Unilever Kembangkan Teknologi Daur Ulang Plastik Fleksibel di Sidoarjo

13 Desember 2018 20:29 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Unilever kembangkan teknologi daur ulang plastik fleksibel di Sidoarjo. (Foto: Nuryatin Phaksy Sukowati/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Unilever kembangkan teknologi daur ulang plastik fleksibel di Sidoarjo. (Foto: Nuryatin Phaksy Sukowati/kumparan)
ADVERTISEMENT
PT Unilever Indonesia memamerkan teknologi teranyarnya yang mampu mendaur-ulang jenis kemasan fleksibel menjadi bijih plastik baru. Bahan ini bisa diproduksi kembali menjadi kemasan produk bagi masyarakat. Teknologi terbaru produsen barang konsumsi itu dipamerkan di sebuah pabrik yang berlokasi di Krian, Sidoarjo, Jawa Timur.
ADVERTISEMENT
Pabrik yang berdiri di dalam lahan kompleks milik PT Trias Sentosa itu memiliki fasilitas berteknologi CreaSolv Technology. Dikembangkan bersama Fraunhofer Institute for Process Engineering and Packaging IW asal Jerman sejak 8 tahun terakhir.
Maya Tamimi, Division Head of Environment Sustainability Program Unilever Indonesia Foundation, menjelaskan, teknologi ini dikembangkan melalui riset dan melewati sejumlah trial and error sejak 2011 bersama Fraunhofer.
Maya mengataakan teknologi itu mampu mendaur ulang jenis kemasan fleksibel atau yang dikenal dengan kemasan sachet yang biasa kita temukan sehari-hari. Kemasan jenis plastik sudah dicampur lapisan lain atau tersablon, seperti sachet sampo, deterjen, pewangi dan lain-lain.
"CreaSolv Technology, pertama dan satu-satunya di dunia. Sebuah terobosan teknologi terbaru yang mampu mendaur ulang kemasan sachet. Ini merupakan solusi pengelolaan sampah yang dinilai paling efisien," ujar Maya.
ADVERTISEMENT
Maya menjelaskan, untuk penelitian dan pengembangan CreaSolv ini, PT Unilever Indonesia harus menginvestasikan anggaran mencapai 10 juta Euro atau sekitar Rp 150 miliar. Kini, teknologi recycling ini mulai beroperasi untuk menghasilkan lebih dari dua per tiga tonase sampah kemasan fleksibel yang sudah dibersihkan dan dicacah halus.
Namun menurut Maya, jumlah tersebut jauh tak sebanding dengan manfaat yang diperoleh masyarakat maupun perusahaannya. Hanya saja, saat ini pabrik itu masih menerima jumlah yang kecil untuk diproses. "Rata-rata setiap hari 3-4 ton. Tapi output yang dihasilkan hanya sekitar dua per tiganya. Sepertiganya menjadi residu," terang Maya.
Sementara itu, Kepala Pabrik CreaSolv, Tri Sabron, menjelaskan pabrik ini berdiri di lahan seluas 2.000 meter per segi. Tri menjelaskan, CreaSolv memiliki tiga langkah produksi.
Unilever kembangkan teknologi daur ulang plastik fleksibel di Sidoarjo. (Foto: Nuryatin Phaksy Sukowati/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Unilever kembangkan teknologi daur ulang plastik fleksibel di Sidoarjo. (Foto: Nuryatin Phaksy Sukowati/kumparan)
Langkah pertama, kata Tri, beberapa ton sampah yang telah dicacah dan dicuci bersih serta dikeringkan dibawa oleh pengepul. Sampah yang yang terkemas lewat karung itu diturunkan di ruangan loading. Di lokasi tersebut, sekaligus ada koper untuk menampung kemasan fleksibel yang hendak diproses.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, plastik akan dilarutkan dengan cara dicampur cairan polimer. Cairan tersebut membuat plastik menjadi larutan di dalam sebuah bejana besar. "Bentuknya seperti jelly. Nah itu nanti akan terpisah menjadi biji plastiknya," ujar Tri.
Selanjutnya, larutan polimer dilakukan pemurnian dengan cara diendapkan dan disaring. Dari situ kemudian, alat akan memisahkan residu dengan untuk diolah menjadi produk lain. Polimer yang dimurnikan dipindahkan ke ruang pengeringan.
Penyulingan campuran lain diuapkan dari Iarutan polimer. Plastik polimer kemudian dikeluarkan dan diproduksi menjadi pelet plastik polimer."Pelet plastik dari hasil daur ulang akan digunakan untuk membuat kemasan 53A," jelas Tri.
Baru Sebatas Skala Eksperimen
Meski berhasil mendaur ulang dua per tiga dari limbah kemasan fleksibel, Teknologi CreaSolv belum memasuki tahap skala bisnis untuk meraup keuntungan. Alasannya, masih ada variabel pendukung yang belum mencukupi.
ADVERTISEMENT
Tri Sabron menjelaskan, lewat teknologi ini Unilever Indonesia mendorong masyarakat maupun stakeholder lainnya untuk semakin sadar adanya nilai ekonomi berharga dari sampah-sampah sisa sachet produk yang dipakai sehari-hari.
"Kalau dikatakan mahal itu relatif. Tapi hasil eksperimen itu mengajak masyarakat untuk mulai berinvestasi dengan sampah mereka yang sudah dibersihkan dan dikumpulkan. Seperti layaknya warga di Jepang," ujar Tri.
Menurut Tri, salah satu variabel penting adalah pihaknya belum mendapat sampah kemasan fleksibel yang sudah bersih dan dicacah dalam jumlah besar.
"Kita lihat kapasitas sampahnya. Suplai sampah dan secara ekonomi investasi," ujarnya.
Sejauh ini, pabrik CreaSolv rata-rata masih mengolah 3 ton per hari dengan output dua per tiga dari tonase. Sedangkan, untuk skala komersial baru akan bisa jalan kalau minimal 30 ton per hari sampah yang digarap.
ADVERTISEMENT
"Pengumpulan cukup lama, ada lagi variabel lain yaitu perlu kontribusi stakeholder pemerintah dan masyarakat," ujarnya.
Maka, secara tidak langsung Tri melihat, masyarakat akan terus didorong kesadarannya untuk mengumpulkan sampah sebagai suatu sumber yang bernilai ekonomis. Sampah sisa kemasan sachet akan menjadi sumber pendapatan lain yang bisa dimanfaatkan sebagai pekerjaan atau pendapatan untuk masyarakat.
Selain itu, Unilever Indonesia juga telah menggaet kerjasama dengan lebih dari dua ribu bank sampah yang ada di beberapa kota di Jawa Timur, dan Bali.
"Karena kami juga melakukan studi kami. Kami studi ke TPA kemudian mulai edukasi ke hulunya," tambah Tri.
"Kalau ditanya target running ke ekonomis, kami maunya secepatnya. Tapi variabel tadi belum cukup di luar lagi terkait persoalan regulasi dan pajak," ujar Tri.
ADVERTISEMENT
Tri menambahkan, CreaSolv ini akan membantu memperluas peluang ekonomi masyarakat untuk mengais Rupiah. "Di Hulu masyarakat kelak akan berlomba mengumpulkan sampah. Bahkan akan tumbuh bisnis padat karya pengepul sampah atau bisnis pencacahan dan pembersihan sampah," kata dia.