TB Hasanuddin: Niat Busuk Mudah Ketahuan

4 Maret 2019 14:26 WIB
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Lipsus kumparan: Awas Kampanye Hitam. Foto: Herun Ricky/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Lipsus kumparan: Awas Kampanye Hitam. Foto: Herun Ricky/kumparan
Wakil Ketua Tim Kampanye Daerah (TKD) Jawa Barat, Mayjen (Purn.) Tubagus Hasanuddin tak diam melihat jagoannya di Pilpres 2019, Jokowi-Ma’ruf Amin, dibombardir kampanye menggunakan berita bohong alias hoaks.
Ia sudah lama memetakan empat isu hoaks yang muncul dan kerap menyerang petahana di tanah Pasundan.
Sebut saja kabar tenaga kerja asing asal China, isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI), derasnya impor beras yang bisa merugikan petani, dan sentimen agama. Empat hal itu, kata TB Hasanuddin, sering dijadikan senjata untuk menggerus suara 01 di Tatar Sunda.
“Ada yang dilatih soal isu agama, cuma barangkali diturunkan ke lapangannya salah,” kata pria yang juga menjabat Ketua DPD PDI Perjuangan Jawa Barat itu kepada kumparan, Rabu (27/2).
Sebagai orang milter, ia paham betul perihal pemetaan wilayah. Jaringannya langsung terjun ke daerah yang rentan serangan hoaks. Baginya penanganan dini melawan hoaks jika diputuskan melalui rapat atau prosedur lain, akan sangat merepotkan.
Mayjen TNI (Purn) TB Hasanuddin, Wakil Ketua Tim Kampanye Daerah Jokowi-Ma’ruf. Foto: Ricad Saka/kumparan
Bergerak cepat adalah kunci, begitu kira-kira yang ada dibenak mantan ajudan Presiden Indonesia ke-5, Megawati Soekarnoputri ini. Berikut perbincangan lengkap kumparan dengan TB Hasanuddin melalui sambungan telepon pada Rabu (27/2).
Hoaks agak kencang untuk pilpres tahun ini, seberapa kencang di daerah?
Jadi kalau saya lihat itu sporadis di beberapa titik. Tapi kalau saya petakan, pada umumnya ada daerah-daerah yang memang memungkinkan dimunculkan isu-isu tertentu.
Saya sudah bisa memetakan, misalnya soal tenaga kerja dari China. Itu kan tidak di daerah industri misalnya Karawang. Jadi isu itu by design, ini ada tentara China yang jadi tenaga kerja asing.
Isu-isu personal menurut pengguna media sosial. Foto: Dok. Indikator Politik Indonesia
Kalau di wilayah Tasikmalaya dan Ciamis, itu daerah yang menganggap bahwa Jokowi itu adalah antiumat Islam. Isu tersebut di daerah itu dimunculkan.
Media sosial yang mengatakan bahwa Jokowi itu adalah keturunan China yang notabene juga muslim, dan seterusnya. Tapi kalau secara umum saya lihat secara acak dengan data-data intelijen yang saya lihat ya, di beberapa daerah kalau orang sudah bilang nggak di-waro, jadi nggak didengar.
Infografik Awas Kampanye Hitam. Foto: Dok. Kumparan
Bagaimana mengontrol dan mengkonsolidasikan kekuatan relawan yang ada, dari daerah sampai pusat?
Upaya kontrol yang kami lakukan ini kan operasi intelijen. Operasi intelijen enggak bisa diajak bareng-bareng. Siapa yang paham, mengerti, memiliki kemampuan reaksi tepat.
Seperti kemarin, hanya beberapa jam setelah kampanye hitam itu beredar di media sosial, masuk ke jaringan saya, saya minta ke pejabat di daerah itu mengecek ke lapangan. Ya kalau saya harus rapat dulu untuk urusan begini, enggak keburu.
Sebagai contoh hari ini Rabu (27/2), ada Munas NU di Banjar. Itu pasti akan ada nanti di situ sebuah kasus yang didesain di Banjar. Saya sedang menunggu saja dan mereka sedang menuju bergerak ke sana. Mungkin 2-3 hari akan muncul lagi.
Menurut Anda, mengapa daerah Jawa Barat termasuk daerah yang rentan termakan hoaks dan sentimen agama?
Jawa Barat itu sebagian atau separuh kira-kira sekitar 40 persen itu dari tahun 1949 tahun 1963 itu dikuasai oleh DI/TII. Ketika DI/TII diberantas, dihajar oleh ABRI, itu teori keseimbangan terjadi. Kemudian munculah Komunis.
Tapi kan kalau kantong-kantong komunis di Jawa Barat itu kan, karena mungkin agamis secara tradisional ada banyak jadi gak terlalu berkembang. Jadi kalau disebut isu PKI dan sebagainya, ya tidak terlalu laku kalau menurut hemat saya.
Jokowi versus Prabowo. Foto: ANTARA FOTO/AKBAR NUGROHO GUMAY
Jadi banyak sentimen anti-Islam yang tumbuh?
Kalau di Jawa Barat itu kalau mau lihat, agak sensitif itu bukan soal-soal semisal isu tenaga kerja China. Itu isu di Jawa Barat loh ya. Saya ini orang Jawa Barat tugas belasan tahun di Jawa Barat, tugas-tugas teritorial juga saya alami.
Hal yang menjadi selalu sensitif beberapa kasus, kasus di Bandung terjadi kerusuhan, kasus di Tasik, dan sebagainya adalah kesenjangan antara etnis Tionghoa dengan kita. Tapi itu kejadiannya kan sebelum tahun 1980an. Kalau tahun 1980, masih zaman Orde Baru memang kelompok etnis China di zaman Soeharto di-downgrade betul.
Hoaks isu PKI, anti-China dan sebagainya inikan ada sejak 2014. Seberapa besar kontribusi hoaks terhadap hasil suara Pilpres 2014 di Jawa Barat?
Hoaks di tahun 2014 belum sebesar sekarang. Faktor pencetus hoaksnya waktu itu sudah ada isu PKI dan isu tenaga kerja asing. Isu tenaga kerja asing itu 2015 digulirkan. Mulai di-setting di sebelah sana.
Saya kan di Komisi 1 DPR RI. Tiba-tiba di Morowali katanya ada sekian ribu tenaga kerja asing. Saya datang ke Morowali, enggak seperti itu faktanya. Tiba-tiba di Riau katanya ada sekian ribu. Saya membawa rombongan Komisi 1 ke sana, ternyata enggak ada juga.
Jadi saya lihat isu yang dikembangkan sudah direncanakan sejak awal, seiring Prabowo mau maju lagi.
Seperti apa pemetaan wilayah di Jawa Barat terkait hoaks yang beredar?
Di daerah Bekasi, Bogor, Kabupaten Bogor, masuk ke Karawang, isu yang mau digelindingkan dua. Satu soal tenaga kerja asing, kedua orang Indonesia tidak bisa bekerja.
Masuk ke daerah pertanian. Subang, Sumedang, Majalengka, dan Kuningan, isu pertanian. Isu yang diramaikan soal petani ambruk karena impor beras. Itu yang disampaikan.
Kalau di Pantura sampai selatan Garut dan Cianjur, soal nelayan tangkap di wilayah utara dan selatan. Seolah-olah kebijakan Pak Jokowi tidak pas. Karena apa? Nelayan kecil tidak bisa melaut karena aturan-aturan yang dikeluarkan oleh Ibu Menteri Kelautan (Susi Pudjiastuti). Padahal ya tidak begitu kenyataannya.
Kemudian di Tasikmalaya, Cianjur, dan Garut, yang diekspos masalah agama. Karena apa? HTI, FPI, dari situ wilayahnya. Kasus kemarin, misalnya, pembakaran bendera kan dari sana. By design-lah kalau saya tahu.
Di Karawang kemarin juga isu yang dibawa soal agama, bukan soal tenaga kerja...
Kalau tiga orang itu dilatih. Jadi disiapkan dulu mereka. Karena apa, wilayah itu tidak cocok kalau isunya LGBT. Emak-emak tua itu nggak tau istilah LGBT tapi pelatihannya meminta mereka harus ngomong soal LGBT.
Stiker Pepes di lingkungan tempat kampanye hitam di Karawang 3 Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Ini semua by design lah. Orang yang sudah dilatih, disebarkan. Ya sudah, ibarat prajurit ya harus melaksanakan. 'Ngomongnya harus begini nanti, kalau Jokowi menang dilarang azan'.
Padahal yang dihadapi juga, mohon maaf, kelompok yang sudah tidak sensitif, emak-emak dan bapak-bapak sudah tua. Tidak pas. Orang itu harusnya, yang sudah dilatih itu, pergi masuk ke daerah Majalengka atau Tasikmalaya, laku itu.
Tapi memang senjata utamanya pakai isu agama?
Mereka memang dilatih. Ada yang menyampaikan isu soal sosial, ada yang dilatih kampanye soal isu agama. Cuma barangkali diturunkan ke lapangannya salah. Salah target. Jadi kan enggak klop.
Memang kalau niat busuk mudah lah ketahuan. Sudahlah baik-baik aja.