Upaya Sultan HB X Mengurai Sengkarut Yogya

11 April 2018 18:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Yogya kini bukan Yogya yang dulu. Ia berubah seperti layaknya segala hal di dunia. Tugu Yogya dan Malioboro dikepung hotel dan apartemen tinggi menjulang. Pusat komersial baru macam mal dan kafe menjamur di seantero kota.
ADVERTISEMENT
Tak heran. Sudah lama label sebagai kota budaya dan kota pelajar membuat Yogyakarta menjadi tujuan pendatang. Sepanjang 2017 misal, sebanyak 4,7 juta wisatawan lokal dan 397 ribu turis asing berkunjung ke kota ini. Belum lagi, lebih dari 60 ribu mahasiswa baru dari seluruh Indonesia datang ke Yogya setiap tahunnya.
Para pendatang lantas bersesakan dengan penduduk asli. Sayangnya, Yogyakarta belum sepenuhnya memberi penghidupan layak.
Laju zaman tak pelak membawa efek samping. Kelompok-kelompok rentan terpinggirkan oleh proyek pembangunan.
Yogyakarta pun kian macet. INRIX 2017 Global Traffic Scorecard menempatkan Yogya sebagai kota termacet keempat di Indonesia. Setiap pengendara di kota ini menghabiskan 45 jam dalam setahun untuk terjebak di jalan.
ADVERTISEMENT
Sultan Hamengku Buwono X sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, menyatakan tak mudah menangani kemacetan Yogya. Sebab, semua pusat kegiatan yang berada di jantung kota menyebabkan arus tak terkontrol.
Ia sesungguhnya ingin seluruh wilayah di DIY berkembang pesat, tak cuma di kota.
“Kami mencoba supaya Gunung Kidul berkembang, Sleman berkembang, Kulon Progo berkembang, Bantul berkembang, jadi manajemen kemacetan bisa diratakan. Apalagi kalau New International Airport sudah selesai, orang yang datang ke Yogya akan makin tinggi, manajemen lalu lintas harus lebih cermat,” kata Sultan kepada kumparan di Kompleks Kepatihan, Yogya, Senin (2/4).
Kepadatan pembangunan di Yogyakarta. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Pemerataan pembangunan daerah menjadi penting bagi DIY. Dengan kemiskinan di angka 13,02 persen dan jurang ketimpangan tinggi, semrawut di sektor ekonomi jadi pekerjaan rumah yang harus dirampungkan.
ADVERTISEMENT
Untuk itu investasi dipilih sebagai jalan keluar. Sektor pariwisata, pertanian, dan perikanan jadi target. Namun tentu saja, investasi bukan obat sakti untuk segala penyakit. Sebab masuknya modal tak serta-merta mengangkat derajat ekonomi masyarakat Yogya,
Sebagai contoh, kemunculan pelbagai proyek perhotelan dan apartemen pada 2014 memicu penolakan dari sebagian masyarakat setempat. Selanjutnya, proyek pembangunan New Yogyakarta International Airport di Temon, Kabupaten Kulon Progo, juga masih ditolak sebagian warga setempat.
Menghadapi penolakan itu, Sultan mencoba mencari jalan tengah, meski itu tak bisa memuaskan semua pihak.
“Kami di sini, di provinsi, berprinsip investasi silakan investasi. Tapi kita bisa melihat kebutuhan,” ujarnya, sembari menekankan, Yogya mau-tak mau telah masuk ke medan kompetisi di era globalisasi.
ADVERTISEMENT
Perubahan Sosial
Suasana jalanan di Yogya. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Zaman bergeser, kondisi masyarakat ikut berubah. Gelombang pendatang dan derasnya arus informasi sedikit banyak mengubah jiwa suatu kota.
Sayangnya, perubahan itu di Yogya ditandai dengan bayang kelabu berupa peningkatan angka intoleransi antarumat beragama.
Lembaga riset The Wahid Institute dalam penelitiannya tahun 2014 menempatkan Yogyakarta sebagai kota intoleran nomor dua di Indonesia, dengan mencatatkan 21 kasus intoleransi terjadi di sini.
Peringkat sempat membaik setahun kemudian. Pada 2015, Yogya berada di nomor empat kota intoleran, dengan 10 kasus terjadi sepanjang tahun itu.
ADVERTISEMENT
“Tidak bisa saya mengatakan tidak boleh ada orang datang ke Yogyakarta. Yogya sangat terbuka untuk siapapun, jadi ada ruang (bagi) yang toleran dan intoleran juga masuk. Karena nggak mungkin (intoleransi) itu tidak akan terjadi.
Mural toleransi di Yogyakarta. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Sebagai melting pot berbagai kalangan dari ragam latar belakang, Sultan ingin perbedaan dikelola secara beradab. Ia tak ingin kekerasan terjadi di bumi Yogya.
“Yang penting pendekatan yang kami lakukan tuluslah. Bukan untuk menang, karena semua warga masyarakat ini perlu dihargai harkat martabatnya,” kata Sultan.
Yogya modern akan terus diuji oleh berbagai permasalahan. Seyogyanya, pembangunan hadir untuk menjawab tantangan zaman, bukan untuk mencabut orang-orang dari akar tradisinya.
Keraton Yogyakarta. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)