news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Titik Nadir Pengelolaan Sampah

21 Februari 2019 10:44 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi tumpukan sampah. Foto: Unsplash/
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi tumpukan sampah. Foto: Unsplash/
ADVERTISEMENT
Indonesia menghasilkan sekitar 175.000 ton sampah per hari. Sementara khusus di Jakarta saja, sekitar 7.000 ton sampah dihasilkan dalam sehari. Hal itu yang diungkapkan oleh Founder Waste4Change, Mohamad Bijaksana Junerosano, ketika ditemui kumparan, Kamis (7/2).
ADVERTISEMENT
“Dua hari sampah Jakarta itu bisa membangun satu Candi Borobudur,” ujar pria yang akrab disapa Sano itu.
Sampah telah menjadi masalah yang pelik dan kompleks di Indonesia. Berdasarkan data-data hasil riset yang dilakukan di Indonesia dalam lima tahun terakhir, urgensi terhadap pengelolaan sampah yang baik dan benar masih perlu ditingkatkan.
Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2014 menyebutkan bahwa 81,16% masyarakat Indonesia tidak memilah sampah. Sementara itu, 10,09% masyarakat sudah memilah sampah tapi sampah itu lalu dicampur lagi ketika diangkut. Hanya 8,75% sampah yang dipilah untuk kemudian dimanfaatkan.
Jenna R. Jambeck dan rekan-rekannya dari University of Georgia menerbitkan jurnal “Plastic Waste Inputs from Land into the Ocean” yang dimuat dalam Science Vol. 347, Issue 6223, pada 13 Februari 2015. Hasilnya, dari 192 negara, Indonesia berada di peringkat kedua setelah China sebagai negara penghasil dan penyumbang sampah plastik ke lautan.
ADVERTISEMENT
Dampak Buruk bagi Manusia dan Lingkungan
Pengelolaan sampah yang buruk tidak hanya berdampak pada aspek estetika saja, tetapi juga kesehatan. Lingkungan yang penuh sampah dapat berdampak pada kualitas hidup.
Hasil riset mengenai sampah dalam 5 tahun terakhir Foto: Katondio Bayumitra Wedya/Nunki Pangaribuan
Berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2015, 69% sampah di Indonesia berakhir di TPA. Fenomena ini menyebabkan peningkatan produksi gas metan, yang 20 kali lebih berbahaya dari karbon dioksida (CO2). Keselamatan dan keamanan para pemulung dan masyarakat sekitar juga terancam akibat TPA yang kelebihan kapasitas.
KLHK juga menyebut bahwa 5% sampah di Indonesia dikelola dengan cara dibakar. Polusi udara dapat meningkat, lantaran gas CO2 yang dihasilkan dari kegiatan pembakaran sampah.
Bukan hanya udara, tanah juga dapat terkena polusi karena faktanya 10% sampah di Indonesia dikelola dengan cara dikubur. Akibatnya, kelangsungan hidup cacing dan mikroba tanah menjadi terancam, yang pada akhirnya berisiko mengurangi kesuburan tanah.
ADVERTISEMENT
Selain itu, 8,5% sampah dari berbagai jenis terbuang dan/atau dibuang ke sungai. Jelas, perilaku ini dapat merusak ekosistem laut dan mengancam kesehatan masyarakat pesisir.
Hanya 7,5% sampah yang kemudian dimanfaatkan kembali, baik untuk kegiatan pengomposan maupun didaur ulang. Padahal, kegiatan semacam inilah yang perlu ditingkatkan, sebagai bagian dari pengelolaan sampah yang baik dan benar.
Melihat data dan dampak di atas, jelas Indonesia membutuhkan pengelolaan sampah yang bertanggung jawab sebagai solusi. Untuk dapat menyukseskannya, Sano menyoroti tiga hal, yaitu penegakan hukum (law enforcement), aspek ekonomi (economy aspects), dan instrumen sosial (social instrument).
Penegakan Hukum
Ilustrasi palu hakim dan kitab undang-undang Foto: Pixabay
Sano meyakini, sudah banyak peraturan atau regulasi di Indonesia yang mengatur tentang pengelolaan sampah yang bertanggung jawab. Akan tetapi, upaya penegakan dan pengaplikasiannya masih amat minim.
ADVERTISEMENT
“Itu (penegakan hukum) adalah tantangan yang menurutku paling kunci. Kenapa? Karena dalam peraturan-peraturan itu sebenarnya memuat sistem pengelolaan sampah. Semua telah termuat desainnya, tetapi tidak ditegakan, dan tidak ada upaya yang memang betul-betul membangun sistem itu komprehensif,” ujar Sano.
Jika mau dirinci, beberapa aturan yang sudah ada di Indonesia, di antaranya sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
Sano menyebut Jepang sebagai contoh negara dengan penegakan hukum yang baik. Di Jepang, semua TPA tipe open dumping harus ditutup dan itu benar dilaksanakan. Peraturan itu, kata Sano, juga ada di Indonesia, tetapi belum diterapkan dengan baik.
“Sebenarnya, contoh-contohnya udah ada tapi balik lagi kepada willingness, kemauan, keseriusan, dan kapan kita betul-betul mau menjalankannya dengan semangat dan tuntas,” tuturnya.
Aspek Ekonomi
Linear Economy dan Circular Economy Foto: Sabryna Muviola
Sano sebagai inisiator Indonesia Circular Economy Forum (ICEF) menjelaskan perbedaan circular economy dan linear economy kepada kumparan. Pola ekonomi yang fokus menciptakan produk untuk dijual tanpa memerhatikan manajemen sampah produknya disebut sebagai linear economy.
“Kalau circular economy, dari awal kita mendesain produk, kita udah mikir, kalau (produk) ini sudah rusak (jadi sampah) bakal gimana ya? Mikir sesuatu (sampah) itu menjadi material, menjadi resources (bahan baku produksi), bukan sekadar menciptakan produk tapi mempertahankan itu tetap menjadi sebuah material, terus-terusan,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Sampah-sampah jenis tertentu dapat kembali diolah menjadi bahan baku produksi, sehingga sampah yang dikirim ke TPA menjadi berkurang. Contohnya, sampah-sampah plastik dapat dimanfaatkan kembali sebagai bahan baku pembuatan plastik baru. Tentunya, setelah melewati beberapa proses.
Circular economy dapat diterapkan oleh banyak perusahaan yang beroperasi di Tanah Air. Sebab, perkantoran tercatat sebagai penghasil sampah terbesar kedua, dengan sekitar 27% sampah yang berakhir di Bantargebang.
Berdasarkan laporan The World Economic Forum tahun 2014, circular economy diklaim memiliki manfaat yang bersifat operasional dan juga strategis, baik di tingkat ekonomi mikro maupun makro. Bahkan, disebut mampu menghemat biaya bahan baku perusahaan senilai lebih dari satu triliun dolar, dengan potensi besar untuk inovasi, penciptaan lapangan kerja, dan pertumbuhan ekonomi.
ADVERTISEMENT
Sano mengatakan, Waste4Change juga telah melakukan riset tentang circular economy. Hasilnya, penerapan prinsip circular economy ternyata mampu memberikan efek penghematan biaya pengelolaan sampah, bahkan dalam skala makro.
“Penghematan ekonomi pengelolaan sampahnya itu kalau dihitung dari hulu sampai hilir,” ujar Sano.
Perbandingan antara Linear Economy dan Circular Economy Foto: Katondio Bayumitra/Sabryna Muviola
Dalam hal ini, Sano menekankan pentingnya penerapan ekonomi persampahan (waste economic) yang berkeadilan. Mengingat keterbatasan anggaran dari APBN dan APBD setempat, retribusi sampah sampah dengan besaran yang layak dan berkeadilan dapat dimanfaatkan untuk biaya operasional pengelolaan sampah sesuai prinsip circular economy.
Pihak-pihak yang mampu mengelola sampah, siapapun itu, layak diberikan reward. “Sementara bagi orang yang nyampah, ya harus bayar. Fair aja. Kalau nyampah-nya banyak, maka wajib bayar banyak. Kalau kamu sampahnya sedikit, kamu bayarnya sedikit. Kalau kamu mampu mengelola sampah, kamu dapat sesuatu,” jelas Sano.
ADVERTISEMENT
Taiwan, menurut Sano, adalah contoh negara yang sukses menerapkan ekonomi persampahan yang berkeadilan, dengan sistem retribusi sampah berbasis volume. Membeli kantong sampah sudah termasuk membayar retribusi sampah. Artinya, jika seseorang memiliki sampah 10 kantong, maka ia sudah membayar 10 retribusi sampah.
“Dengan mekanisme berkeadilan seperti itu, Taiwan mampu melakukan perubahan yang sangat drastis (untuk pengelolaan sampah),” kata Sano.
Instrumen Sosial
Ilustrasi buang sampah pada tempatnya. Foto: Unsplash/Gary Chan
Sosialisasi secara masif di berbagai media juga penting untuk menghadirkan kesadaran terhadap pengelolaan sampah yang bertanggung jawab. Sebab, data Indeks Perilaku Ketidakpedulian Lingkungan Hidup (IPKLH) tahun 2017 menunjukkan bahwa tingkat ketidakpedulian masyarakat Indonesia terhadap pengelolaan sampah adalah yang tertinggi dibandingkan aspek lainnya, yaitu sebesar 72%.
“Kita butuh sebanyak-banyaknya media untuk ikut turun dan terjun mengedukasi masyarakat, bikin iklan layanan masyarakat gratis, kampanye terus, bikin infografis dan seterusnya,” tutur Sano.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, penerapan instrumen sosial sudah lebih baik dibandingkan dua aspek lainnya. Ia memberikan contoh bagaimana kita sejak usia sekolah dasar (SD) sudah diajari untuk tidak membuang sampah sembarangan, termasuk juga teori 3R (reduce, reuse, recycle) dan konsep pemilahan sampah. Belum lagi banyaknya bertebaran spanduk dan kampanye bertema kepedulian lingkungan.
10 negara dengan tingkat daur ulang terbaik Infografis: Katondio Bayumitra Wedya/Putri Sarah Arifira/Eunomia/EEB
Walau begitu, sosialisasi tetap harus ditingkatkan. “Misalkan masuk ke kurikulum resmi. Anak-anak SD diajari sejak awal, sejak TK bagaimana memilah sampah. Itu belum ada di Indonesia,” tambahnya.
Di Jepang, kata Sano, siswa-siswa harus membersihkan kelas 5 menit sebelum pelajaran dimulai, seperti menyapu, mengepel, memilah sampah, hingga mendaur ulang sampah. Menurutnya, itu dapat menjadi contoh yang baik.
Selain itu, Sano juga mengatakan bahwa edukasi saja tidak cukup. Edukasi harus pula diiringi dengan penegakan hukum yang tegas agar apa yang telah diajarkan kepada para siswa, terutama sejak bangku sekolah dasar, tidak berakhir hanya sebagai konsep ideal di ruang kelas tanpa praktik nyata.
ADVERTISEMENT
"Adik-adik di bangku sekolah akan bermasalah logika berpikirnya bila melihat orang dewasa di luar sekolah tetap buang sampah sembarangan karena tidak adanya penegakan hukum yang tegas," ujar Sano.
Pada intinya, Sano menegaskan, semua upaya itu dapat termaksimalkan jika didukung oleh penegakan hukum dan pembenahan aspek ekonomi. “Kalau kita hanya memutar gear aspek sosial doang, tapi gear penegakan hukum dan aspek ekonominya hilang, ya enggak jalan,” ucap Sano.
Sudah semestinya semua pihak, baik pemerintah, kalangan swasta, maupun masyarakat luas sadar akan pengelolaan sampah yang lebih bertanggung jawab. Penegakan hukum, ekonomi persampahan yang berkeadilan, dan kesadaran masyarakat adalah kunci menciptakan lingkungan yang lebih sehat. Dari kita untuk kita.