Syafruddin Klaim Penerbitan SKL BLBI Sesuai Kebijakan Pemerintah

21 Desember 2017 19:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tersangka kasus BLBI, Syafruddin Arsyad di KPK. (Foto: Wahyuni Sahara/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Tersangka kasus BLBI, Syafruddin Arsyad di KPK. (Foto: Wahyuni Sahara/kumparan)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Tumenggung mengklaim bahwa penerbitan Surat Keterangan Lunas terhadap Bank Dagang Nasional Indonesia sudah sesuai prosedur. Ia menilai perbuatannya tersebut bukan merupakan tindak korupsi.
ADVERTISEMENT
"Saya kira saya menjalani dengan sebaik baiknya, saya patuh dengan semua aturan yang ada, tapi saya jelaskan apa yang saya kerjakan di BPPN itu sudah sesuai aturan semua. Sudah sesuai dan sudah diaudit BPK dan semua sudah dikerjakan dengan sebaik-baiknya," ujar Syafruddin usai menjalani pemeriksaan sebagai tersangka di Gedung KPK, Kamis (21/12).
Usai pemeriksaan itu, penyidik langsung menahan tersangka kasus dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Ia ditahan di rutan KPK selama 20 hari pertama.
Sesaat sebelum ditahan, Syafruddin memaparkan bahwa penerbitan SKL BLBI dilakukan setelah mendapat persetujuan dari Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK). Selain itu, dia juga mengaku tidak pernah melakukan penghapusan utang petambak milik Artalyta Suryani dan suaminya sebesar Rp 4,8 triliun.
ADVERTISEMENT
Ia menyebut bahwa utang tersebut secara utuh telah diserahkan kepada Menteri Keuangan RI yang saat itu menjabat, yaitu Boediono, pada 30 April 2004. Sehingga seharusnya, menurut dia, tidak pernah ada kerugian keuangan negara yang timbul selama dia menjabat selaku ketua BPPN.
"Semuanya sudah ada persetujuan dari KKSK semuanya. Dan saya sudah punya bukti. Semua sudah mengatakan bisa dilaksanakan dan masalah hak tagih Rp 4,8 triliun yang dipermasalahkan oleh KPK itu sudah saya serahkan kepada menteri keuangan. Dan menteri keuanganlah yang menjual itu dengan harga (tambak) Rp 220 miliar bukan saya," kata Syafruddin.
Sjamsul Nursalim. (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Sjamsul Nursalim. (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
Bekas Ketua BPPN tersebut juga yakin jika dia seharusnya tidak menjadi tersangka dalam kasus ini. Namun, Syafruddin akan tetap mengikuti proses hukum yang ada di KPK.
ADVERTISEMENT
"Kami yakin sepenuhnya penetapan tersangka sebagai tersangka oleh KPK tidak perlu terjadi dan kami tidak layak menjadi tersangka dalam kasus ini. Mengingat semua tindakan kami sesuai ketentuan. Saya akan kooperatif melaksanakan apa yang disampaikan oleh KPK dan saya akan sampaikan di pengadilan nanti," katanya.
Dugaan korupsi BLBI bermula saat BDNI milik Sjamsul Nursalim yang sempat terganggu likuiditasnya, dibantu Syafruddin dengan mengeluarkan SKL. BDNI mendapat gelontoran dana pinjaman dari BI senilai Rp 27,4 triliun dan mendapat SKL pada April 2004.
Perubahan litigasi pada kewajiban BDNI dilakukan lewat rekstruturisasi aset Rp 4,8 triliun dari PT Dipasena yang dipimpin Artalyta Suryani dan suaminya. Namun, hasil restrukturisasi hanya didapat Rp 1,1 triliun dari piutang ke petani tambak PT Dipasena. Sedangkan Rp 3,7 triliun yang merupakan utang tak dibahas dalam proses resutrukturisasi. Sehingga, ada kewajiban BDNI sebagai obligor yang belum ditagih. Namun kebijakan penerbitan SKL BLBI untuk BDNI ini diduga telah merugikan negara sebesar Rp 3,7 triliun. Sehingga Syafruddin harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.
ADVERTISEMENT
Atas perbuatannya, Syafruddin disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.