Tahun 2023: AS Serang Afrika Barat Usai Teror di New York

27 Oktober 2017 10:31 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Simulasi perang Pentagon di Afrika Barat (Foto: Faisal Nu'man/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Simulasi perang Pentagon di Afrika Barat (Foto: Faisal Nu'man/kumparan)
ADVERTISEMENT
Pada 23 Mei 2023, dua buah bom truk meledak Amerika Serikat. Satu truk meledak di New York dan sebuah yang lain meledak di ujung Lincoln Tunnel, New Jersey. Kejadian tersebut terjadi pada Selasa pukul 7.10 pagi, tepat di ujung rush-hour, saat kawasan itu dipenuhi warga AS yang tengah melaju berangkat kerja.
ADVERTISEMENT
Alhasil, sebanyak 435 orang tewas dan 618 lainnya mengalami luka-luka. Serangan tersebut menjadi serangan teror di dalam AS terbesar sejak peristiwa 9/11 yang terjadi hampir 22 tahun sebelumnya.
Dan ternyata, dua bom truk tersebut bukanlah satu-satunya serangan teroris yang terjadi hari itu. Di hari yang sama, sebuah serangan teror menghancurkan Kedutaan Besar Kanada di Nouakchott, ibu kota Mauritania, Afrika Barat, membunuh 135 orang termasuk Duta Besar Kanada dan puluhan stafnya.
Kebetulan? Jelas tidak.
Serangan-serangan tersebut terkoordinasi dengan baik oleh beberapa kelompok teror di bawah koordinasi AQIM --Al Qaeda in the Islamic Maghreb. Kelompok tersebut memiliki basis kerja di negara-negara Sub-Sahara Barat Afrika, meski juga punya hubungan dekat dengan kelompok teroris lain, macam Al Shabaab di Somalia dan Boko Haram yang besar di Nigeria dan Chad.
ADVERTISEMENT
Apa yang kemudian dilakukan Amerika Serikat dan kompatriotnya dalam menghadapi hal ini?
Jawabannya, amat mudah ditebak, adalah perang balasan. Perang melawan teror, tentu saja. Di pertengahan Juni 2023, Amerika Serikat, Kanada, dan beberapa negara yang tergabung dalam NATO menginvasi Mauritania untuk sebuah perang membasmi terorisme --seperti yang pernah dilakukan di Afghanistan dan Irak beberapa tahun sebelumnya.
Namun kali ini, Karl Maxwell McGraw, Presiden AS sejak tahun 2021, menjanjikan kepada konstituennya di AS bahwa perang berlarut di Timur Tengah seperti sebelum-sebelumnya tak akan terulangi. “Kami akan memulai perang yang direncanakan dengan baik, cepat, dan efisien dalam setiap operasinya dan akan selesai dalam waktu tiga tahun saja,” ucap McGraw.
ADVERTISEMENT
Simulasi perang Amerika Serikat (Foto: Faisal Nu'man/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Simulasi perang Amerika Serikat (Foto: Faisal Nu'man/kumparan)
Serangkaian kejadian tersebut bukanlah naskah buruk Hollywood yang selalu memunculkan Amerika Serikat sebagai pemenang di akhir film. Ini adalah cerita dari simulasi perang milik Pentagon yang dimainkan oleh para calon pemikir terbaik negeri dari beberapa sekolah tinggi militer di AS.
Di tahun 2016, program latihan strategis gabungan digelar oleh beberapa sekolah tinggi militer di AS. Selama beberapa minggu, 148 taruna dari tujuh sekolah tinggi kemiliteran AS tergabung dalam Joint Land, Air and Sea Strategic Special Program (JLASS-SP).
Mereka adalah: 1) US Air Force’s Air War College, 2) US Army War College, 3) Marine Corps War College, 4) Naval War College, 5) Eisenhower School for National Security and Resource Strategy, 6) National War College, dan 7) National Defense University’s Information Resources Management College.
ADVERTISEMENT
Di situ, ratusan calon jenderal dan admiral angkatan bersenjata di AS tersebut berkolaborasi secara maya dalam sebuah game perang milik Pentagon lewat “media siber, telepon, dan telekonferensi video”.
Dikutip dari The Intercept, latihan gabungan beberapa sekolah tinggi perang dan kemiliteran AS tersebut diakhiri dengan acara puncak latihan selama lima hari di Air Force Wargaming Institute di Markas Angkatan Udara Maxwell di Alabama, AS.
Dalam materi JLASS-SP yang ditunjukkan secara umum, ratusan taruna tersebut bekerja dalam menentukan bagaimana Amerika Serikat menghadapi situasi konflik yang berkembang di masa pemerintahan presiden imajiner, Karl McGraw.
Memang, meski bukanlah estimasi intelijen resmi AS, war simulation atau war games ini dapat memberikan wawasan penting kepada umum bagaimana calon petinggi militer AS mencitrakan keamanan AS sampai tahun 2026.
ADVERTISEMENT
Seperti salah satu dokumen dalam JLASS-SP, simulasi perang tersebut “...bermaksud memberikan gambaran yang masuk akal soal pengaruh dan tren keamanan yang ada saat ini ke berbagai kawasan dunia di masa depan.”
Perang virtual oleh 183d Air Operation Group (Foto: MSgt. Shaun Kerr/U.S. Air National Guard/ RAND)
zoom-in-whitePerbesar
Perang virtual oleh 183d Air Operation Group (Foto: MSgt. Shaun Kerr/U.S. Air National Guard/ RAND)
Dalam simulasi tersebut, Amerika Serikat berada di bawah kepemimpinan Karl McGraw. McGraw adalah mantan senator independen Arizona yang menjadi presiden ke-46 AS dengan membawa slogan “America on The Move” dan menjanjikan “True Change” dalam kampanyenya di sepanjang 2020.
Namun, tak seoptimistis kampanyenya, di bawah McGraw AS justru mendapatkan banyak cobaan dalam berbagai isu keamanan. Dan ketimbang berubah menjadi lebih baik, sentimen publik AS (yang juga terukur dalam game) terus bergerak ke pendulum negatif melihat cara McGraw menghadapi tantangan-tantangan di pemerintahannya.
ADVERTISEMENT
Baru satu bulan menjabat, McGraw harus menghadapi serangan siber yang menghantam pembangkit listrik tenaga nuklir di Berwick, Pennsylvania. Kejadian itu berdampak besar pada stabilitas politik pemerintahan McGraw, karena memunculkan “...ketidakpercayaan masyarakat Amerika terhadap kemampuan pemerintah melindungi infrastruktur penting negeri.”
Dan tak berhenti di situ. Dalam dua tahun pertamanya, McGraw juga harus menghadapi krisis ekonomi di Asia, serangan siber yang dilakukan oleh negara-negara lain, dan naiknya aksi kelompok ekstrem dan ultra kanan di dalam negeri. Namun, setidaknya menurut McGraw sendiri, pemerintahannya cukup sukses dalam menghadapi semua permasalahan tersebut.
Namun, beda cerita dengan permasalahan terorisme di Afrika Barat. Di situ, pamor dan aktivitas AQIM terus naik. Berdasarkan simulasi tersebut, kekuatan AQIM pada 2021 meningkat hingga 38 ribu personel yang tersebar di Aljazair, Mali, Mauritania, Niger, dan kawasan sub-Sahara secara umum. Bahkan ia juga menjalin kerjasama dengan Boko Haram dan Al Shabaab --meningkatkan jangkauan aksinya ke penjuru lain Afrika.
ADVERTISEMENT
Puncaknya adalah Peristiwa 5/23, yang ternyata dibarengi serangan teror di Kedutaan Besar Kanada di Mauritania. Pada 15 Juni 2023, bermodalkan dukungan penuh kongres dan izin dari pemerintah Mauritania, koalisi AS, Kanada, dan beberapa negara NATO mengirim setidaknya 70 ribu tentara ke Mauritania dalam sebuah operasi militer yang dinamai operasi Desert Strike.
Bagaimana AS mencitrakan masa depan keamanannya? (Foto: Faisal Nu'man/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Bagaimana AS mencitrakan masa depan keamanannya? (Foto: Faisal Nu'man/kumparan)
Dikutip dari Air Force Wargaming Institute, JLASS-SP ini adalah satu-satunya wargame yang menuntut paduan skil pengambilan keputusan strategis, teori politik-militer, dan hubungan internasional secara bersamaan di level senior di seluruh sekolah tinggi kemiliteran di Amerika.
Siswa dari tujuh sekolah tinggi yang terlibat pun bermain dalam level tugas yang berbeda. Taruna dari The Eisenhower School for National Security and Resource Strategy, dan the National War College and the Information Resources Management College akan menganalisa isu-isu kunci yang mempengaruhi strategi dan taktik operasional dalam perang.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, mereka yang berasal dari Air War College, Army War College, Marice Corps War College, Naval War College akan memainkan peran komandan pasukan. Dan yang terakhir, taruna dari National Defense University akan memainkan peran di level pembuat kebijakan di level nasional.
Direktur Pelatihan Air Force Wargaming Institute, Kolonel J. Dave Price, menekankan bahwa tak semua masalah dalam simulasi ini bisa selesai dengan solusi militer semata. Simulasi tersebut memang dirancang sedemikian rupa, sehingga bisa semirip mungkin dengan kondisi di lapangan.
“Para siswa akan menggunakan semua elemen kemampuan nasional untuk dapat mengambil kebijakan yang tepat dan strategis di level nasional dan level operasional. Hal ini akan membantu mereka mengambil kebijakan yang tepat saat berbagai skenario terjadi di lapangan,” ucap Price, dikutip dari situs resmi www.maxwell.af.mil.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, taruna-taruna terbaik AS itu juga akan menghadapi tantangan-tantangan lain yang muncul di dunia nyata, seperti tekanan dari masyarakat dan desakan dari pers. Setiap harinya, setiap siswa akan mendapatkan laporan media yang di-update secara real time oleh jaringan berita fiksi Global News Network (GNN). Dari sini, mereka juga harus mengeluarkan informasi kepada masyarakat yang akan berpengaruh terhadap elemen keberpihakan warga sekitar untuk mendukung perang.
“Untuk menang dalam perang melawan esktremis dan sukses dalam kerjasama antar elemen kekuatan kami sendiri, juga untuk menjalin kerjasama dengan partner multinasional, kami harus menguasai dua senjata utama yang sering dilupakan: kata-kata dan pencitraan,” ucap Dr. Frank Kalupa, direktur US Air Force Center for Strategic Leadership Communication. “Maka sangat penting memenangi peperangan di sosial media, yang juga digunakan secara efektif oleh para teroris.”
Wargaming oleh Naval Postgraduate School (Foto: US Navy/RAND)
zoom-in-whitePerbesar
Wargaming oleh Naval Postgraduate School (Foto: US Navy/RAND)
Namun janji “selesai dalam tiga tahun” yang diutarakan McGraw ternyata tak mudah diraih. Berbagai permasalahan dihadapi delegasi perang yang dikirim oleh koalisi Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT
“Kami menghadapi musuh yang amat berat dan adaptif,” ucap Mayjen Roger Evans, komandan operasi Desert Strike kepada para jurnalis pada Januari 2026. “Tapi saya jamin, koalisi kami lebih kuat dan lebih adaptif.”
Kalimat optimistis tersebut, sayangnya, tak mencerminkan 100 persen apa yang terjadi di lapangan. Laporan yang disediakan dalam simulasi tersebut 2,5 tahun setelah perang dimulai itu justru menunjukkan hal sebaliknya. “Ada peningkatan kekerasan yang stabil di Mauritania Utara dan Mali yang membuat frustrasi komandan Operasi Desert Strike,” tulis laporan tersebut.
Menurut laporan fiksi itu, angka serangan pada Desember 2025 naik sebanyak 90 persen ketimbang bulan selanjutnya. Maka, kata-kata optimistis yang meluncur dari Komandan Roger Evans jelas menunjukkan perhatian siswa-siswa JLASS-SP mengikuti strategi dari Dr. Frank Kalupa: kata-kata dan pencitraan amat penting untuk tetap mempertahankan moral pasukan dan juga kesinambungan dukungan masyarakat, baik konstituen di AS maupun masyarakat lokal Mauritania.
ADVERTISEMENT
“Kami melakukan yang terbaik dalam bekerjasama dengan negara-negara kawasan ini untuk mengontrol masuknya militan musuh ke Mali, Mauritania, dan Aljazair. Namun, kami tak punya cukup pasukan,” ujar juru bicara koalisi, Kolonel Byron Scales.
Apa yang disampaikan Byron Scales itu mencerminkan permasalahan kedua koalisi AS di operasi Desert Strike tersebut. Pada November 2025, AS dikritik karena lebih banyak memberikan tanggung jawab terkait dampak perang kepada African Union (AU). Meski begitu, ini rupanya terjadi setelah AU meminta terlalu banyak dana bantuan dari AS sementara tak banyak membantu beban kerja di lapangan.
Lebih lagi, Perdana Menteri Kanada dalam game tersebut, Richard Baker, juga mencoba untuk menarik mundur pasukannya mulai 1 April 2026. NATO pun sama, yang terus menerus mengurangi pasukan dan membuat perang ini semakin lama menjadi semakin menjadi perang milik AS. Perkembangan ini tentu saja bukan hal yang ideal bagi AS, mengingat rencana McGraw untuk mengakhiri perang ini sebelum 2026 berakhir.
Ilustrasi simulasi perang (Foto: Pathdoc/fotolia)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi simulasi perang (Foto: Pathdoc/fotolia)
Pertengahan 2026, AQIM justru terus bertahan. Memasuki paruh kedua 2026, komandan Operasi Desert Strike Roger Evans meminta agar operasi di sub-Sahara Barat Afrika tersebut ditunda penarikannya setidaknya sampai 12 bulan ke depan. Tak hanya itu, Evans juga meminta penambahan personel untuk operasi pimpinannya.
ADVERTISEMENT
“Saya merekomendasikan agar kita menunda penarikan pasukan dari Mauritania dan Mali untuk setidaknya 12 bulan. Selain itu, dengan ditariknya pasukan Kanada, saya merekomendasikan penambahan tiga brigade angkatan darat dan satu regimen angkatan laut juga untuk 12 bulan. Kami tak ingin kemajuan yang telah diperoleh terbuang sia-sia,” ucap Evans.
Dan sampai waktu simulasi usai, kemajuan operasi Desert Strike yang dimainkan para pemain JLASS-SP belum memperlihatkan “akhir” seperti yang diharapkan Presiden McGraw. Justru, perang berlarut yang terjadi di Afghanistan dan Irak kini semakin nyata kembali terulang dalam simulasi di Mauritania.
Meski begitu, bukan berarti simulasi ini tak memiliki nilai guna. Seperti yang dikatakan oleh salah satu pesertanya, simulasi perang macam ini "...berguna untuk momen-momen yang mengejutkan."
ADVERTISEMENT
Bahkan, latihan yang sama untuk tahun 2017 sudah dipersiapkan dari jauh-jauh hari.
“Masing-masing dari kami akan terus melakukan pertemuan ke depannya untuk mengidentifikasi, mendiskusikan, dan memperbaiki proses dan detail dari wargames ini agar menjadi lebih baik dari waktu ke waktu,” ucap Direktur Air Force Wargaming, Kolonel Tony Meeks.
“Musuh kami tidak pernah berhenti berkembang, maka, kami pun harus demikian,” tutupnya.
=============== Simak ulasan mendalam lainnya dengan mengikuti topik Outline!