Terdakwa Korupsi BLBI Pasti Banding meski Divonis Sehari Penjara

24 September 2018 13:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Terdakwa kasus penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI Syafruddin Arsyad Temenggung menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (6/8). (Foto:  Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Terdakwa kasus penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI Syafruddin Arsyad Temenggung menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (6/8). (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
ADVERTISEMENT
Terdakwa kasus dugaan korupsi dalam penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) terkait Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Syafruddin Arsyad Temenggung memastikan akan mengajukan banding bila dinyatakan bersalah oleh majelis hakim. Eks Kepala BPPN itu berkukuh tidak melakukan korupsi atas dugaan penerbitan SKL BLBI untuk pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Sjamsul Nursalim.
ADVERTISEMENT
"Kami sih dihukum berapapun akan mengajukan banding. Dihukum sehari pun saya tetap mengajukan banding," kata pengacara Syafruddin, Yusril Ihza Mahendra, ditemui sebelum sidang pembacaan vonis di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (24/9).
Ia juga menilai bahwa sepanjang proses berjalannya sidang, penuntut umum KPK tidak bisa membuktikan bahwa kliennya melakukan korupsi. Meski penuntut umum KPK sudah menghadirkan sejumlah saksi dan bukti.
"Kami merasa bahwa persidangan ini sudah berlangsung cukup fair, cukup lama dan para pihak juga sudah menghadirkan saksi, ahli, dan juga menghadirkan alat bukti ke persidangan. Kami sih berkeyakinan bahwa tidak terdapat cukup bukti ya untuk menyatakan bahwa Pak SAT itu bersalah," kata dia.
Kasus ini bermula pada saat BDNI milik Sjamsul mendapat BLBI sebesar Rp 37 triliun yang terdiri dari fasilitas surat berharga pasar uang khusus, fasilitas saldo debet dan dana talangan valas. Selain itu, BDNI juga disebut menerima BLBI sebesar Rp 5,4 triliun dalam periode setelah 29 Januari 1999 sampai dengan 30 Juni 2001 berupa saldo debet dan bunga fasilitas saldo debet.
ADVERTISEMENT
Namun kemudian BDNI melakukan penyimpangan dalam penggunaan dana puluhan triliun tersebut. BPPN kemudian menetapkan BDNI sebagai bank yang melakukan pelanggaran hukum.
Untuk menyelesaikan persoalan hukum tersebut BDNI diwajibkan mengikuti Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dengan pola perjanjian Master Settlement Aqcusition Agreement (MSAA).
BDNI yang mengikuti MSAA itu menjaminkan aset berupa piutang petambak sebesar Rp 4,8 triliun. Utang itu ternyata dijamin oleh dua perusahaan yang juga milik Sjamsul, PT Dipasena Citra Darmadja dan PT Wachyuni Mandira. Sjamsul menjaminkan hal tersebut sebagai piutang lancar. Namun belakangan diketahui bahwa piutang itu merupakan kredit macet.
Setelah dilakukan penghitungan, didapatkan hak tagih utang dari para petambak plasma tersebut hanya sebesar Rp 220 miliar. Meski demikian, sisa utang BDNI yakni sebesar Rp 4,58 triliun belum dibayarkan. Sementara Syafruddin, yang menjadi Kepala BPPN sejak 22 April 2002, kemudian menandatangani surat yang menjelaskan bahwa Sjamsul sudah menyelesaikan kewajiban PKPS.
Sjamsul Nursalim (kanan) saat berjabat tangan dengan Indra Wijaya (Kiri), Eka Tjipta Wijaya, dan Sukamdani Gitosarjono. (Foto: AFP/KEMAL JUFRI )
zoom-in-whitePerbesar
Sjamsul Nursalim (kanan) saat berjabat tangan dengan Indra Wijaya (Kiri), Eka Tjipta Wijaya, dan Sukamdani Gitosarjono. (Foto: AFP/KEMAL JUFRI )
Perbuatan Syafruddin tersebut dinilai membuat Sjamsul Nursalin mendapat keuntungan sebesar Rp 4,58 triliun. Hal tersebut pula yang kemudian dihitung sebagai besaran kerugian negara. Atas perbuatan tersebut, Syafruddin dituntut 15 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsidair 6 bulan kurungan.
ADVERTISEMENT