news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Tak Bertuhan di Tanah Agama: Rasanya menjadi Ateis di Timur Tengah

11 Desember 2017 19:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ismail Mohamed, Ateis Mesir (Foto: YouTube The Black Ducks English)
zoom-in-whitePerbesar
Ismail Mohamed, Ateis Mesir (Foto: YouTube The Black Ducks English)
ADVERTISEMENT
"Ada ratusan orang di luar sana. Seseorang mengeluarkan pisau. Aku pikir aku akan mati," cerita Ismail Mohamed kepada Pacific Standard.
ADVERTISEMENT
Saat itu, Mohamed tengah berada di sebuah kafe di Kairo. Namun, satu kesalahan membuatnya dikepung massa yang meminta nyawa: ia seorang ateis.
Ismail Mohamed adalah salah satu ateis Mesir pertama yang berani menunjukkan jati dirinya. Langkah yang amat berani, dibuatnya ketika ateis lain masih diam-diam menyembunyikan posisi iman mereka.
Mohamed adalah pelopor kanal YouTube, The Black Ducks, yang mulai aktif 2012 lalu. Kanal itu berisikan video wawancara dirinya dengan para ateis di Mesir dan negara-negara lain di jazirah Arab.
Tidak lama setelah video pertamanya mengudara di YouTube, salah satu stasiun televisi di Mesir mengundangnya untuk wawancara. Topik bahasan saat itu adalah mengapa dirinya memutuskan meninggalkan Islam (murtad) dan menjadi ateis. Video wawancara itu menyebar dan menjadi viral di internet.
ADVERTISEMENT
"Muka saya tiba-tiba menjadi sangat populer di Mesir," ungkap Mohamed.
Beberapa waktu setelah wawancara itu, seorang pria memukul Mohamed dengan pistol ketika dia sedang berjalan di kampung halamannya, Alexandria. Melansir Pacific Standard, pria itu mengaku tahu Mohamed dari wawancara televisi yang dia hadiri.
"Jangan pernah tunjukkan mukamu di depan umum lagi!" pungkas pria dengan pistol itu.
Seorang pemuda menagis di sebuah gereja di Mesir. (Foto: Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Seorang pemuda menagis di sebuah gereja di Mesir. (Foto: Reuters)
Kisah lain dialami oleh Karim Ashraf Mohammed Al-Banna. Melansir AFP, Pengadilan Mesir memvonis 3 tahun penjara kepada mahasiswa berumur 23 tahun itu dengan tuduhan menistakan agama. Padahal, yang dilakukannya hanyalah sebatas mengumumkan bahwa dirinya adalah seorang ateis di Facebook.
Sebelum ditangkap dan diadili, Karim mendapat hujatan dari tetangganya. Karim, yang tidak terima dengan perlakuan itu, melaporkan para tetangganya ke polisi. Nahas, ketimbang mendapat perlindungan dari hujatan orang-orang di sekitarnya, Karim justru ditahan dengan tuduhan melecehkan agama Islam.
ADVERTISEMENT
"Dia menganut paham ekstremis melawan Islam," kata ayah Karim dalam peradilan. Ayahnya justru menjadi salah satu saksi yang memberatkan hukuman Karim.
Di Mesir, kebebasan untuk tidak menganut kepercayaan hampir tidak terlindungi oleh hukum. Hal yang sama juga terjadi di sebagian besar negara Timur Tengah.
Dari 20 negara Timur Tengah, 14 di antaranya punya undang-undang tentang penodaan agama jauh yang jauh lebih banyak daripada negara manapun di dunia. Bahkan, enam di antara 14 negara itu memungkinkan penerapan hukuman mati bagi para ateis.
Meski begitu, bukan berarti tak ada ateis di Timur Tengah. Angkanya, melawan keyakinan umum, justru cenderung meningkat.
Menurut Global Index of Religiosity and Atheism 2012, terdapat 13 persen populasi ateis di dunia.
ADVERTISEMENT
Secara lebih rinci, 33 persen di Lebanon menyatakan bahwa dirinya tidak religius --hanya beda 4 persen dari temuan orang yang merasa tidak religius di Palestina: 29 persen.
Tak hanya soal “ketidakreligiusan”, survei tersebut juga menyoroti jumlah mereka yang ateis di Timur Tengah. Di Lebanon, persentase yang mengaku sebagai ateis mencapai 2 persen. Sedangkan, di teritori Palestina (mencakup Tepi Barat dan Gaza), persentase mereka yang ateis lebih tinggi lagi, yaitu 4 persen.
Di Arab Saudi, temuan survei tersebut lebih mengejutkan. Sebanyak 5 persen dari sampel populasi (502 orang) menyatakan dirinya ateis. Jumlah itu relatif tinggi untuk negara yang memperbolehkan hukum mati bagi mereka yang ateis. .
Survei oleh Worldwide Independent Network-Gallup International ini digelar pada November 2011-Januari 2012 di 57 negara di lima benua terhadap 51.927 responden, dengan sampel sekitar 1.000 orang untuk masing-masing negara.
ADVERTISEMENT
Responden diwawancara secara tatap muka (di 35 negara), via telepon (di 11 negara), dan secara online (di 11 negara). Margin eror pada survei ini 3-5 persen, dengan tingkat kepercayaan 95 persen.
Mesir, negara Afrika rasa Timur Tengah (Foto: ANTARA FOTO/Andika Wahyu)
zoom-in-whitePerbesar
Mesir, negara Afrika rasa Timur Tengah (Foto: ANTARA FOTO/Andika Wahyu)
Meski demikian, angka tersebut tak terlihat secara kasat mata di kehidupan sehari-hari. Para ateis yang merupakan minoritas itu memilih mengaku sebagai pemeluk agama ketimbang harus terancam keselamatannya.
Tak hanya menghindari hukuman yang berat dari pemerintahnya, ateis di Timur Tengah bertindak serupa untuk menghindari tindak persekusi masyarakat.
Ahmed, misalnya. Pria berumur 30 tahun asal Irak ini menjelaskan kalau tak ada hukum di negaranya yang secara gamblang melarang seseorang menjadi ateis. Fakta bahwa dia ateis sebenarnya tidak melanggar pasal manapun dalam undang-undang yang berlaku.
ADVERTISEMENT
“Namun aku lebih ingin berurusan dengan pihak berwenang ketimbang orang-orang. Mereka bisa membunuhku kalau mereka tahu aku seorang ateis,” katanya kepada Pacific Standard, Juni 2016. Justru karena hal itulah dia menyembunyikan jati dirinya sebagai seorang ateis.
Perempuan 21 tahun asal Irak bernama Lara Ahmed juga memiliki pengalaman serupa. Di keseharian, ia memakai kerudung seperti layaknya perempuan lain di negaranya. Dia pun berperilaku selayaknya wanita muslim lain di lingkungannya.
Namun, mahasiswa yang mengambil jurusan ilmu biologi di University of Babylon ini sebenar-benarnya adalah seorang ateis.
"Aku merasa agama tidak adil, merenggut hak azasi manusia, dan merendahkan kaum perempuan," kata Lara kepada Washington Times.
Namun, ia tak berani mengakui kepada orang-orang di sekitarnya bahwa dia seorang ateis. Kerudung dalam kesehariannya itu pun ia gunakan semata-mata demi memberinya rasa aman.
ADVERTISEMENT
"Mereka (perempuan yang tidak pakai kerudung) dihujat di mana-mana," terang Lara.
Ketakutannya semakin bertambah ketika Ammar al-Hakim, seorang politisi Irak yang menjabat sebagai kepala Dewan Islam Tertinggi, menyerukan ajakan untuk memerangi ateis di negaranya.
"Kita harus melawan paham asing ini," ujarnya Ammar sebuah acara televisi.
Perempuan Arab Saudi Menyetir Mobil (Foto: Reuters/Amena Bakr)
zoom-in-whitePerbesar
Perempuan Arab Saudi Menyetir Mobil (Foto: Reuters/Amena Bakr)
Perasaan tertekan juga dialami Ful Alsayhab (bukan nama sesungguhnya). Ia merupakan seorang perempuan yang juga berasal dari Irak. Ketika memutuskan menjadi seorang ateis dan meninggalkan agamanya, banyak kesulitan yang harus ia hadapi.
"Saya seperti tidak bisa bernapas," cerita Ful dalam sebuah wawancara di kanal YouTube The Black Ducks. Dia juga menceritakan bagaimana dia harus menyembunyikan pendiriannya dari orang-orang terdekatnya. Karena apabila keputusannya tersebut diketahui, mereka akan membenci, menyakiti, bahkan membunuhnya.
ADVERTISEMENT
Ful juga bercerita bagaimana para ateis di negaranya ketakutan untuk sekadar membaca buku, berselancar di media sosial, atau menonton film. "Itu adalah hal yang sederhana tapi sangat sulit kami lakukan," ujarnya.
Wanita yang diwawancarai Mohamed Ismail ini juga berkisah bagaimana beratnya dia melakukan salat dan syariat Islam lain hanya demi menyembunyikan identitasnya. "Sangat berat rasanya untuk beribadah ketika kau tidak mengimani ajarannya," kata Ful.
Hal yang paling membuatnya keberatan adalah banyaknya aturan (syariat) dalam kehidupan sehari-harinya sebagai wanita. Kewajiban untuk memakai kerudung, cadar, dan batasan perilaku yang amat diatur sangat memberatkan dirinya.
Ilusrasi cadar (Foto: Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Ilusrasi cadar (Foto: Reuters)
Ful mengaku lelah menyembunyikan identitasnya sebagai ateis. "Aku tidak ingin hidup dengan dua muka," ceritanya. "Sebagai mantan muslim, aku masih hidup di tengah para muslim, dan mereka sangat sensitif ketika ada yang mempertanyakan soal agama.”
ADVERTISEMENT
Ful berkata, kalaupun dia tidak dibunuh oleh massa yang marah, maka keluarganya sendiri yang akan melakukannya.
Setelah revolusi Arab Spring yang mulai pada 18 Desember 2010 lalu, kebebasan berpendapat di jazirah Arab memang mulai dihargai. Tapi soal ateisme, itu perkara lain.