KONTEN SPESIAL, Polusi Udara Jakarta

Udara Jakarta di Tengah Kepungan PLTU Batu Bara

25 April 2019 10:58 WIB
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Cover Story Konten Spesial:  Polusi Udara Jakarta. Foto: Putri Sarah Arifira/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Cover Story Konten Spesial: Polusi Udara Jakarta. Foto: Putri Sarah Arifira/kumparan
ADVERTISEMENT
Ika Sofiana mengeluhkan debu tebal di beberapa titik rumahnya, Senin (22/4), siang itu. Saban hari sejak dua tahun lalu, hujan debu menerjang daerah tempat tinggalnya di Lebak Gede, Banten, setiap musim kemarau.
ADVERTISEMENT
“Pas musim panas ada angin, sudah deh debunya tinggi banget,” kata Ika saat berbincang dengan kumparan, Senin (22/4/2019).
Ika Sofiana, Warga Sekitar PLTU Suralaya. Foto: Fauzan Dwi Anangga/kumparan
Gara-gara debu-debu itu anak Ika sering flu dan batuk. Hal serupa juga dialami anak-anak lain yang sebaya di sekitar rumahnya. Debu-debu tersebut berasal dari lahan 56 hektare yang dibuka sejak 2017 untuk pembangunan PLTU Suralaya Jawa 9 dan Jawa 10.
Jaraknya sekitar satu kilometer dari rumah Ika. Areal itu dulunya dimanfaatkan warga sekitar sebagai pantai rekreasi. Bila angin laut sedang kencang, debu dari tempat yang kini menjadi tanah lapang itu ikut tertiup hingga permukiman sekitar.
Bagi masyarakat di sekitar Proyek PLTU Suralaya Jawa 9 dan 10, truk yang lalu lalang di lahan itu sudah menjadi pemandangan biasa. Warga seperti Ika tak mempersoalkan rencana pembangunan PLTU.
ADVERTISEMENT
“Kalau sudah memang keputusan pemerintah, BUMN, untuk meningkatkan kinerja ya boleh aja. Lahan yang dibuka juga lahan mereka,” ujar Ika.
Suasana PLTU Suralaya. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
Pembangunan PLTU Suralaya Jawa 9 dan 10 justru mendapat sorotan ratusan kilometer dari sana. Di Jakarta, Greenpeace Indonesia mempersoalkan proyek itu karena mengganggapnya akan berkontribusi meningkatkan polusi udara di Ibu Kota.
PLTU menghasilkan polutan berbahaya seperti Nitrogen Dioksida (NO2), Sulfur Dioksida (SO2), Merkuri, Cadmium, Arsenik, dan lain sebagainya. Selain itu ada pula PM(particulat matter)2,5 partikulat berukuran kecil yang tak kalah berbahaya.
Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Didit Haryo, menjelaskan polutan yang dihasilkan PLTU batu bara bisa menyebar hingga radius 100 kilometer. Saat ini, ada 8 PLTU batu bara dengan 22 unit tower yang beroperasi di sekitar Jakarta.
ADVERTISEMENT
Greenpeace menyebut Jakarta sebagai ibu kota negara yang paling banyak dikelilingi PLTU batu bara di dunia. Ke depan jumlahnya akan ditambah empat PLTU batu bara lagi, yakni PLTU Bojanegara dan Indramayu dengan kapasitas 2.000 MW; PLTU di Lontar dengan kapasitas 315/350 MW, dan Suralaya yang akan menghasilkan daya 7.000 MW jika unit 9 dan 10 mulai beroperasi.
Beban polusi dari sana diperkirakan tak akan sanggup ditanggung Jakarta. “Jika PLTU baru ini akan dibangun berkontribusi menghasilkan emisi yang dirata-rata akan sama dengan 10 juta kendaraan bermotor roda empat,” kata Didit.
Hitung-hitungan itu didasarkan pada modeling yang dibuat Greepeace. Sebaran polutan dari PLTU batu bara di sekitar Jakarta diperkirakan dengan memasukan variabel jenis batu bara, radius, arah angin, dan musim.
ADVERTISEMENT
Dari permodelan tersebut, didapatkan gambaran bahwa 22 tower PLTU yang sudah ada saja berkontribusi 33 hingga 38 persen dari konsentrasi PM2,5 harian di Jakarta. “Ini menunjukkan PLTU-PLTU ini berkontribusi polutannya itu jatuh ke Jakarta baik yang ada di barat, Suralaya dan lain-lain, maupun yang ada di timur seperti Indramayu atau Cirebon,” urai Didit.
Bila permodelan itu benar, warga Ibu Kota akan terancam beberapa masalah. Riset Greenpeace dan Universitas Harvard yang dipublikasikan 2015, menaksir polusi PLTU batu bara di Indonesia bisa menyebabkan 6.500 kematian dini per tahunnya.
Strok dan penyakit jantung iskemik adalah penyakit yang dominan dari jumlah kematian tersebut. Jumlah kematian dini itu pun bisa jadi meningkat hingga 15.500 jiwa per tahunnya jika pembangunan PLTU dengan bahan bakar batu baru terus dilakukan.
ADVERTISEMENT
Di samping itu, polusi PM2,5 juga bisa meningkatkan risiko kanker paru-paru, masalah reproduksi, dan penyakit pernapasan akut. “Ini bisa macam-macam, menyerang tergantung titik paling lemah orang yang menghirup,” imbuh Didit.
Itu sebabnya, Greenpeace lantang menyuarakan penyetopan pembangunan PLTU batu bara baru. Pemerintah juga didorong untuk memperketat baku mutu emisi dari PLTU karena standar yang dimiliki saat ini masih rendah.
PLTU Batubara yang Sudah Beroperasi di Suralaya. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
Baku Mutu Emisi (BME) yang diatur dalam Permen Lingkungan Hidup 21/2008 untuk PLTU batu bara masih menggunakan angka kadar maksimum yang tinggi. Merujuk aturan itu, ambang batas Sulfur Dioksida (SO2) dipatok 750 mg/Nm3, Nitrogen Oksida (NO2) sebesar 750 mg/Nm3, total partikulat 100. Dalam Permen tersebut juga tidak diatur soal polutan berupa PM2,5 dan merkuri.
ADVERTISEMENT
“Jika negara lain misalkan China yang dulu sangat bergantung pada batubara sebagai energi. Standar emisi yang dia punya misalnya 100, Indonesia standarnya masih di angka 700. Artinya masih jauh sekali,” terang Didit.
Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace, Didit Haryo. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Memperbaiki kualitas baku mutu emisi, menurut dia, menjadi dilema industri energi PLTU batu bara. Pasalnya, teknologi yang semakin ramah lingkungan membutuhkan investasi yang lebih besar. Pada gilirannya hal itu akan mendorong naiknya biaya produksi listrik.
“Harga listrik dari batu bara itu paling murah, karena faktor-faktor eksternal seperti sakit, pencemaran, polusi itu tidak pernah dihitung dimasukkan ke dalam harga listrik,” Didik menjelaskan.
Sementara itu, pengelola PLTU Jawa 9 dan 10 di Suralaya menjamin proyek yang digarapnya punya standar emisi tinggi. Koordinator Pengembangan Proyek, Kardi bin Kasiran, mengungkapkan dampak lingkungan menjadi salah satu prioritas mereka. Bahkan, kata dia, hal itu masuk dalam persyaratan pendanaan dari bank dan investor asing.
Koordinator Proyek Pengembangan PLTU Suralaya 9-10, Kardi Bin Kasiran. Foto: Helmi Afandi/kumparan
Ia menegaskan teknologi yang diterapkan PLTU Jawa 9 dan 10 paling ramah lingkungan. “Cerobong sebisa mungkin gas buangnya masih jauh dari ambang batas. PLTU Jawa 9 dan 10 ini sudah mengikuti aturan yang di dunia,” Kardi menyebutkan.
ADVERTISEMENT
PLTU juga akan mengaplikasikan teknologi desulfurisasi. Sulfur yang dihasilkan pembangkit akan ditangkap. Tujuannya, lanjut dia, untuk meminimalkan sulfur oksida buangan PLTU menyebar ke udara.
Lahan untuk PLTU Jawa 9 dan Jawa 10. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
Adapun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menampik dugaan kontribusi PLTU batu bara terhadap polusi di Jakarta. Direktur Pengendalian Pencemaran Udara, Dasrul Chaniago, mempertanyakan dasar argumen itu.
“Kan aneh-aneh saja logikanya. 70 persen permasalahan udara di Jakarta itu karena kendaraan bermotor,” sanggah Dasrul.
Simak ulasan lengkap konten spesial Menggugat Polusi di Jakarta di kumparan dengan topik Polusi Udara Jakarta
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten