Survei LIPI: Masyarakat Menolak Pilpres dan Pilkada Tak Langsung

28 Agustus 2019 19:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kegiatan Rilis Survei Nasional Pemilu Serentak 2019 di Gedung Widya Graha LIPI. Foto: Andesta Herli Wijaya/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Kegiatan Rilis Survei Nasional Pemilu Serentak 2019 di Gedung Widya Graha LIPI. Foto: Andesta Herli Wijaya/kumparan
ADVERTISEMENT
Pusat Penelitian Politik (P2P) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) merilis hasil survei Pemilu Serentak 2019 dan demokrasi di Indonesia. Salah satu soal yang disorot yaitu gagasan masyarakat terhadap wacana pemilihan presiden tak langsung dan pemilihan kepala daerah lewat DPRD.
ADVERTISEMENT
Ketua Tim Survei P2P, Wawan Ichwanuddin menjelaskan, dari 1.500 responden dari beragam latar belakang dan dari seluruh penjuru di Indonesia, 72,3 persen responden menyatakan menolak pemilihan presiden tak langsung.
“Mayoritas responden survei publik menolak perubahan sistem pemilihan presiden dan kepala daerah (kembali) menjadi tidak langsung,” papar Wawan di Gedung Widya Graha LIPI, Jakarta Selatan, Rabu (28/8).
Dalam survei ini, katanya, responden ditanyakan apakah setuju dengan gagasan presiden sebaiknya dipilih tidak oleh rakyat dengan dalih bisa menimbulkan perpecahan atau konflik horizontal.
“18,1 persen menyatakan setuju dengan gagasan pemilihan presiden secara tak langsung, 72,3 persen tak setuju atau menolak, sementara 9,6 persen tidak menjawab,” papar Wawan.
Ketua Tim Survei P2P LIPI, Wawan Ichwanuddin. Foto: Andesta Herli Wijaya/ kumparan.
Belakangan, muncul polemik wacana yang digulirkan PDIP yang ingin mengamandemen UUD 1945 untuk menghidupkan lagi GBHN dan menetapkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara.
ADVERTISEMENT
Isu itu ramai dibahas setelah partai pimpinan Megawati Soekarnoputri itu memasukkannya sebagai salah satu poin rekomendasi Munas PDIP di Bali awal Agustus lalu. Bahkan, demi menggolkan agenda tersebut, PDIP siap 'menukarnya' dengan kursi pimpinan MPR.
Di antara spekulasi yang muncul terkait polemik itu adalah kembalinya Indonesia pada era Orde Baru alias antidemokrasi. Muncul kekhawatiran GBHN justru mengekang presiden, juga kekhawatiran MPR difungsikan untuk memilih dan memberhentikan presiden dan wapres.