Witjaksono, Pelatih Terjun Luhut dan Seniman yang Jadi Korban Gempa

6 Agustus 2018 15:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Slamet Witjaksono (kiri), pematung GWK yang jadi korban gempa Lombok, Minggu (5/8). (Foto: Facebook/Andjar Kusmayadi)
zoom-in-whitePerbesar
Slamet Witjaksono (kiri), pematung GWK yang jadi korban gempa Lombok, Minggu (5/8). (Foto: Facebook/Andjar Kusmayadi)
ADVERTISEMENT
Slamet Witjaksono, menjadi salah satu korban gempa Lombok yang terjadi pada Minggu (5/8). Saat gempa berkekuatan 7,0 magnitudo itu terjadi, Slamet bersama Tim GWK (Garuda Wisnu Kencana) sedang berada di sebuah rumah makan di Bali.
ADVERTISEMENT
Lalu siapa sebenarnya siapa Slamet Witjaksono?
Bagi pemrakarsa Patung GWK, I Nyoman Nuarta, seorang Slamet Witjaksono bukanlah sosok yang asing. Setidaknya itulah yang dikatakan Didi Sugandi kepada kumparan.
"Kami satu angkatan, Pak Nyoman, Pak Slamet dan saya satu kelas, satu angkatan di seni rupa ITB," ujar Didi saat dihubungi kumparan, Senin (6/8).
Slamet kecil hidup di lingkungan tentara. Sebab, ayah Slamet adalah seorang anggota Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) berpangkat Marsekal.
Terlahir dari keluarga tentara tak membuat Slamet jumawa. Ia tetapi menjadi pribadi yang rendah hati. Hal itu lah yang tercermin hingga Slamet dewasa.
"Dia (Slamet Witjaksono) adalah anak sulung, ayahnya Marsekal di AURI, namanya kalau tidak salah Marsekal Untung Suwigyo. Ayahnya itu orang yang sederhana, Slamet juga, keluarganya sederhana, enggak pernah aneh-aneh," imbuh Didi.
Slamet Wicaksono, pematung GWK menjadi korban gempa Lombok. (Foto: Istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Slamet Wicaksono, pematung GWK menjadi korban gempa Lombok. (Foto: Istimewa)
Karena tugas ayahnya, akhirnya Slamet pindah ke Bandung. Kala itu Slamet masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Kehidupan Slamet sebagai warga Bandung di mulai sejak saat itu.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1973, Slamet masuk ke Fakultas Seni Rupa di Institut Teknologi Bandung. Di dunia kampus, Slamet mulai mengenal dunia terjun payung.
"Slamet itu jadi penerjun dimulai saat masih kuliah. Terjun-terjunan dan alam bebas itu jadi hobinya, sampai akhirnya dia bisa jadi pelatih," ujar Didi.
Hobi terjun payung tersebut menjadi hal yang digeluti oleh seorang Slamet ketika kuliah. Kala itu Slamet dan Robby Mandagi sempat mendirikan kelompok penerjun yang dinamai dengan kelompok 165 skydiving Jakarta.
Ketekunannya itu membuat seorang Slamet bisa melatih para tentara. Tak tanggung-tanggung, Slamet pernah melatih kopassus.
"Bareng bapak Robby Mandagi, Slamet itu ikut melatih pasukan 81 angkatan pertama. Waktu itu, mereka diminta sama pak Luhut untuk melatih terjun," ujar Didi.
ADVERTISEMENT
Pasukan 81 yang dilatih oleh Slamet saat itu adalah angkatan pertama dari satuan elit anti teror yang saat ini kita kenal dengan Satgultor 81.
Namun pada akhir tahun 1986, Slamet berhenti menjadi seorang penerjun. Tepatnya beberapa bulan setelah Robby Mandagi tewas kecelakaan saat melakukan aksinya.
Slamet Witjaksono, pematung GWK yang jadi korban gempa Lombok, Minggu (5/8). (Foto: Facebook/Slamet Witjaksono)
zoom-in-whitePerbesar
Slamet Witjaksono, pematung GWK yang jadi korban gempa Lombok, Minggu (5/8). (Foto: Facebook/Slamet Witjaksono)
Setelah berhenti menjadi penerjun. Slamet lulus kuliah, kemudian mencoba membuka lembaran baru, ia memilih menjadi seorang dosen, namun hal tersebut tak berlangsung lama.
"Iya jadi dosen, tapi sebentar, sekitar tahun 89 sampai 90-an awal. Saya kurang paham kenapa dia berhenti jadi dosen, enggak sampai lima tahun jadi dosen waktu itu," imbuh Didi.
Jiwa sosialnya membuat Slamet peduli dengan para pengrajin di daerah-daerah. Terutama para pengrajin yang tidak bisa memasarkan hasil karyanya.
ADVERTISEMENT
Dengan didasari rasa kepedulian itu, Slamet mengajak teman-temannya untuk mendirikan sebuah organisasi yang dinamai ‘Kiara’ sekitar tahun 1997.
"Kiara itu artinya pohon, bukan singkatan. Kiara sebagai simbol pohon yang terus tumbuh. Kami bangun itu, sebagai bentuk kepedulian kami dengan para pengrajin," ujar Didi.
Sejak saat itu, Slamet benar-benar mengabdikan diri untuk para pengrajin. Menurut Slamet, kepedulian itu murni dari hati seorang Slamet.
"Iya dia benar peduli, enggak pernah dipikirin soal bisnis," kata Didi.
Kepedulian dan rasa sosial Slamet memang tak pernah pudar, hal itu terbukti ketika Slamet dan beberapa orang lainnya terbang ke Bali beberapa hari sebelum gempa itu terjadi.
Berkumpulnya sahabat lama tersebut adalah untuk memenuhi undangan dari keberhasilan pembangunan GWK.
ADVERTISEMENT
"Waktu itu yang datang banyak, seperti reuni angkatan tapi di Bali. Sebab menurut saya (GWK) adalah karya yang patut dirayakan, puluhan tahun perjuangan untuk itu (GWK)," imbuh Didi.