Tim Prabowo soal 22 Juta Suara Jokowi Hilang: Negara yang Buktikan

16 Juni 2019 16:32 WIB
comment
9
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana sidang perdana Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) sengketa Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi. Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
zoom-in-whitePerbesar
Suasana sidang perdana Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) sengketa Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi. Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
ADVERTISEMENT
Dalam permohonan gugatan sengketa hasil Pilpres ke Mahkamah Konstitusi (MK), tim hukum Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mengklaim perolehan suara mereka seharusnya 68.650.239 suara dan Jokowi-Ma'ruf 63.573.169 suara.
ADVERTISEMENT
Perolehan suara Jokowi itu berkurang sebanyak 22.034.193 juta dari semula 85.607.362 suara hasil rekapitulasi resmi KPU. Sementara suara Prabowo-Sandi tetap 68.650.239 versi BPN maupun KPU.
Anggota tim hukum Prabowo-Sandi, Luthfi Yazid, saat dikonfirmasi, tak menjelaskan rinci bagaimana suara Jokowi-Ma'ruf jadi berkurang 22 juta suara dalam hitungan BPN. Dia menyebut pengurangan itu salah satunya terkait dengan temuan 17,5 juta DPT invalid atau tidak wajar.
"Pertanyaan terkait soal pembuktian (22 juta suara 01 hilang), terkait angka. Dan ada juga soal angka fiktif di KPU sebanyak 17,5 juta," ucap Luthfi saat dkonfirmasi, Minggu (16/4).
Soal DPT invalid ini sebetulnya sudah ditelusuri oleh KPU dan jawabannya diserahkan kepada BPN sebelum masa pencoblosan.
Soal dalil suara Prabowo harusnya unggul 52 persen dan Jokowi-Ma'ruf 48 persen, menurut Luthfi harusnya yang membuktikan adalah negara dalam hal ini pihak termohon (KPU) dan terkait Jokowi-Ma'ruf.
ADVERTISEMENT
"Pihak termohon dan terkait mengatakan/mengklaim bahwa yang harus membuktikan adalah yang mendalilkan (Prabowo-Sandi). Ini adagium dalam hukum perdata, tidak berlaku dalam hukum konstitusi," ujarnya.
Luthfi menegaskan gugatan hasil Pilpres tak hanya dibaca pada perolehan suara semata dan kemudian dibuktikan, tapi secara substansi ada masalah yang harus dipertimbangkan MK soal dugaan kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif.
"Saat ini ada yang ngeles bahwa untuk menemukan kebenaran susbtansial tak mungkin mengesampingkan hukum acara. Justru hukum acara tak boleh mengesampingkan substansi. Hukum acara harus menyesuaikan, bukan hal yang substansi yang harus menyesuaikan dengan hukum acara," paparnya.
ADVERTISEMENT
"Negara atau pemerintah yang harus membuktikan. Buktikan saja secara rasional, sebab separuh penduduk Indonesia tidak percaya dengan kerja KPU," tutupnya.