LIPSUS, Asap karhutla di Riau

Walhi Riau: Status Darurat Asap Lambat Ditetapkan

23 September 2019 11:56 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kabut asap menyelimuti kota Riau akibat kebakaran hutan dan lahan di Riau Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Kabut asap menyelimuti kota Riau akibat kebakaran hutan dan lahan di Riau Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
Riau menjadi provinsi yang paling terdampak akibat kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) sepanjang tahun 2019. Ini bukan kali pertama Riau mengalami karhutla. Bahkan, karhutla di Riau sudah menjadi peristiwa tahunan.
Kebakaran besar sempat melanda Riau pada 2015. Saat itu, kawasan hutan dan lahan yang terbakar mencapai 5.595 hektare, disusul tahun 2016 sebesar 2.348 hektare, dan 2017 sebesar 1.052 hektare. Sedangkan periode Januari-April 2018, karhutla di Riau mencapai 1.647 hektare dan hingga November mencapai 5.776 hektare.
Permasalahan kebakaran hutan ini tidak akan selesai apabila lahan gambut tetap kering akibat tidak direstorasi. Maka, Presiden Joko Widodo membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG) yang berdiri sejak 2015 khusus untuk memulihkan 7 provinsi yang memiliki potensi kebakaran hutan dan lahan lebih besar.
Kepala BRG Nazir Foead menyatakan saat ini timnya masih melakukan pemulihan di 2,67 juta hektare lahan gambit hingga masa bekerja mereka habis, yaitu sampai 2020. Namun, menurut Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau, Riko Kurniawan, tidak ada sinkronisasi yang baik antara BRG dengan kementerian terkait.
"Makanya pas kita bicara kegiatan-kegiatan pemulihan yang membuat kebakaran, pemulihan ini masih holistik dan masih sektoral. BRG kerja sendiri, KLHK kerja sendiri, Kementan kerja sendiri, Kementerian PUPR kerja sendiri. Itu nggak sinkron. Harusnya itu menjadi satu kesatuan karena bicara gambut itu kan ekosistem satu kesatuan," ujar Riko.
Wartawan kumparan berdiri di dekat indikator udara di kota Riau. Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
Berikut petikan wawancara dengan Riko Kurniawan, di Pekanbaru, Rabu (18/9).
Mengapa sekarang di Riau terjadi karhutla besar lagi?
Kalau kita bicara asap kebakaran kan hampir semua wilayah di Indonesia kebakaran. Tapi kalau dalam konteks asap, itu kan hanya 7 provinsi yang rutin: Riau, Jambi, Sumsel, Kalbar, Kalteng, Kalsel, dan sedikit Kaltim. Itu semua kan daerah-daerah yang mayoritas banyak lahan gambutnya.
Sejak tahun 1997 sampai 2015 yang dulu rutin di Riau itu (kebakaran). Pertama Riau karena Riau itu salah satu provinsi yang hampir 50 persen lahannya gambut. Nah dulu memang ada salah urus tata kelola di lahan gambut kita. Yang dulunya tidak boleh ada gambut 3 meter ke atas itu tidak ada izin, malah diberikan izin. Nah itulah faktor utama.
Tahun berapa di Riau mulai rutin terjadi karhutla?
Awal-awal mulai maraknya itu 1990-an. Asap mulai terjadi pertama kali itu tahun 1997 di Riau, tapi rutin. (Tahun) 1997 sampai 2015 itu kita nggak putus (kebakaran), setiap tahun langganan.
Nah, waktu saya investigasi hutan tahun-tahun 1995-1996 itu di daerah-daerah yang sekarang sudah berubah jadi sawit, itu orang nebang kayu itu pakai perahu. Jadi kita masuk hutan itu melihat illegal logging. Nah itulah lahan gambut sebenarnya, rawa basah.
Dulu kan Riau awal-awal 1980-1990an maraknya illegal logging, mulai lah rusak karena illegal logging. Tapi karena itu lahan basah, jadi para investor itu bangun kanal. Kanal itu misal tubuh kita kayak gambut, 80%-nya air, jadi kanal itu tujuannya untuk mengeringkan air di dalam tubuh. Ada yang langsung ke laut ada yang ke sungai. Sifat gambut itu juga asam, maka untuk menetralkan ph, tanah itu mereka bakar. Itu cara termudahnya. Itu saja butuh 2-3 tahun gambutnya kering, habis itu bakar. Sampai netral itu minimal 3 tahun.
Jadi biasanya di lokasi itu-itu saja yang terbakar. Kenapa hampir setiap tahun terjadi kebakaran? Karena setiap tahun orang masih buka lahan gambut. Terus setelah mulai netral tanahnya, baru mereka tanam, baru mereka jaga kawasannya. Nah kalau sudah tumbuh, nggak ada kebakaran lagi. Nah mereka pindah lagi ke tempat-tempat baru.
Proses pemadaman kebakaran hutan dan lahan di Riau. Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
Di 2015 kenapa tidak ada lagi kebakaran dan lahan? Riau itu dari 9 juta hektar lahan dari total seluruh provinsi, 4,6 juta hektare adalah lahan gambut. Dari 4,6 juta itu 2,7 juta sudah dialihfungsikan. Artinya sudah ada izin di atasnya dan dibuka. Nah dari 2,7 juta itu yang rusak saat ini, yang 2,1 juta sudah ditanam (sawit). Berarti itu mereka sudah membakar dari masa lalu. Nah sisanya yang 800 itu open access istilahnya. Tapi izin di atas sudah ada.
Dulu target kita pada pemerintah itu harus direstorasilah lahan-lahan gambut yang terbuka dan rusak itu untuk dipulihkan. Makanya pemerintah membentuk Badan Restorasi Gambut, terus membuat PP 57 tahun 2016 untuk mengagendakan pemulihan, pengelolaan, dan perlindungan gambut. Kalau dulu kan nggak ada aturannya, sekarang dibuat aturannya, ada lembaganya, terus pemerintah melakukan pemulihan.
Nah, celakanya, tiga tahun lalu kita banyak terbantu itu bukan pada pekerjaan pemulihan gambut, tapi pada pemadaman api. Sempat 3 tahun lalu itu helikopter selalu standby di sini. Dulu juga kemarau bukan kemarau kering, tapi kemarau basah. Dulu kebakaran masih terjadi karena tiap tahun kami melaporkan, tapi responsnya cepat padam. Nah sekarang kemarau kan kering, terus pemadaman juga sedikit timnya, tinggal 2 helikopter. Kalau Riau itu tetap, Februari status siaga darurat. Kalau sekarang ini hampir serentak nih Sumatera dan Kalimantan Juni sampai September. Riau itu Februari Maret sempat terjadi asap di Dumai, itu yang berada di Pulau Rupat, Pulau Rangsang, Kabupaten Bengkali itu mulai terbakar hebat, 2 bulan sebelum ada hujan. Terus sekarang terbakar lagi.
Poin yang ingin saya sampaikan itu sebenarnya pemulihannya lambat, nggak dilakukan. Kalaupun ada pemulihan, selama 3 tahun dilakukan oleh pemerintah itu harusnya petugas di bawah sudah dapet air lho. Selama ini kan alasan BNPB dan sebagainya adalah kami susah dapat air. Ya wajar. Artinya yang sulit itu agenda pemulihan nggak berjalan dengan baik sehingga pas di musim sekarang, apalagi ini kemaraunya juga panjang dan serentak, dan juga pembukaan lahan juga serentak dilakukan sekarang.
Dibandingkan 2015, peningkatan pembukaan lahan memang sedang masif tahun ini?
Kalau yang saya bilang tadi, buka lahannya sama. Yang sisa 800 ribu hektar tadi, itu sudah rusak, mereka terus membersihkan. Tahun 2015 itu kadang-kadang di sini hujan, sementara di Kalimantan kering. Atau di sini kering, di sana musim ujan. Jadi momentumnya orang membuka lahan itu pas musim panas. Rupanya musim panas kita serentak di Sumatera dan Kalimantan. Sehingga, menjadi masiflah kejadian ini.
Celakanya lagi, Jambi, Sumsel, dan Kalimantan itu nggak pernah menetapkan status darurat asap atau status siaga kebakaran di awal tahun. Pasti respons di Kalimantan dan Sumatera itu lambat responsnya. Riau, Jambi, Sumsel, dan Kalimantan periode Juni-September ini sama-sama kemarau. Tahun 2016-2018, di sini kemarau, di sana hujan. Jadi orang sini buka lahan, ini bisa cepat ditangani. Jadi, nggak banyak asapnya. Kalau sekarang ini, kalau di gambut itu musim kemarau orang buka lahan, ngebakar, kebetulan musimnya serentak. Berbeda dengan tiga tahun lalu.
Artinya memang agenda gambut kita itu belum pulih sebenarnya. Gampang sekali dibakar, gampang sekali dirusak. Kita sudah 20 tahun menangani gambut. Nggak mungkin manusia mampu memadamkan api di gambut kecuali air tersedia cukup banyak.
BRG mengatakan ada beberapa wilayah yang sempat diremajakan, salah satunya di Rimbo Panjang. Tapi ternyata tetap terbakar juga, itu bagaimana tanggapannya?
Gambut itu satu kesatuan ya, di sini diintervensi, di sana tidak. Itu juga yang perlu dievaluasi. (Misalnya di wilayah) ini rusak parah, di bagian ini kita tangani pelan-pelan karena memang alasan kita sumber daya terbatas dan anggaran terbatas. Waktu BRG melakukan pemulihan di sini, dan yang di wilayah lain itu masih belum pulih.
Itu evaluasi kita juga. Makanya pas kita bicara kegiatan-kegiatan pemulihan itu masih holistik dan masih sektoral. BRG kerja sendiri, KLHK kerja sendiri, Kementan kerja sendiri, Kementerian PUPR kerja sendiri. Itu nggak sinkron. Harusnya itu menjadi satu kesatuan. Karena, bicara gambut itu kan ekosistem satu kesatuan, bukan bicara, “Eh, itu bukan wilayah administrasi kami.” Alam nggak melihat administrasi kan. Itu problem sebenarnya.
Termasuk ketika kita bilang bagaimana sinergitas mereka dengan KLHK dan Kementerian Pertanian. Kan dua kementerian itu sektoral, satu yang mengurus HGU (Hak Guna Usaha), satu mengurus hutan industri. Nah di lahan gambut kita, setiap konsesi wajib bertanggung jawab merestorasi daerah konsesi dia, tanpa dibantu oleh pemerintah.
Darurat Asap Foto: Argy Pradipta/kumparan
Berarti apa yang perlu dievaluasi untuk BRG dan kementerian-kementerian terkait?
Kami semuanya paham itu kan ahli-ahli semua ya. Tapi kan masalahnya selalu bicara masalah kewenangan. Jadi, antara kewenangan-kewenangan mereka, kan ekspektasi publik tinggi terhadap lembaga ini untuk pemulihan. Tapi kewenangannya lemah dan anggarannya juga kecil.
Sektoral begitu juga, KLHK dan Kementan ini. Dia hanya fokus di wilayah-wilayah dia saja. Maksud kita, kami bukan bicara BRG atau apapun nama lembaga siapapun sektornya, tapi minimal agenda-agenda pemulihan itu saling sinkron. Artinya Kementan dan KLHK itu harus mengikuti arahan dari BRG.
Itu persoalan nasional. Nanti di daerah berantem lagi antara TRGD (Tim Restorasai Gambut Daerah) dan Dinas Lingkungan Hidup, dengan bupati, dengan gubernur. Makin kusut lagi.
Di BRG juga ada persoalan kewenangan. Di Jakarta masih banyak kepala, di daerah susah lagi mengontrol bupati, gubernur, kepala dinas, dan sebagainya. Itu juga nggak satu pintu. Kita butuh agenda-agenda pemulihan ini dijalankan dan diperkuat oleh presiden.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten