Wapres Jusuf Kalla Tak Setuju Ada Kementerian Adat

20 Agustus 2019 15:25 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Wakil Presiden, Jusuf Kalla. Foto: Kevin S. Kurnianto/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Wakil Presiden, Jusuf Kalla. Foto: Kevin S. Kurnianto/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai usulan pembentukan kementerian baru yang fokus mengurus soal adat berlebihan. Usul tersebut awalnya muncul dari Staf Khusus Presiden untuk Papua, Lenis Kogoya.
ADVERTISEMENT
"Itu berlebihan itu," kata Jusuf Kalla singkat di Kantor Wakil Presiden, Jakarta Pusat, Selasa (20/8).
Staf Khusus Presiden untuk Papua Lenis Kogoya sebelumnya mengusulkan agar pemerintah membentuk kementerian yang mengurusi soal adat. Lenis beralasan adat sudah lebih dulu ada, bahkan sebelum Indonesia merdeka.
"Ke depan kita dorong pemerintah harus, mudah-mudahan menteri adat harus ada. Ada menteri adat bagus. Agama sudah, adat belum pernah," kata Lenis di Posko Kemenangan Jokowi, Jalan Anggrek Neli Murni, Jakarta Barat, Senin (19/8).
Dengan adanya kementerian yang mengurusi soal adat, diharap pemerintah mampu lebih menghargai banyaknya adat istiadat yang ada di Indonesia, termasuk di wilayah Papua.
"Saya mendorong ini ke depan adat (lebih diperhatikan). Kita butuh di Papua dihargai. Jangan katakan kita hitam, kita sama. Saya hitam manis, saya lebih cantik dari yang lain toh," timpal Lenis.
ADVERTISEMENT
Kementerian tersebut diharap mampu menangani permasalahan adat, contohnya yaitu konflik antara swasta yang hendak berinvestasi di Indonesia, namun terkendala pembangunan karena tanah itu merupakan tanah adat. Seluruh permasalahan tersebut, kata Lenis, selama ini ditangani oleh ketua adat atau suku.
"Jadi perlu ke depannya ada 3 tugu harus ditegakkan. Adat dulu, agama, baru pemerintah, jadi adat harus dihargai juga. Masalah hak ulayat, investor mau masuk, kalau ada masalah dipalang, yang ngurus siapa? Kepala suku, jangan salah," kata Lenis.
"Sama saja kita mau masuk wilayah adat tidak permisi, pabrik sudah dibangun, masyarakat datang ‘hei ini tanah punya saya’, dipalang. Tidak mungkin ikuti pemerintah, (tapi) ikut pemilik hak ulayat, dihargai kepala suku," ujarnya.
ADVERTISEMENT