news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Yang Cacat daripada Keluarga Cendana

25 Juni 2018 15:46 WIB
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tommy Soeharto di pengadilan (Foto: Oka Budhi/AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Tommy Soeharto di pengadilan (Foto: Oka Budhi/AFP)
ADVERTISEMENT
“Saya sudah menyelesaikan (hukuman) pidana saya. Sekarang saya memiliki hak yang sama untuk dipilih dan memilih,” ujar Tommy Soeharto menjawab pertanyaan Step Vaessen terkait niatannya menjadi calon presiden dalam wawancara bersama Al Jazeera, Sabtu (19/5).
ADVERTISEMENT
Tapi kenyataan tak sesederhana itu. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden memuat prasyarat yang lebih ketat untuk menjadi presiden dibanding pada masa 32 tahun kekuasaan ayahnya.
“Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih.” Begitulah bunyi salah satu ayat Pasal 6 dalam aturan yang lahir 10 tahun setelah tumbangnya Orde Baru.
Syarat yang sepertinya sulit dilangkahi oleh Pangeran Cendana itu, karena ia pernah divonis 15 tahun penjara atas kasus pembunuhan, kepemilikan senjata ilegal, dan menghindari penahanan--walaupun ia akhirnya mendapat enam kali ‘diskon’ berupa remisi yang membuatnya dikurung empat tahun saja.
Tommy Soeharto Pangeran Cendana (Foto: Basith Subastian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Tommy Soeharto Pangeran Cendana (Foto: Basith Subastian/kumparan)
Selepas dari penjara, ambisi ‘anak kesayangan’ Pak Harto itu masih menyala-nyala. Gagal menjadi Ketua Umum Golkar, ia kini mendirikan partai sendiri bernama Partai Berkarya sebagai kendaraan politik terbaru.
ADVERTISEMENT
Laju partai ini secara gamblang dikendalikan oleh Keluarga Cendana beserta atributnya. Lihat saja pucuk-pucuk pimpinannya yang diisi oleh anak cucu Soeharto. Mulai Tommy sebagai Ketua Umum hingga Muhammad Ali Reza, menantu Mbak Tutut sebagai Ketua DPW Partai Berkarya DKI Jakarta.
Menyusul kemudian kakak Tommy, Titiek Soeharto, sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Partai Berkarya yang menyatakan migrasinya ke Berkarya di tanah kelahiran sang ayah, Kemusuk, Yogyakarta, Senin (11/6). Tinggal menanti gabungnya Tutut Soeharto secara resmi, maka lengkaplah sudah konsolidasi politik Keluarga Cendana di Partai Berkarya.
Titiek Soeharto pindak ke Partai Berkarya (Foto: Antarafoto/Andreas Fitri A.)
zoom-in-whitePerbesar
Titiek Soeharto pindak ke Partai Berkarya (Foto: Antarafoto/Andreas Fitri A.)
Secara tampilan pun Partai Berkarya serupa tapi tak sama dengan Golongan Karya (Golkar) yang dibangun Soeharto untuk menopang kekuasaannya. Penggunaan nama ‘karya’, lambang beringin, dan warna kuning, menurut Neneng A. Tuty, salah satu pendiri Partai Berkarya, semua dirancang oleh Tommy Soeharto sendiri.
ADVERTISEMENT
“Sampai ke seragam segala macam itu, Pak Tommy sendiri yang menentukan,” kata Neneng yang kini menjabat Bendahara Umum Partai Berkarya.
Partai yang berdiri pada 15 Juli 2016, tepat di tanggal lahir Tommy, menegaskan diri sebagai pecinta Pak Harto dan perindu Orde Baru.
“Partai ini benar-benar fokus dan terukur. Betul-betul menjadi partai yang benar-benar memperjuangkan pikiran-pikiran Pak Harto,” ujar Badaruddin Andi Picunang, pendiri Berkarya lainnya, kepada kumparan, Selasa (12/6).
Maka tak heran jika program-program yang mereka tawarkan pun disesuaikan dengan cita-cita dari sang ikon utama, Soeharto. Karena mereka yakin banyak orang merindukan sosok pemimpin seperti Jenderal Tersenyum Soeharto.
“Tidak bisa kita pungkiri, memang kami-kami yang bergabung dalam partai ini rata-rata pecinta Pak Harto, rindu akan kondisi bangsa pada saat Pak Harto memimpin bangsa ini,” tutur Badaruddin.
ADVERTISEMENT
Apa sesungguhnya yang diwariskan oleh Soeharto, pemegang gelar salah satu pemimpin terkorup dalam 20 tahun terakhir oleh Transparency International? Apa benar bangsa merindukannya?
Poster Soeharto di jalanan (Foto: Anwar Mustafa/AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Poster Soeharto di jalanan (Foto: Anwar Mustafa/AFP)
Uang
Ungkapan harta kekayaan yang tak habis tujuh turunan barangkali cocok disematkan pada keluarga Soeharto. The Smiling General itu telah mewariskan harta berlimpah kepada enam orang anak-anaknya. Forbes memperkirakan total nilai kekayaan Soeharto mencapai USD 16 miliar, sementara TIME mengatakan nilai kekayaan Keluarga Cendana itu hingga USD 35 miliar.
Menurut laporan Majalah TIME berjudul The Family Firm, selama tiga dekade lebih, keluarga Soeharto memiliki ekuitas (kepemilikan dalam bentuk nilai uang) yang signifikan, kurang lebih di 564 perusahaan yang juga tersebar di luar negeri.
Ketika lengser pada 1998, Soeharto dan keluarga setidaknya telah memiliki peternakan senilai USD 4 juta di Selandia Baru; 22 apartemen mewah di Ascot, Inggris; penthouse senilai USD 8 juta di Singapura dan sebuah rumah besar seharga USD 12 juta di lingkungan eksklusif Los Angeles.
ADVERTISEMENT
Hasil penelusuran Majalah TIME yang tayang pada 24 Mei 1999 itu digugat Keluarga Cendana karena dianggap kelewatan dan mencemarkan nama baik. Namun kemudian, setelah TIME sempat divonis denda Rp 1 triliun dan mengajukan Peninjauan Kembali, ia dimenangkan oleh Mahkamah Agung dengan pertimbangan berita yang dimuat tidak melanggar hukum.
Soeharto dan anak cucunya (Foto: Holger Hollemann/AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Soeharto dan anak cucunya (Foto: Holger Hollemann/AFP)
Satu hal yang tidak bisa dibantah ialah adanya kekayaan yang diwarisi anak cucu Soeharto meski Soeharto tak lagi memegang tampuk kekuasaan.
Siti Hardijanti Rukmana atau Mbak Tutut, anak sulung Soeharto, dikutip dari The Soeharto family: where are they now? yang diterbitkan University of Melbourne pada Mei 2018, masih memiliki saham senilai USD 1 juta di Citra Lamtoro Gung Persada Group yang bergerak di bidang konstruksi, perdagangan, agrikultur, dan kerajinan tangan.
ADVERTISEMENT
Sigit Harjojudanto, anak kedua, menjadi salah satu pemilik saham terbesar Humpuss Group dengan nilai USD 22 juta.
Bambang Trihatmodjo (kiri), anak ketiga Soeharto. (Foto: John Macdougall/AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Bambang Trihatmodjo (kiri), anak ketiga Soeharto. (Foto: John Macdougall/AFP)
Bambang Trihatmodjo, anak ketiga, memiliki Bimantara Citra Group yang ia dirikan bersama dua temannya pada 1981. Bimantara bergerak di banyak sektor, mulai asuransi, telekomunikasi, hotel, transportasi, otomotif, industri kimia, hingga pariwisata.
Siti Hediati Hariyadi atau Titiek Soeharto, anak keempat yang baru saja bergabung dengan Partai Berkarya, memiliki koleksi seni bernilai jutaan dolar. Ia bermitra dengan mantan saudara iparnya, Hashim Djojohadikusumo, di berbagai lini usaha termasuk energi (minyak dan listrik) dan mal Plaza Senayan.
Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto, anak kelima, menguasai 60 persennya saham lainnya senilai USD 33 juta. Perusahaan holding ini memiliki 60 anak perusahaan yang bergerak di bidang minyak dan gas, properti, produk kimia dan pertanian.
ADVERTISEMENT
Mamiek Soeharto, si bungsu, hidup tenang dengan lahan seluas 3.000 hektare yang ia kelola sebagai Taman Wisata Mekarsari di Cileungsi, Jawa Barat. Ia juga tercatat sebagai pemegang saham Manggala Kridha Yudha, salah satu pengembang dalam proyek Reklamasi Teluk Jakarta.
Tutut dan Titiek Soeharto. (Foto: dpr.go.id)
zoom-in-whitePerbesar
Tutut dan Titiek Soeharto. (Foto: dpr.go.id)
Segala keberuntungan jatuh dengan mudah ke tangan anak-anak Soeharto kala ayah mereka berkuasa.
Misalnya saja, seperti dilansir Washington Post, Tutut bisa memenangkan kontrak pembangunan ratusan kilometer jalan tol di Malaysia, Myanmar, dan Filiphina.
Ia juga bersama kakaknya, Sigit Harjojudanto, memiliki 32 persen saham di Bank Central Asia (BCA).
Lalu Tommy Soeharto yang mencintai balap mobil, sempat mengembangkan industri mobil nasional bernama Timor.
Tommy Soeharto, Ketua Umum Partai Berkarya. (Foto: IPJI.org)
zoom-in-whitePerbesar
Tommy Soeharto, Ketua Umum Partai Berkarya. (Foto: IPJI.org)
“Sebagian besar ekonom dan pengamat industri otomotif menganggap proyek mobil nasional Tommy sebagai skema yang dibuat dengan sia-sia dan tidak masuk akal secara ekonomi. Subsidi USD 1 miliar yang direncanakan pada perusahaan Tommy pun dibatalkan atas perintah IMF,” tulis mendiang George J. Aditjondro, eks wartawan Tempo yang pernah dicekal rezim Soeharto.
ADVERTISEMENT
Singkatnya, pada masa itu Soeharto mengaburkan batasan antara perusahaan keluarga dan kepentingan publik. Itu sebabnya kemudian istilah KKN alias kolusi, korupsi, dan nepotisme dikenal luas.
Modal kekayaan klan Cendana berputar dan mengembang melalui 40 yayasan yang mereka bentuk. Yayasan-yayasan tersebut bertugas sebagai alat bisnis dan politik melalui kegiatan-kegiatan sosialnya mengumpulkan dana, menghindar dari pajak, lalu menginvestasikannya di perusahaan-perusahaan lain.
Protes terhadap Soeharto (Foto: Emmanuel Dunnand/AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Protes terhadap Soeharto (Foto: Emmanuel Dunnand/AFP)
Utang
“Keadaan bangsa negara kita sangat memprihatinkan, seperti utang negara yang sudah sampai USD 340 miliar. Kalau ditanya kepada Presiden atau Menteri Keuangan kapan itu akan lunas, tidak ada yang tahu mengenai itu,” ucap Tommy pada silaturahmi Partai Berkarya di Graha Granadi, Jakarta Selatan, Senin, (19/2).
Pernyataan yang tentu saja bikin geger. Apalagi kemudian ia membandingkan utang negara di masa kekuasaan ayahnya, Soeharto, yang hanya USD 54 miliar. Tommy luput menghitung dan membandingkan nilai rasio utang negara terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
ADVERTISEMENT
Rasio utang negara ketika Soeharto dilengserkan pada Mei 1998 mencapai 57,7 persen terhadap PDB. Tahun 2016, rasio utang Indonesia sebesar 27,5 persen terhadap PDB.
Soeharto, Presiden ke-2 Indonesia. (Foto: John Gibson/AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Soeharto, Presiden ke-2 Indonesia. (Foto: John Gibson/AFP)
Tapi ada persoalan utang lain yang tersisa dari Orde Baru dan masih menjadi misteri hingga saat ini.
Dalam Global Corruption Report 1999 yang dikeluarkan Transparency International, Soeharto dan keluarganya diduga telah menumpuk kekayaan sebesar USD 15-35 miliar selama 30 tahun lebih berkuasa.
Besaran nilai itulah yang mendudukkan presiden kedua Indonesia tersebut sebagai satu di antara pemimpin dunia terkorup.
“(Soeharto) menyalahgunakan kekuasaan politik untuk keuntungan pribadi merampas layanan publik, menciptakan keputusasaan yang melahirkan konflik dan kekerasan,” kata pendiri dan ketua TI Peter Eigen dikutip dari BBC.
ADVERTISEMENT
Penyelidikan atas dugaan korupsi yang dilakukan Soeharto melalui sejumlah yayasan, program mobil nasional, simpanan di luar negeri, hingga ribuan hektare tanah pernah dilakukan pada 1998-2000.
Melalui tujuh yayasan yang dipimpinnya, Soeharto sempat mengembalikan uang negara sejumlah Rp 5,7 triliun.
Oktober 1999, Kejaksaan Agung mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Pemerintah menyatakan tuduhan korupsi Soeharto tak terbukti karena minimnya bukti.
Di akhir 1999, SP3 dicabut dan kasus kembali dibuka, namun mandek hingga tahun 2008. Setelah bertahun-tahun melalui lika-liku gugatan, banding, hingga salah ketik putusan, pada 2015 Mahkamah Agung menghukum Yayasan Supersemar dan Soeharto untuk membayar ganti rugi kepada negara sebesar Rp4,4 triliun.
Lebaran Keluarga Cendana. (Foto: Twitter @WartaCendana)
zoom-in-whitePerbesar
Lebaran Keluarga Cendana. (Foto: Twitter @WartaCendana)
Pada akhirnya, keluarga Soeharto ‘selamat’ dari kewajiban membayar ganti rugi kepada negara karena pihak tergugat dalam kasus itu adalah Yayasan Supersemar dan Soeharto. Yayasan Supersemar telah dinyatakan bangkrut, sementara Soeharto meninggal dunia pada 27 Januari 2008.
ADVERTISEMENT
Tommy mengatakan, “Bagaimana bisa yayasan membayar kepada negara jika uang yang ada telah diberikan pada penerima beasiswa. Uang lainnya diinvestasikan di Bank Duta, tapi kan bank itu sudah ditutup oleh pemerintah.”
Tommy juga menyanggah kabar perihal dugaan transfer uang sebesar USD 9 miliar dari bank-bank di Swiss dan Austria. “Mereka bilang Bapak punya miliaran dolar di Eropa, di bank Swiss… Tidak ada yang bisa membuktikannya. Itu tidak terbukti,” jawabnya kepada Al Jazeera bulan lalu.
Selain warisan utang luar negeri dan kerugian negara yang tak terganti, Soeharto dan Orde Baru juga meninggalkan utang teka-teki sederet kasus pelanggaran HAM.
IPT 1965 (Foto: Facebook/@IPT1965)
zoom-in-whitePerbesar
IPT 1965 (Foto: Facebook/@IPT1965)
Tambah lagi, Orde Baru dibangun di atas reruntuhan peristiwa paling berdarah di Indonesia: Tragedi 1965. Pada periode 1965-1966, diduga sedikitnya 500 ribu nyawa simpatisan atau sekadar disangka simpatisan Partai Komunis Indonesia menjadi korban pembunuhan.
ADVERTISEMENT
Itu belum termasuk penangkapan, penahanan, hingga pembuangan secara massal ke Pulau Buru terhadap mereka yang dicurigai terlibat PKI atau diduga dekat dengan gagasan komunisme, tanpa melewati proses pengadilan.
Kematian dan pembunuhan tak berhenti di situ. Periode Petrus (Penembak Misterius) di tahun 1981-1985 diakui sendiri oleh Soeharto dalam buku autobiografi yang ditulis Ramadhan KH berjudul Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya pada halaman 389 sebagai “shockterapy”.
Amnesty International mencatat ‘kebijakan’ itu setidaknya menewaskan 5.000 orang yang tersebar di wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Bandung.
Deretan peristiwa lainnya, menurut laporan KontraS, yakni Kekerasan Tanjung Priok 1984-1987 yang menewaskan 24 orang dan puluhan luka-luka, Peristiwa Talangsari 1984-1987 yang menelan korban nyawa 130 orang dan melukai ratusan orang, serta Peristiwa 27 Juli 1996 (Kudatuli) yang memakan 11 orang korban jiwa.
Aksi Long March Mei 1998 (Foto: Dok. Muhammad Firman Hidayatullah)
zoom-in-whitePerbesar
Aksi Long March Mei 1998 (Foto: Dok. Muhammad Firman Hidayatullah)
Berlanjut pada Penculikan dan Penghilangan Paksa 1997-1998 terhadap 23 orang (9 di antaranya akhirnya pulang), Peristiwa Trisakti 12 Mei 1998 yang membuat empat orang mahasiswa tertembus peluru aparat, hingga Kerusuhan 13-15 Mei 1998.
ADVERTISEMENT
Menurut laporan Al Jazeera, kerusuhan yang menutup akhir dari rezim Soeharto itu diperkirakan menelan 1.000 orang korban tewas akibat penjarahan, pembakaran, dan pemerkosaan terhadap sekitar 150 perempuan keturunan China.
Peristiwa mengerikan itu, menurut Tommy, seperti sebuah film yang dirancang sedemikian rupa oleh seorang sutradara, entah siapa, demi melucuti kekuasaan ayahnya.
“Bapak bisa saja tetap berkuasa. Masih ada pasukan militer yang siap untuk menjaga situasi dan membelanya,” kata Tommy.
Kini nostalgia Orde Baru kembali digemakan. Jargon kerinduan melalui kalimat “Piye kabare? Luwih penak jamanku, tho?” ditempel di mana-mana dan disebar di jagat maya.
ADVERTISEMENT
Pertanyaannya kini: apa benar kita merindukan masa-masa kala harga serba-murah, tapi begitu pula dengan nyawa?
Masa kecil Tommy Soeharto (Foto: Wikimedia.org)
zoom-in-whitePerbesar
Masa kecil Tommy Soeharto (Foto: Wikimedia.org)
----------------
Ikuti manuver putra-putri Soeharto dalam rangkaian ulasan mendalam Cendana is Back di Liputan Khusus kumparan.