Warga Balaroa: Enggak Mungkin Selamanya Kami Tinggal di Tenda
ADVERTISEMENT
Permukiman di Balaroa , Petobo, dan Jono Oge yang hilang digulung gempa, kini tinggal kenangan. Wilayah padat penduduk itu akan dijadikan ruang terbuka hijau dan dibangun monumen sebagai pengingat bencana dahsyat yang melanda pada 28 September 2018.
ADVERTISEMENT
Di dalam tanah yang belum stabil itu, ratusan korban belum ditemukan. Tapi BNPB memutuskan pencarian akan dihentikan besok, meski tanggap darurat diperpanjang hingga 26 Oktober.
Warga Balaroa yang kini kehilangan rumah dan bertahan di tenda pengungsian merespons rencana tersebut. Warga berharap pemerintah segera mencari lahan untuk tempat tinggal mereka setelah dari pengungsian.
“Ya kita cuma minta kalau bisa dibantu untuk diberi rumah biasalah,” ujar Tonny kepada kumparan, di pengungsian Balaroa, Palu, Kamis (10/10).
Pada umumnya masyarakat memang setuju Balaroa tak lagi dihuni karena kondisi tanahnya yang labil dan kenangan tentang bencana yang mencekam
“Kita mau (direlokasi) tapi jangan di lokasi perumnas lagi, kita trauma tinggal di perumnas,” ujar Tonny.
Hal senada juga diutarakan warga lainya. Memasuki minggu kedua pasca gempa dan tsunami, warga menunggu rekasi cepat pemerintah setempat dan juga pemerintah pusat.
ADVERTISEMENT
“Ya harapanya dapat rumahlah entah rumah papan kah," cetusnya.
Sebelumnya, rencana penutupan beberapa wilayah ini disampaikan oleh Kepala Pusdatin BNPB Sutopo Purwo Nugroho. Menurutnya, langkah itu diambil usai mengadakan rapat bersama jajaran Pemerintah yang terlibat dalam proses penanganan pascagempa Sulteng.
"Lokasi yang ada di Balaroa, Petobo, Jono Oge akan ditutup dan juga dijadikan ruang terbuka hijau dan ruang bersejarah dibangun tugu sebagai penanda bahwa pernah terjadi di lokasi tersebut yang berbahaya. Jadi ini menjadikan edukasi, di daerah tersebut tidak boleh untuk permukiman," ujar Sutopo dalam konferensi pers di gedung BNPB, Jalan Pramuka, Jakarta Timur, Selasa (9/10).
ADVERTISEMENT