarga korban, tetapi aparat negara.
Terus kalau misalnya hasil autopsi, hasil autopsi itu saya masih ingat betul saya pada tahun 1999 sebelum masuk kerja saya ke Pangdam Jaya ketemu yang namanya Hendardji Supandji.
Dia mengatakan, "Hasil autopsi tidak bisa diberikan kepada keluarga korban. Bisa diberikan kalau dipergunakan untuk penyelesaian secara hukum." Tapi sudah 20 tahun enggak ada perkembangan apa-apa.
Prabowo Subianto mengenakan ikat kepala pemberian buruh, usai melakukan pendaftaran di Gedung KPU, Jakarta Jumat (10/8/2018). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
Tidak akan mencoba memberi kepercayaan pada Prabowo?
Sumarsih: Pak Prabowo kan terduga pelaku pelanggaran HAM berat dalam kasus penculikan. Dia itu kan dipecat dari Kopassus karena membentuk Tim Mawar. Tim Mawar itu tugasnya melakukan penculikan para aktivis tahun ‘97-’98. Terus kemudian di dalam penembakan mahasiswa Trisakti.
Apa artinya Prabowo datang ke orang tua korban Trisakti, sumpah di atas Al-Quran kalau dia tidak melakukan penembakan terhadap mahasiswa. Ya betul (bukan dia yang menembak), yang menembak kan anak buahnya, bukan Prabowo sebagai komandan.
Bagaimana komunikasi selanjutnya setelah Jokowi terpilih terkait janji penyelesaian kasus hilangnya Wiji Thukul?
Nganthi Wani: Dulu Ibu sering dikasih bantuan modal sama beliau (Jokowi) waktu beliau jadi Wali Kota Solo. Terus Pak Jokowi nanyain usaha Ibu gimana. Memang baik seingatku ya waktu jadi Wali Kota. Ibuku cerita Pak Jokowi orangnya humble.
ADVERTISEMENT
Tapi kita sendiri lihatnya memang agak susah soal penanganan HAM ini. Entah karena sudah terlalu banyak masalah, atau memang ada keraguan juga dari beliaunya sendiri.
Saya ngerasain beda ketika dia (Jokowi) sudah jadi presiden. Sebelumnya saya merasa kayak enggak ada sekat gitu. Tapi setelah itu ya…
Presiden Joko Widodo dalam rangkaian Pertemuan Tahunan IMF - WBG 2018. Foto: ANTARA FOTO/ICom/AM IMF - WBG/Afriadi Hikmal
Mungkin memang dia sudah di lingkungan yang berbeda, dengan orang-orang baru, dengan pengawal, jadi untuk bisa dekat itu enggak kayak dulu.
Sempat pada waktu itu kawan-kawan pendamping ngasih undangan, katanya saya disuruh tampil baca puisi di acara peringatan hari HAM, Desember 2014 (dua bulan setelah Jokowi dilantik). Tapi tiba-tiba di-cancel, enggak boleh. Jadi sama sekali enggak ada kesemparan untuk ngomong di depam umum.
ADVERTISEMENT
Alasannya sih waktu, terus juga enggak ada kesempatan. Waktu itu kan memang sempat mau (baca puisi) sama Fajar juga. Tapi kayaknya Fajar sudah bisa membaca itu, jadi dia dari awal enggak mau berangkat.
Terus waktu itu saya ingat beliau tidak benar-benar menyenggol ‘98, soal ‘65. Seingat saya justru beliau merespons kasusnya Eva Bande. Seingat saya itu. Terus kasih grasi. Tapi enggak ada omongan tentang pelanggaran HAM khusus kayak Tragedi ‘65 dan kasus-kasus ‘98.
Presiden Jokowi di Istana Negara Foto: Wahyu Putro/Antara
Ada teman pendamping kasih dorongan agar saya harus ketemu sama Jokowi, buat ngomong sendiri gitu di momen itu. Ada Om saya, Wahyu Susilo, adiknya bapak di acara itu. Memang kan sangat sulit bertemu karena ada segala macam pengawalan gitu.
ADVERTISEMENT
Tapi kita semua maksa biar dekat sama beliau, biar bisa ngomong langsung. Akhirnya saya salaman sama beliau. Tapi memang entah saya baper atau cuma perasaan saya saja atau memang sudah berubah beneran. Saya merasa waktu itu dia sudah lebih hati-hati, enggak kayak sebelumnya.
Saya salaman kan, saya bilang, "Pak, masih ingat saya enggak?"
Terus beliau liatin saya.
Saya bilang, "Saya pegang janji Bapak.”
Ya saya ngomong kayak gitu. “Demi Ibu, Pak."
Saya enggak lepasin tangannya, sampai dia bilang "Ya".
Infografik Potensi Golput 2019. Foto: Basith Subastian/kumparan
Waktu film Istirahatlah Kata-kata, kita—maksudnya saya dengan kru film—ke Istana untuk ngasih undangan premiere. Tapi beliau enggak ada, yang menerima itu stafnya. Teman-teman film menyimpulkan kepemimpinannya Jokowi itu open dengan film itu, enggak menganggap itu hal yang berbahaya.
ADVERTISEMENT
Tapi kemudian ada kejadian di Yogyakarta, pameran lukisannya Mas Andreas Iswinarto tiba-tiba dibubarkan.
Pameran yang dimaksud adalah pameran seni bertajuk Aku Masih Utuh dan Kata-kata Belum Binasa. Rencananya pameran itu akan digelar di Pusat Studi Hukum dan HAM Universitas Islam Indonesia, Bantul, Yogyakarta, pada 8 Mei 2017.
Katanya Wiji Thukul PKI. Terus belum lagi kita tahu kayak penyitaan buku, penutupan toko-toko buku, ada bukunya Bapak (Wiji Thukul).
Memang ada masanya dia (Wiji Thukul) dianggap berbahaya kan waktu Orba. Terus ketika sudah ganti rezim, masa sampai segininya. Padahal sempat ada kedekatan juga antara kami dengan Jokowi, tapi ini kok buku-buku dilarang lagi.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT