Tommy (Bukan) Soeharto

25 Juni 2018 9:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tommy Soeharto, Ketua Umum Partai Berkarya. (Foto: IPJI.org)
zoom-in-whitePerbesar
Tommy Soeharto, Ketua Umum Partai Berkarya. (Foto: IPJI.org)
ADVERTISEMENT
Partai Berkarya, dikomandani Tommy Soeharto, menahbiskan diri sebagai “Golkar Baru”. Dengan 70 persen kader—menurut salah satu pendirinya—yang berasal dari Golkar, dengan logo mirip Golkar, dengan Soeharto sebagai ikon, dan dengan putra-putri Soeharto sebagai pengendali, Berkarya berambisi merebut suara para pencinta Soeharto.
ADVERTISEMENT
Setelah Tommy Soeharto didapuk menjadi Ketua Umum dan politisi kawakan Golkar Priyo Budi Santoso bergabung sebagai Sekretaris Jenderal, giliran Titiek Soeharto mengumumkan hengkang dari Golkar untuk bergabung dengan Berkarya sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Partai.
Seakan belum cukup, sejumlah petinggi partai mengisyaratkan Mbak Tutut, putri sulung Soeharto, akan segera bergabung dengan mereka. Semua itu untuk menegaskan eksistensi Berkarya sebagai pewaris Soeharto.
Semula, anak-cucu Soeharto tersebar di sejumlah partai gurem, kecuali Titiek di Golkar. Tommy di Partai Nasional Republik (Nasrep), Mbak Tutut di Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB), dan Ari Sigit—cucu Soeharto—di Partai Karya Republik (Pakar). Ketiganya tak lolos verifikasi administrasi KPU pada 2012.
Kini melalui Berkarya, Trah Cendana seolah membentuk wadah tunggal sebagai kendaraan politik mereka pada Pemilu 2019. Selain Tommy dan Titiek di kursi pengendali, dan Tutut yang masih memilih membantu di belakang layar, ada pula menantu Tutut—Muhammad Ali Reza—di kursi Ketua Dewan Pimpinan Wilayah DKI Jakarta, dan cucu Soeharto—Eno Sigit—di jajaran pengurus Dewan Pimpinan Pusat Partai Berkarya.
ADVERTISEMENT
Salah satu upaya keluarga Cendana untuk menggerakkan roda Berkarya, tak lain lewat kapitalisasi sosok Soeharto. Wajah Presiden RI kedua itu terpampang bersama wajah Tommy (dan kini Titiek) di spanduk-spanduk Partai Berkarya.
Baliho Partai Berkarya di Yogyakarta (Foto: Dok. istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Baliho Partai Berkarya di Yogyakarta (Foto: Dok. istimewa)
Namun, apakah strategi “berdagang” Soeharto itu akan berhasil melambungkan Berkarya dan mendaratkannya ke Senayan? Apakah Dinasti Cendana bisa melawan partai-partai besar mapan dengan jargon “Penak jamanku, to?”
Mungkin tak semudah itu. Berikut analisis tiga pakar politik—M Qodari dari Indo Barometer, Arya Fernandes dari CSIS, dan Yunarto Wijaya dari Charta Politika.
Keluarga Cendana punya sejarah panjang dalam berpolitik, dan kini mereka memusatkannya lewat Partai Berkarya. Bagaimana Anda melihatnya?
ADVERTISEMENT
Qodari: Di satu sisi, mereka ingin mengembalikan kejayaan keluarga Cendana. Di sisi lain, mungkin ada ide, gagasan, atau praktik pembangunan di masa lalu yang menurut mereka bagus dan sekarang sudah tidak ada lagi, dan mereka ingin mengembalikan itu.
Saya menilai Tommy dan keluarga Cendana tidak terlalu serius berpolitik. Misalnya waktu Tommy mau maju calon ketua umum (Golkar), dia nggak betul-betul fight. Nggak kelihatan ikhtiarnya untuk menggalang dukungan daerah. Tidak kelihatan usahanya untuk fight habis-habisan, serius secara logistik.
Tommy Soeharto pernah dua kali hendak mencalonkan diri menjadi Ketua Umum Golkar, pada 2009 dan 2016. Keduanya gagal. Pada Musyawarah Nasional Golkar 2009 di Riau, Tommy tak mendapat dukungan. Setelahnya, tahun 2012, ia berlabuh ke Partai Nasional Republik sebagai Ketua Dewan Pembina.
ADVERTISEMENT
Namun Nasrep tak lolos verifikasi administrasi KPU untuk mengikuti Pemilu 2014. Tommy lantas kembali ke Golkar. Pada Mei 2016, ia sempat mengambil formulir pendaftaran calon Ketua Umum Golkar, namun batal maju. Walau begitu, Tommy diangkat menjadi anggota Dewan Pembina Partai Golkar.
Tapi lagi-lagi Tommy pergi. Dua bulan kemudian, Juli 2016, ia menyeberang ke Partai Berkarya sebagai Ketua Dewan Pembina. Jabatan baru sebagai Ketua Umum Berkarya ia sandang setelah Rapimnas Partai di Solo Maret 2018, saat Partai Berkarya telah dinyatakan KPU lolos verifikasi untuk ikut Pemilu 2019.
Pentas Politik Trah Cendana (Foto: Sabryna Muviola/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pentas Politik Trah Cendana (Foto: Sabryna Muviola/kumparan)
Saya melihat Tommy masih setengah hati. Tommy dan keluarga Cendana mendirikan partai politik (Berkarya) ini belum kelihatan fighting spirit-nya yang habis-habisan.
ADVERTISEMENT
Partai Berkarya menggunakan sosok Soeharto sebagai magnet elektoral. Apakah strategi tersebut efektif?
Arya: Itu jualan lama yang sekarang tidak terlalu dianggap penting oleh pemilih. Pengaruhnya tidak terlalu kuat karena perubahan demografi pemilih. Muncul pemilih baru yang cukup banyak, terutama pemilih pemula dan pemilih milenial yang tidak hidup pada zaman Soeharto.
Terdapat perubahan perilaku pemilih. Munculnya elite politik baru seperti Jokowi dan Prabowolah yang berpengaruh kuat di kalangan pemilih. Sementara pemilih yang euforia Soeharto dan Orde Baru, terutama pemilih tua, preferensi politiknya masih Golkar.
ADVERTISEMENT
Nah, bila ada partai baru yang muncul dengan ide seperti ini (membawa nama Soeharto dan Orba), pengalaman sejak Reformasi itu menunjukkan nggak berhasil. Ini juga tantangan bagi Partai Berkarya.
Kalau kita khawatir trah Cendana akan eksis, kita juga harus khawatir pada trah-trah lain. Sebab trah-trah lain juga berkembang dalam perpolitikan modern ini—Trah Cikeas, Trah Amien Rais, Trah Prabowo, Trah Mega.
Qodari: Mereka (keluarga Cendana) tidak salah. Partai kan harus punya selling point. Pak Harto itu selling point yang jelas.
Poster Soeharto di jalanan (Foto: Anwar Mustafa/AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Poster Soeharto di jalanan (Foto: Anwar Mustafa/AFP)
Kalau lihat hasil survei Indo Barometer mengenai Reformasi bulan April 2018, sebetulnya masyarakat Indonesia yang menilai positif Pak Harto masih banyak. Berdasarkan survei itu, ketika responden ditanya siapa presiden terbaik dari sekian presiden Indonesia, nomor satu Pak Harto. Angkanya 30 persen kalau tidak salah.
ADVERTISEMENT
Dalam survei Indo Barometer yang digelar 15-22 April 2018 di 34 provinsi terhadap 1.200 responden itu, 32,9 persen menganggap Soeharto berhasil memimpin Indonesia, disusul Soekarno (21,3 persen), Jokowi (17,8 persen), SBY (11,6 persen), BJ Habibie (3,5 persen), Gus Dur (1,7 persen), dan Megawati (0,6 persen).
Cuma saya lihat, penilaian masyarakat kepada Pak Harto tidak otomatis menurun kepada anak-anaknya, tidak identik dengan anak-anaknya, terutama Tommy. Mungkin ada soal kredibilitas di sini. Orang melihat Pak Harto dan anaknya itu jauh.
Di survei tersebut, kami juga mencoba taruh nama Tommy Soeharto untuk pilihan calon presiden. Kalau nggak salah di antara sekitar 20 nama capres. Tommy cuma dapat 0,1 persen. Bandingkan dengan Pak Jokowi atau Prabowo di peringkat pertama dan kedua. Selisihnya jauh sekali.
ADVERTISEMENT
Pada survei itu, Jokowi meraup angka tertinggi 40,7 persen di bursa capres, disusul Prabowo (19,7 persen), Gatot Nurmantyo (2,7 persen), Anies Baswedan (2,4 persen), AHY (2 persen), Jusuf Kalla (1,2 persen), TGB, Hary Tanoe, Ridwan Kamil masing-masing 1 persen, Ahok 0,9 persen), Cak Imin, Risma, Sri Mulyani, Mahfud MD, Khofifah masing-masing 0,5 persen, Sohibul Iman, Susi Pudjiastuti, Zulkifli Hasan masing-masing 3 persen, Ganjar Pranowo (0,2 persen), Rizieq, Cak Nun, Try Sutrisno, Airlangga Hartarto, Tommy Soeharto masing-masing 0,1 persen.
Jadi, orang belum melihat Tommy seperti melihat Pak Harto. Menurut saya, mereka (Cendana) belum punya perencanaan yang baik, detail, dan jelas mengenai bagaimana potensi yang ada dapat dikelola dan direalisasikan di lapangan.
ADVERTISEMENT
Jadi ‘jualannya’ tidak optimal?
Qodari: Saya pernah survei beberapa kali. Yang muncul di kepala responden saat Partai Golkar disebut, paling tinggi adalah Pak Harto.
Pemimpin Rezim Orde Baru, Soeharto (Foto: Wikimedia)
zoom-in-whitePerbesar
Pemimpin Rezim Orde Baru, Soeharto (Foto: Wikimedia)
Jawaban tiga besar soal Golkar itu adalah kuning, beringin, dan Soeharto. Mungkin itu salah satu penyebab partai anak-anak Cendana sulit mendapatkan dukungan. Karena ternyata di masyarakat, Pak Harto itu masih identik dengan Partai Golkar. Sehingga orang-orang yang rindu masa lalu, rindu Pak Harto, itu larinya ke Golkar, bukan PKPB atau Partai Berkarya.
PKPB, Partai Karya Peduli Bangsa, ialah partai yang dibentuk Mbak Tutut dan Jenderal TNI (Purn) R. Hartono—eks KSAD, Menteri Penerangan, dan Menteri Dalam Negeri era Soeharto. PKPB sempat mengusung Mbak Tutut sebagai capres, namun hanya mampu jadi partai papan bawah.
ADVERTISEMENT
Masih belum tercipta asosiasi Berkarya adalah Soeharto. Soeharto melekatnya ke Golkar. Orang ingat Pak Harto ya ingat Golkar. Yang orang ingat, Golkar itu masih Pak Harto.
Kader Partai Golkar. (Foto: golkarkotacilegon.org)
zoom-in-whitePerbesar
Kader Partai Golkar. (Foto: golkarkotacilegon.org)
Jadi Golkar masih lebih Soeharto dalam persepsi publik?
Yunarto: Yang masih berkuasa di Golkar dengan berbagai faksinya adalah orang-orang sisa kejayaan Orde Baru. Ada Akbar Tandjung, Agung Laksono, Fadel Muhammad, Aburizal Bakrie. Itu yang juga disebut mewakili kekuatan besar Orde Baru dengan jaringan bisnis dan jaringan militer.
Jadi tidak bisa disederhanakan bahwa kejayaan atau variabel Orde Baru ada di anak-anak Soeharto saja. Anak-anaknya hanya salah satu variabel dari banyak variabel.
Soeharto pun tidak pernah menempatkan Golkar sebagai Partai Soeharto. Golkar didirikan dan dibesarkan dengan menggunakan banyak variabel kekuasaan yang berdiri di bawah Soeharto, tapi bukan partai yang mengkultuskan Soeharto.
Lebaran Keluarga Cendana. (Foto: Twitter @WartaCendana)
zoom-in-whitePerbesar
Lebaran Keluarga Cendana. (Foto: Twitter @WartaCendana)
Kekompakan keluarga Cendana bergeser dari partai-partai lain untuk bergabung jadi satu di Berkarya, tak cukup menjadikannya ancaman baru di peta politik?
ADVERTISEMENT
Qodari: Itu nggak cukup. Karena pertarungannya adalah dengan partai politik lain yang sudah lama. Dan pertarungan politik itu bisa dilihat dari keseriusan membangun kantor, aktivitas dan eksistensi di lapangan, iklan-iklan, perekrutan tokoh-tokoh sebagai kader di berbagai daerah.
Saya juga belum lihat banyak tokoh kelas berat di Partai Berkarya, baik di tingkat pusat maupun daerah. Menurut saya itu indikator.
Sebagai partai baru, jangankan asosiasi dengan Pak Harto, Partai Berkarya saja orang belum tahu. Jadi problem partai baru itu pengenalan nama. Orang nggak tahu nama partainya. Dan dalam pemilihan umum, hukumnya adalah: kalau tak kenal, tidak akan dipilih.
Apakah hengkangnya Titiek Soeharto ke Berkarya punya pengaruh terhadap Golkar?
Yunarto: Titiek memiliki suara cukup besar di Yogya, peringkat satu di Golkar kalau kita lihat hasil Pemilu Legislatif 2014. Tapi, (keluarnya Titiek) tidak lantas berpengaruh besar pada Golkar. Tidak bisa disamakan antara kerinduan terhadap Orde Baru dengan memilih keturunan Soeharto. Terbukti dulu Tutut gagal ketika mendirikan partai. Tidak lolos verifikasi.
ADVERTISEMENT
Yang dirindukan dari Orde Baru adalah perkembangan ekonomi tinggi, stabilitas politik dan keamanan terjaga. Tidak memiliki kaitan langsung dengan darah dari Pak Harto.
Terjadi simplifikasi yang terlalu dangkal ketika mencoba mengaitkan masalah Golkar—yang memang memiliki kaitan kuat dengan Orde Baru—dengan hengkangnya anak dari Pak Harto. Itu hanya variabel kecil. Bukan hubungan darah (dengan Soeharto), tapi keberhasilan pembangunan yang dirindukan.
Tommy dan Titiek Soeharto (Foto: Romeo Gacad/AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Tommy dan Titiek Soeharto (Foto: Romeo Gacad/AFP)
Bisa dilihat apakah Tommy atau Titiek membawa infrastruktur yang banyak dari Golkar. Kalau bawa, ada bedol desa, ada calon anggota DPRD dan DPR, atau anggota DPR dan DPRD yang sudah jadi kemudian pindah semua ke Partai Berkarya, itu baru bisa disebut berpengaruh secara elektoral terhadap Golkar.
Tapi kalau hanya pindah secara pribadi, ya artinya hanya berpengaruh di tempat-tempat yang memang memiliki kaitan dengan Tommy dan Titiek. Dan itu menurut saya hanya di Yogya, tidak di di level nasional.
ADVERTISEMENT
Arya: Partai Golkar tahan betul menghadapi model-model seperti ini (kader menyeberang ke partai lain). Sudah tangguh. Banyak partai baru yang diinisiasi oleh kader-kader utama Golkar. Misalnya Gerindra, Hanura, NasDem.
Ketua Umum Gerindra, eks Danjen Kopassus Prabowo Subianto, merupakan mantan anggota Dewan Penasihat Partai Golkar. Ia keluar dari Golkar pada 14 Juli 2008, saat partai beringin itu dipimpin Jusuf Kalla. Empat tahun sebelumnya, April 2004, Prabowo sempat mengikuti Konvensi Capres Golkar namun gugur di putaran pertama.
Ketua Dewan Pembina Partai Hanura, eks Panglima ABRI yang kini menjabat Menkopolhukam Wiranto, mundur dari Golkar juga di era Jusuf Kalla, tepatnya pada 21 Desember 2006, dua tahun lebih dulu dari Prabowo. Ia pun ikut Konvensi Capres Golkar tahun 2004 dan memenanginya sehingga maju ke pertarungan Pilpres 2004 bersama Salahuddin Wahid (Gus Solah) yang merupakan adik Gus Dur.
ADVERTISEMENT
Ketua Umum Partai NasDem, Surya Paloh, keluar dari Golkar pada 7 September 2011 setelah 43 tahun berkiprah di partai beringin. Ketika itu, Golkar dipimpin oleh Aburizal Bakrie, dan Paloh telah aktif di NasDem yang semula berbentuk ormas.
'Anak-anak' Partai Beringin (Foto: Basith Subastian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
'Anak-anak' Partai Beringin (Foto: Basith Subastian/kumparan)
Jadi meski muncul Berkarya, itu tak akan mengusik Golkar. Karena Golkar secara sistem dan jaringan kader sudah kuat, mengakar. Berkarya tak akan mempengaruhi elektoral Golkar karena Golkar punya massa sendiri.
Qodari: (Perginya Titiek) tidak berpengaruh. Pertama, pengalaman sejarah. Tahun 2004, PKPB yang didirikan Mbak Tutut tidak mampu menyaingi kekuatan Golkar. Kedua, Golkar sudah banyak mengalami proses pecahan-pecahan, dan sampai sekarang masih besar.
Sampai sekarang, Partai Golkar masih relatif kokoh. Yang berhasil mendapat suara paling besar justru bukan anak-anak Pak Harto, tapi orang-orang Golkar non-Cendana.
ADVERTISEMENT
Ada missing link. Ada kesenjangan luar biasa antara ketokohan dan popularitas Pak Harto di masa lalu dengan dukungan politik yang dituai anak-anaknya. Jaraknya jauh sekali.
Tommy Soeharto Pangeran Cendana (Foto: Basith Subastian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Tommy Soeharto Pangeran Cendana (Foto: Basith Subastian/kumparan)
------------------------
Ikuti terus manuver putra-putri Soeharto dalam rangkaian ulasan mendalam Cendana is Back di Liputan Khusus kumparan.