Massa Aksi di depan gedung Bawaslu

Upaya Pendukung Prabowo Menyiasati Jerat Pasal Makar

20 Mei 2019 15:02 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Massa aksi di depan Gedung Bawaslu, Jakarta, pada Jumat (10/5). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Massa aksi di depan Gedung Bawaslu, Jakarta, pada Jumat (10/5). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Ahmad Yani memendam waswas ketika memakai nama gerakan people power saat menggelar aksi menjelang 22 Mei 2019. Ini tanggal krusial. Di hari Rabu itu, KPU akan mengumumkan rekapitulasi hasil penghitungan suara Pemilu Presiden.
Masalahnya, gerakan people power bagi aparat identik dengan makar. Maka, lebih baik menghindari urusan dengan aparat daripada berdebat istilah gerakan dengan mereka.
Kekhawatiran serupa juga ada di kepala rekan-rekannya, sesama pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Supaya aman, mereka pun sepakat mengubah nama gerakan menjadi Gerakan Nasional Kedaulatan Rakyat.
Kesepakatan itu diambil saat menggelar pertemuan Persiapan Aksi 21-22 Mei di Ballroom Hotel Holiday Inn, Jalan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Kamis (16/5).
Politikus PBB, Ahmad Yani Foto: Antara/Yudhi Mahatma
“Kami nggak makar. Supaya nggak makar, kami menamakan Gerakan Nasional Kedaulatan Rakyat,” kata Yani, politikus Partai Bulan Bintang yang pernah duduk di Komisi Hukum DPR periode 2009-2014.
Pertemuan Persiapan Aksi 21-22 Mei di Holiday Inn digelar selepas asar hingga jam delapan malam. Menurut Yani, suasana petang itu ramai. Ada ratusan orang sampai-sampai Yani lupa duduk di sebelah mana.
Mereka yang hadir berasal dari berbagai perwakilan seperti Front Pembela Islam, Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Ulama, Alumni 212, hingga purnawirawan TNI.
Undangan pertemuan yang sama diperoleh kumparan. Menurut undangan itu, beberapa tokoh seperti Ketua DPD FPI Jakarta Habib Muchsin Alatas, Koordinator Aliansi Rakyat Merdeka Jumhur Hidayat, Ketua DPP FPI Shobri Lubis, Wakil Ketua Umum Gerindra Ferry Juliantono, dan Ketua Umum PA 212 Slamet Maarif ikut hadir. Ada pula Titiek Soeharto, Rachmawati Soekarnoputri, Neno Warisman, KH Solachul Aam Wahib Wahab, dan Rizal Ramli.
Pokok utama pertemuan itu sudah tentu soal persiapan Gerakan Nasional Kedaulatan Rakyat yang akan diselenggarakan 20-22 Mei 2019. Pendukung Prabowo akan long march dengan rute Gedung KPU, gedung Bawaslu, Bundaran HI, Monas, hingga Gedung DPR.
Aksi tersebut dipandang harus digelar karena Prabowo sudah menyebutkan menolak hasil penghitungan KPU dalam Simposium Mengungkap Fakta-fakta Kecurangan Pilpres 2019 di Grand Sahid Jaya, Jakarta, Selasa (14/5).
“Saya akan menolak hasil penghitungan pemilihan, hasil penghitungan yang curang,” kata Prabowo saat itu. Hingga kini pun, hasil real count sementara KPU memenangkan Jokowi-Ma’ruf Amin.
Calon Presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto memberikan sambutan dalam acara Mengungkap Fakta-Fakta Kecurangan Pilpres 2019 di Jakarta, Selasa (14/5/2019). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Aksi belum lagi berlangsung, rekan-rekan Yani di kubu Prabowo kadung terganggu dengan kabar penetapan Eggi Sudjana sebagai tersangka atas kasus dugaan makar. Polisi mempermasalahkan pidato ajakan people power Eggi saat deklarasi kemenangan Prabowo di Kertanegara, Jakarta Selatan, Rabu (17/4).
Eggi pun dijerat Pasal 107 KUHP dan Pasal 110 Jo Pasal 87 KUHP dan atau Pasal 14 ayat (1) dan (2) dan atau Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Paket pasal itu ialah mengenai niat, perencanaan, penyebaran, dan tindakan makar.
Penetapan tersangka ini dilakukan usai Eggi bersama Mayjen TNI (Purn) Kivlan Zen membawa massa Gabungan Elemen Rakyat untuk Keadilan dan Kebenaran ke KPU dan Bawaslu pada Kamis (9/5). Mereka memprotes dugaan kecurangan pemilu. Namun aksi tersebut dibubarkan oleh polisi.
Yani cs pun bersiasat mengubah nama gerakan agar tak terjerat pasal yang sama dengan Eggi. Namun ia memastikan, gerakan ini tetap melanjutkan seruan Amien Rais pada Aksi 313 di depan Kantor KPU, Minggu (31/3). Saat itu Amien menyebutkan jika terjadi kecurangan yang terukur, sistematis, dan masif atas Pilpres 2019, maka ia akan menggelar people power.
Eggi Sudjana (kiri) dan Kivlan Zen (kanan) di depan Bawaslu, Jakarta, Kamis (9/5). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Meski Yani menyebut nama Gerakan Nasional Kedaulatan Rakyat diputuskan setelah rembuk bersama di Holiday Inn 16 Mei, nama serupa sudah diucap Amien Rais ketika berbicara di Grand Sahid Jaya, dua hari sebelum pertemuan di Holiday Inn digelar.
“Saya mengingatkan, Eggi Sudjana ditangkap polisi karena bicara people power. Jadi sejak sekarang kita nggak gunakan people power, tapi Gerakan Kedaulatan Rakyat. Siapapun yang menghadapi kedaulatan rakyat, insyaallah kita gilas bersama-sama,” kata Amien.
Tak hanya siasat soal nama, pertemuan di Hotel Holiday Inn juga bicara perencanaan aksi. Kali ini mereka tak turun ke jalan dengan satu bendera, tetapi mengaku berasal dari berbagai kelompok. Toh, kata Yani, rekan-rekannya memang berasal dari ragam latar belakang namun membawa aspirasi yang kebetulan sama.
Menurut Yani, seluruh tokoh yang berkumpul di Holiday Inn kala itu mewakili kelompok berbeda, tidak hanya dari BPN Prabowo-Sandi. Namun, mereka memang kerap terlihat sebagai pendukung pasangan 02.
“Enggak ada (hubungannya dengan BPN Prabowo-Sandi). Ini pure civil society. Sepanjang yang kami lakukan, komunikasi ke BPN juga ada kesepahaman tentunya,” kata Yani.
Soal pengerahan massa dari daerah sendiri, Yani mengaku tidak dapat membendungnya. Menurutnya aksi ini merupakan bagian dari hak untuk menyatakan pendapat, dalam masalah ini adalah dugaan kecurangan Pilpres.
“Itu hak rakyat Indonesia, hak bangsa Indonesia untuk melakukan mobilisasi, berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Terutama juga dalam rangka menjaga kedaulatannya,” imbuhnya.
Dari People Power ke Tuduhan Makar Foto: Basith Subastian/kumparan
Juru bicara BPN Prabowo-Sandi, Ahmad Riza Patria, menegaskan organisasinya tidak pernah memerintahkan people power. Menurutnya aksi semacam Gerakan Nasional Kedaulatan Rakyat ini merupakan hak dan boleh dilakukan sepanjang tak ada tindakan anarkis dan melanggar ketentuan hukum.
Soal keterkaitan dengan aksi Eggi dan Kivlan, Riza menyebutkan keduanya merupakan simpatisan. Aksi keduanya tidak memiliki koordinasi dengan BPN Prabowo-Sandi. Walaupun aksi tersebut memiliki napas yang sama dengan Gerakan Nasional Kedaulatan Rakyat, untuk mendeklarasikan kemenangan pasangan Prabowo-Sandi dan mendiskualifikasi Jokowi-Ma’ruf karena dituding melakukan kecurangan.
Sumber kumparan yang merupakan salah seorang petinggi BPN mengatakan Eggi sangat jarang ke Kantor BPN Prabowo-Sandi, Kertanegara, padahal dia salah satu anggota bidang hukum dan advokasi BPN. Meski demikian, ini bukan kali pertama Eggi melancarkan protes kepada KPU terkait kecurangan pemilu.
Calon Presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto menyapa para pendukungnya saat meninggalkan kediaman Kertanegara di Jakarta Selatan, Rabu (17/4/2019). Foto: ANTARA FOTO/SIgid Kurniawan
Riza hanya memastikan lembaganya tak terkait dengan rencana aksi mendekati hari Pengumuman Hasil Rekapitulasi Pilpres 2019. Gerakan itu dibuat oleh pendukung, relawan, dan rakyat. Lembaganya tak memerintahkan mobilisasi hanya mendukung saja.
“Siapa saja boleh bersuara dan berserikat, bukan yang kita minta, bukan yang kita perintahkan, bukan. Itu gerakan spontanitas, antusias dari masyarakat yang ingin menegakkan keadilan,” ucapnya ketika ditemui di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, pada Selasa (14/5).
Direktur Relawan Nasional BPN Prabowo-Sandi, Mustofa Nahrawardaya, mengatakan banyak relawan dari luar daerah mempersiapkan diri berangkat ke Jakarta. Mereka mengesampingkan imbauan aparat dan memiliki berbagai cara untuk berangkat ke Jakarta untuk bergabung. BPN Prabowo-Sandi sendiri tak mampu jika mengerahkan mereka.
“BPN sedikit orangnya. BPN enggak mungkin memimpin seperti itu. Orang BPN kan pasti orangnya itu-itu saja,” kata Mustofa di kantor BPN Prabowo-Sandi di kawasan Bulungan, Jakarta Selatan, Kamis (16/5).
Anggota BPN Prabowo-Sandi, Mustofa Nahrawardaya. Foto: Ferry Fadhlurrahman/kumparan
Namun ajakan ini sudah memicu aksi di daerah yang menuai masalah hukum. Misal saja Ketua Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Ulama (GNPF-U) Bogor Raya Iyus Khaerunnas yang dicokok polisi atas kasus dugaan penyebaran berita bohong, pada Jumat (17/5).
Ia ditangkap setelah rekaman videonya viral. Iyus mengajak jihad karena kecurangan pemilu, dan masifnya komunisme. Walau dibebaskan dari tahanan, ia masih terjerat dengan Pasal 45A ayat (2) jo Pasal 28 ayat (2) UU RI No 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU RI Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE dan/atau Pasal 14 dan/atau Pasal 15 UU RI Nomor 1 Tahun 1946 tentang penyebaran berita bohong dan/atau Pasal 160 KUHP.
Selain itu seorang pilot berinisal IR digelandang ke Polres Metro Jakarta Barat setelah menyerukan perlawanan pada saat pengumuman rekapitulasi hasil penghitungan suara Pilpres pada Rabu (22/5). Pilot tersebut juga menyebutkan Polri siap tembak di tempat perusuh NKRI. Ia ditangkap di Jawa Timur, pada Sabtu (18/5).
Kasus dugaan makar juga telah menjerat Lieus Sungkharisma. Ia ditangkap tim penyidik Ditreskrimsus Polda Metro Jaya, pada Senin (20/5), setelah mangkir dari panggilan selama dua kali terkait tuduhan hoaks dan makar.
Yang terbaru adalah mantan Danjen Kopassus Mayjen (Purn) Sunarko. Ia diadukan atas pasal makar ke polisi oleh seorang pengacara, Humisar Sahala, setelah rekaman video Sunarko untuk mengepung KPU dan Istana tersebar di YouTube. Ia juga bicara soal polisi akan melakukan tindakan keras serta tentara berpangkat tinggi bisa dibeli sedang pangkat rendah tidak.
Surat laporan bernomor STTL/0322/V/2019/Bareskrim itu menyebutkan dugaan makar dilakukan Sunarko. Ia dilaporkan atas Pasal 110 Jo PAsal 108 ayat 1 tentang Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum UU No. 1 Tahun 1946 dan PAsal 163 bis Jo Pasal 146 KUHP.
Jerat Pasal Makar Foto: Basith Subastian/kumparan
Pengamat Politik Hamdi Muluk menyayangkan sikap penolakan hasil Pilpres 2019 yang akan diumumkan Rabu (22/5). Menurutnya sikap itu tidak menghormati proses pemilu yang sudah berjalan. Harusnya penolakan pengumuman rekapitulasi hasil penghitungan suara pilpres juga menolak rekapitulasi hasil suara pileg.
Sikap tidak menerima rekapitulasi hasil penghitungan suara Pilpres tetapi menerima pileg sama saja dengan mau menang sendiri. “Prinsipnya sama saja anda menolak proses berkebangsaan dan bernegara,” jelasnya ketika dihubungi, pada Senin (20/5).
Pengamat Politik UI Arbi Sanit menyebutkan aksi penolakan hanya bagian dari tawar menawar politik saja. Toh, tak semua orang menolak hasil Pilpres 2019. Menurutnya aksi ini takkan membatalkan hasil penghitungan
“Kalau menurut saya sekarang ini pada tahap bargain, tawar-menawar,” kata dia.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten