UU Pemilu Digugat karena Pemilih yang Tak Punya e-KTP Tak Bisa Nyoblos

5 Maret 2019 14:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Pemilu. Foto: Sabryna Putri Muviola/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pemilu. Foto: Sabryna Putri Muviola/kumparan
ADVERTISEMENT
UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh sejumlah masyarakat karena dianggap berpotensi menghilangkan hak pilih rakyat. Dalam UU itu, pemilih wajib membawa e-KTP saat mencoblos di TPS.
ADVERTISEMENT
Sementara, masih ada sekitar 4 juta orang yang belum mengantongi e-KTP. Dengan begitu, mereka terancam tak bisa memilih. Tak hanya itu, UU Pemilu juga tak lagi memberi ruang memilih dengan surat keterangan (suket) pengganti e-KTP.
“Kami sudah mendaftarkan permohonan uji konstitusionalitas untuk UU Pemilu. Permohonan ini tujuan utamanya adalah menyelamatkan suara rakyat pemilih,” Kata kuasa hukum pemohon Denny Indrayana di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (5/3).
Denny Indrayana (tengah), Titi Annggraini (kiri), dan Hadar Nafis Gumay (kanan) memberikan keteringan kepada wartawan usai mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (5/3). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Adapun permohonan uji materil diajukan terhadap Pasal 348 ayat 9, Pasal 348 ayat 4, Pasal 210 ayat 1, Pasal 350 ayat 2, dan Pasal 383 ayat 2 UU Nomor 7 tentang Pemilu.
Pasal 348 Ayat 9 dianggap menyebabkan pemilih yang tidak memiliki KTP elektronik kehilangan hak pemilihnya. Padahal, Denny mengatakan, berdasarkan data dari Dukcapil pemilih yang tidak memiliki KTP elektronik jumlahnya mencapai 4 juta lebih.
ADVERTISEMENT
“Nah, kita menguji itu agar KTP elektronik bisa diganti dengan berbagai macam. Surat keterangan, KTP biasa, dan seterusnya supaya suara pemilih terlayani,” kata Denny.
Kemudian, Pasal 348 ayat 4 dianggap menyebabkan pemilih yang pindah lokasi memilih atau terdaftar dalam DPTb (Daftar Pemilu Tambahan) berpotensi kehilangan hak pilihnya dalam pemilu legislatif.
“Sebab, kalau dia (pemilih) pindah provinsi, dia akan mendapatkan suara presiden saja, kertas suara lain dia tidak dapat,” ujar Denny.
Denny Indrayana (tengah), Titi Annggraini (kiri), dan Hadar Nafis Gumay (kanan) memberikan keteringan kepada wartawan usai mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (5/3). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Selain itu, Pasal 210 ayat 1 yang mengatur bahwa pendaftaran DPTb hanya dapat dilakukan paling lambat 30 hari juga dianggap berpotensi mehilangkan hak pilih rakyat.
“Itu orang kalau mendadak, karena alasan kerja, alasan bencana, lewat dia. Kita baru tahu, 17 April, 3 hari sebelumnya. Tahun 2014, 3 hari bisa, sekarang diperpanjang 30 hari, jadi orang bisa kehilangan suara,” kata Denny
ADVERTISEMENT
Oleh karena ya, Pasal 350 ayat 2 diajukan pengujian konstitusional bersyarat agar memungkinkan KPU membuat TPS Khusus agar pemilih dengan kondisi atau kebutuhan khusus tertentu tidak kehilangan hak pilihnya.
“(Kondisi khusus) misalnya sedang menjalankan tugas, menjalani rawat inap, pindah, dan sebagainya,” kata Denny.
Denny Indrayana (kiri) dan Hadar Nafis Gumay (kanan) memberikan keteringan kepada wartawan usai mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (5/3). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Terakhir, Pasal 383 ayat 2 dimohonkan pengujian agar ada solusi hukum jika perhitungan suara tidak selesai dalam satu hari. Antisipasi hukum yang demikian perlu dilakukan demi menjaga keabsahan Pemilu 2019.
Titi Anggraini selalu pemohon mengatakan selain memastikan bahwa asas pemilu umum artinya setiap warga negara harus dijamin hak pilihnya, uji materiil diajukan untuk memberikan kepastian hukum bagi KPU demi menjamin keabsahan pemilu.
“Karena dalam praktik pemilu yang sangat kompetitif celah yang tidak bisa dijamin oleh kepastian hukum yang kuat itu bisa memungkinan potensi terjadinya gugatan hukum ataupun sengketa,” kata Titi.
ADVERTISEMENT
“Jadi kami ingin memastikan pelaksanaan pemilu kita ini betul-betul dipayungi oleh pengaturan yang memberikan jaminan kepastian hukum,” pungkasnya.
Para pemohon terdiri dari 7 orang yakni Titi Anggraini (perwakilan Perludem), Hadar Nafis Gumay (pendiri Netgrit sekaligus mantan komisioner KPU), Feri Amsari (Direktur PUSaKO FH Universitas Andalas), Agus Hendy (warga binaan Lapas Tangerang), A. Murogi (warga binaan Lapas Tangerang), Muhamad Nurul Huda, didampingi oleh kuasa hukum dari Indrayana Centre for Government, Constitution and Society (Integrity) mendaftarkan permohonan uji materiil ke MK pada pukul 11.30 WIB.