Yang Tak Mau Lagi Pilih Jokowi

4 Februari 2019 11:36 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Lipsus kumparan: Golput Bikin Takut. Foto: Herun Ricky/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Lipsus kumparan: Golput Bikin Takut. Foto: Herun Ricky/kumparan
ADVERTISEMENT
Fitri Nganthi Wani tak pernah lupa sesumbar Joko Widodo sebulan sebelum hari pencoblosan Pilpres 2014. Kala itu, Jokowi—yang berstatus calon presiden seperti sekarang—sedang berada di rumah relawan di Menteng, Jakarta, dan ditodong pertanyaan seputar masa depan penanganan kasus hilangnya Wiji Thukul.
ADVERTISEMENT
"Harus ditemukan. Harus jelas. Bisa ketemu hidup atau meninggal," ujar Jokowi lugas di depan awak media, 9 Juni 2014.
Janji yang diucapkan Jokowi jadi tajuk di beberapa media massa. Wani tentu saja membaca. Pernyataan itu begitu menyejukkan hati. Baginya, harapan soal kejelasan nasib sang ayah yang penyair cum Ketua Divisi Propaganda Partai Rakyat Demokratik itu masih terbuka tak benar-benar tumpas.
Apalagi janji Jokowi saat itu tak terlihat hanya sebatas retorika. Penyelesaian kasus pelanggaran HAM di masa lalu masuk jadi prioritas dalam visi misi Jokowi-JK berjudul Jalan Perubahan untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian.
Pada butir ii bagian komitmen penegakan hukum, Jokowi-JK secara khusus menyebut kasus Kerusuhan Mei, Trisakti, Semanggi I dan II, Penghilangan Paksa, Peristiwa Talangsari, Tanjung Priok, serta Tragedi 1965 sebagai kasus yang akan dibereskan biar tak lagi “...menjadi beban sosial politik bagi bangsa Indonesia.”
ADVERTISEMENT
Komitmen penyelesaian kasus HAM masa lalu memang jadi senjata Jokowi-JK di 2014. Ini menjadikan Jokowi-JK berbeda dengan pasangan Prabowo-Hatta Rajasa, yang memilih absen mencantumkan penyelesaian kasus HAM masa lalu pada visi-misi mereka.
Janji Jokowi inilah yang membuat Wani tak ragu beranjak di hari pencoblosan Pilpres 2014. Padahal, pada pemilu-pemilu sebelumnya, tak sekalipun Wani berminat memilih presiden, siapa pun calonnya. Kali itu berbeda. Sampai di bilik suara, jarum ia cobloskan ke kolom Jokowi-JK.
Suasana debat Pilpres antara Joko Widodo dan Prabowo Subianto di Jakarta (9/7/2014). Foto: AFP/BAY ISMOYO
Bagi Wani, keikutsertaannya mencoblos Jokowi pada Pilpres 2014 adalah ikhtiar yang bermuara pada sang ibu. Ia ingin meringankan beban hati ibunya, Dyah Sujirah atau Sipon.
Sipon terakhir kali melihat suaminya, Wiji Thukul, pada suatu malam di Yogyakarta, 20 tahun lalu. Thukul diduga masuk dalam bagian 13 aktivis pro-demokrasi yang dihilangkan secara paksa di medio 1997-1998.
ADVERTISEMENT
“Jadi saya kayak mengesampingkan ego saya sendiri, idealisme saya gimana, pemikiran saya gimana. Waktu itu kan ibu sempat sakit parah dan saya pikir salah satu obat yang paling mujarab ya tentang kejelasan kasus itu,” ujar Wani kepada kumparan, Jumat (1/2).
“Waktu sebelum dia (Jokowi) jadi (presiden), kok kelihatannya ada harapan,” kata Wani.
Fitri Nganthi Wani, putri Wiji Thukul. Foto: Instagram/@fitringanthiwani
Desember 2014, Jokowi telah dilantik sebagai presiden. Di Istana Kepresidenan Yogyakarta, tepat pada peringatan Hari HAM Sedunia, Jokowi mengundang anggota keluarga korban kasus HAM seperti Tragedi Talangsari, Tragedi 1965, dan penghilangangan paksa. Wani salah satunya.
Seharusnya Wani bukanlah sosok yang asing bagi Jokowi. Keduanya pernah bertemu saat Jokowi menjabat Gubernur DKI Jakarta pada 2014 di rumah dinasnya. Bahkan, Jokowi juga hadir pada pernikahan Wani ketika masih menjabat sebagai Wali Kota Solo.
ADVERTISEMENT
Maka, ketika bersalaman di Istana Yogya, Wani memberanikan diri. Ia mengingatkan Jokowi, bahwa ia adalah putri dari laki-laki yang masih hilang sampai sekarang, yang pernah dijanjikannya untuk segera ditemukan.
“Pak, masih ingat saya kan?” Presiden diam, tak langsung menjawab.
“Demi Ibu (Sipon), Pak,” katanya kepada presiden kemudian. Air matanya ia tahan agar jatuh nanti saja. Sayang, jawaban Jokowi selanjutnya menyadarkan Wani bahwa tak seharusnya ia banyak berharap pada sosok yang telah dipilihnya itu. Harapan yang sempat terjaga kembali pudar perlahan.
“Akhirnya dia (Jokowi) bilang ‘iya’, tapi pelan banget. Energinya beda gitu sama yang saya rasain sebelum-sebelumnya,” kata Wani menceritakan pertemuannya dengan rasa kecewa. “Dari situ saya sudah mikir, kayaknya habis ini saya harus let it go.”
ADVERTISEMENT
Wani tentu saja kecewa. Ia tahu, penanganan kasus penghilangan paksa—yang sudah diselidiki Komnas HAM dan sembilan berkasnya telah diberikan ke Kejaksaan Agung sejak 2002—akan terus menggantung.
Ia juga tahu Kejagung selalu mengembalikan berkas-berkas penyelidikan itu dengan alasan kekurangan persyaratan materiil dan formil yang jadi dasar peningkatan status dari penanganan menjadi penyidikan.
Ia kira, janji Jokowi akan mampu mengubah itu semua.
“Kalau nurutin ego ya kecewa,” kata Wani kemudian. “Tapi ya sudah tahu politik itu gimana, ya sudah. Sudah bisa baca. Tapi kan yo piye ya, enggak baik juga kalau PHP (pemberi harapan palsu) ke rakyat.”
Kini Wani sudah tidak berharap apa-apa lagi dari pemerintahan Jokowi. Urusan pilih memilih presiden tak lagi ia hadapi seantusias 2014. Ia berada di persimpangan jalan: memilih calon presiden yang tak akan berbuat banyak untuk nasib ayahnya, atau kembali menjadi dirinya di masa lalu yang golput.
ADVERTISEMENT
“Kalau enggak kesiangan, mungkin saya akan datang ke TPS. Datang pun belum tahu mau ngapain,” katanya berkelakar.
Sudah damaikah ia dengan segala harapannya, tak terbaca dari kata-katanya.
Sumarsih pada Aksi Kamisan ke-500. Foto: Rakha Mufrihandhanu/kumparan
Tak hanya Wani yang kecewa dengan tumpulnya penyelesaian kasus HAM selama empat tahun terakhir. Pemilih Jokowi lain, seperti Maria Catarina Sumarsih, juga demikian. Ia adalah ibunda korban penembakan Tragedi Semanggi I, Bernardinus Realino Norma Irawan alias Wawan.
Simpati Sumarsih pada Jokowi kini menjadi antipati. Pasalnya, hingga menjelang berakhirnya periode pemerintahan Jokowi-JK, aktor utama yang menyebabkan anaknya dan belasan orang lain tewas pada tragedi itu tak juga diadili.
ADVERTISEMENT
Pengusutan Tragedi Semanggi I dan II sebenarnya sempat menyeret 15 pelaku pada 1999 hingga 2002. Mereka dijatuhi hukuman kurungan penjara oleh Mahkamah Militer. Namun, Komnas HAM menyatakan pelaku yang diseret hanyalah petugas lapangan, bukan otak utama.
Itu sebabnya, pada 2002 Komnas HAM memberikan hasil penyelidikannya kepada Kejaksaan Agung agar ditindaklanjuti. Namun, Kejaksaan Agung menolak dengan dalih perkara tersebut sudah ditangani Pengadilan Militer, sehingga Kejaksaan Agung merasa tak bisa mengambil alih perkara tersebut.
Harapan sempat muncul kala Jokowi-JK terpilih. Ketika itu Jaksa Agung HM Prasetyo diperintah presiden untuk mengungkap Tragedi Semanggi. Namun, kasus itu ternyata hingga kini tetap jalan di tempat.
Semasa pemerintahan Jokowi, Sumarsih terus berusaha menemui Presiden untuk menanyakan kelanjutan kasus anaknya. Empat permohonan ia ajukan. Aksi Kamisan yang dilakukan saban Kamis di depan Istana masih tak digubris.
ADVERTISEMENT
Baru pada Mei 2018, setelah ratusan Kamisan selanjutnya, Jokowi mengundang Sumarsih dan keluarga korban kasus pelanggaran HAM lain untuk bertatap muka. Seusai pertemuan, lagi-lagi, Jokowi cuma meminta Kejaksaan Agung dan Kemenko Polhukam berkoordinasi.
Hasilnya tak memuaskan.
Jaksa Agung M Prasetyo Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
“Saya ingin sampaikan bahwa kalau ini dinyatakan pelanggaran HAM berat masa lalu, memang harus diselesaikan. Nah, bentuk penyelesaiannya tentu melihat realitas yang ada," kata Prasetyo, 1 Juni 2018, beberapa hari setelah pertemuan yang telah ditunggu bertahun-tahun lamanya itu.
Di mata Sumarsih, Jokowi gagal menyelesaikan permasalahan tersebut. “Kenyataannya sampai sekarang juga enggak (bisa). Pak Jokowi lebih mampu memberikan infrastruktur tanpa ada perhatian untuk masalah kemanusiaan, masalah penegakan supremasi hukum dan HAM,” katanya.
ADVERTISEMENT
Tak hanya soal lambatnya penanganan kasus anaknya, Sumarsih juga kecewa dengan Jokowi yang selama ini justru menempatkan orang-orang yang diduga terlibat kasus HAM pada beberapa pos strategis pemerintahan.
Jokowi saat mengunjungi Mabes TNI. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Yang Sumarsih maksud adalah penunjukan nama-nama seperti AM Hendropriyono, Wiranto, dan Sutiyoso. Hendropriyono adalah anggota tim transisi di awal terpilihnya Jokowi. Ia diduga Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) terlibat dalam penyerbuan Talangsari, Lampung, pada 1989; juga diduga terlibat kasus Munir Said Thalib.
Hendropriyono yang mantan kepala Badan Intelijen Negara telah membantah terlibat pembunuhan 200 orang pada Tragedi Talangsari. Dalam wawancaranya dengan jurnalis AS Allan Nairn, ia mengklaim para korban melakukan bunuh diri. Ia juga dalam wawancara dengan Tempo membantah ikut bertanggung jawab atas kematian aktivis HAM Munir.
ADVERTISEMENT
Sementara eks Panglima TNI Jenderal (Purn.) Wiranto—yang kini mengemban jabatan vital selaku Menko Polhukam—dalam catatan Komnas HAM diduga terlibat sejumlah kasus pelanggaran hak asasi manusia seperti Kerusuhan Mei 1998, Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi, serta kekerasan di Timor Timur. Wiranto pun telah membantah tudingan itu.
Menkopolhukam, Wiranto. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Berikutnya, Letjen TNI (Purn.) Sutiyoso yang mantan Panglima Kodam Jaya dan menjadi tersangka dalam kasus penyerangan Kantor PDIP pada 1996 atau dikenal juga dengan sebutan Peristiwa Kudatuli (Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli), sempat diangkat menjadi Kepala BIN oleh Jokowi.
Maka bagi Sumarsih, dua pilihan calon presiden yang ada saat ini—Jokowi maupun Prabowo Subianto—sama-sama tak menjanjikan. Prabowo, menurutnya, juga amat jauh dari kata ideal, mengingat ia juga terduga pelanggar HAM berat penculikan aktivis 1997-1998.
ADVERTISEMENT
Itu sebabnya Sumarsih akan golput. “Prabowo tidak akan saya pilih, Jokowi juga tidak akan saya pilih.” Kecuali, imbuhnya, Jokowi mengambil tindakan drastis dalam penyelesaian kasus-kasus HAM.
“Kalau misalnya Pak Jokowi tiba-tiba memerintahkan Jaksa Agung menindaklanjuti berkas penyelidikan Semanggi I dan II serta Trisakti, mungkin saya akan berubah pikiran,” kata Sumarsih kepada kumparan saat Aksi Kamisan, di depan Istana Merdeka, Jakarta (31/1).
Ilustrasi Lipsus kumparan: Golput Bikin Takut. Foto: Herun Ricky/kumparan
Kejengahan terhadap penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang tak ke mana-mana mendorong sebagian orang untuk golput. Deklarasi “Golput Itu Hak dan Bukan Tindak Pidana” digelar oleh beberapa LSM di kantor YLBHI, Cikini, Rabu (23/1).
Mulai dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lokataru, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), KontraS, LBH Jakarta, dan Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) menjadi penggerak deklarasi tersebut. Mereka, seperti tajuk deklarasinya, menekankan bahwa golput adalah bentuk ekspresi politik yang sah.
ADVERTISEMENT
Advokat PBHI, Alghiffari Aqsa, menyatakan pemerintahan Jokowi-JK sudah menyia-nyiakan waktu untuk menyelesaikan masalah hukum dan HAM. “Banyak teman-teman merasa bahwa empat tahun sudah cukup bagi Jokowi untuk menyelesaikan kasus-kasus,” kata Alghiffari yang memiliki nama akun Twitter “Golput” tersebut.
Menurutnya, deklarasi golput itu merupakan cara agar pemerintah mau peduli. “Seperti kata Bu Sumarsih, ‘Golput adalah alat untuk mendidik penguasa’,” kata mantan Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta ini.
Infografik Potensi Golput 2019. Foto: Basith Subastian/kumparan
Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden Bidang HAM, Ifdhal Kasim, memaklumi sikap golput yang dibawa oleh sejumlah aktivis HAM. Meski begitu, menurutnya, pemerintah juga bukannya alpa dalam mengupayakan proses hukum.
“Pak Jokowi sudah minta cari Wiji Thukul. Dia sudah memerintahkan Jaksa Agung untuk mengadakan Pengadilan HAM,” katanya.
ADVERTISEMENT
Namun, ujar Ifdhal, upaya itu terkendala hal-hal teknis. “Cuma, begitu Jaksa Agung memulai pekerjaannya, dia menghadapi juga hambatan regulasi. UU Pengadilan HAM itu regulasi yang terlalu banyak bolongnya, sehingga sulit untuk mengerjakan,” kata dia.
Menurut Ifdhal, presiden tidak bisa begitu saja membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc tanpa rekomendasi DPR terlebih dahulu. Sebab rekomendasi itu penting sebagai landasan hal-hal yang bersifat memaksa, macam penahanan dan penyitaan.
Selain itu, lanjut Ifdhal, pemerintah sudah mengakomodasi negosiasi Kejaksaan Agung dan Komnas HAM agar penanganan kasus bisa berjalan. “Cuma menutup barrier-nya susah sekali,” tambahnya. Barrier atau penghalang yang ia maksud adalah bukti-bukti detail seperti bukti perintah, misalnya, kepada Tim Mawar untuk melakukan penculikan.
ADVERTISEMENT
Ilustrasi surat suara Paslon Capres dan Cawapres. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Sementara Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf, Abdul Kadir Karding, tak mempermasalahkan potensi golput yang didorong sejumlah aktivis. Ia yakin, selama ini pemerintah sudah berupaya menyelesaikan kasus HAM.
“Wajar orang kecewa. Karena begini, mereka ingin langsung ada perubahan sekarang, ibarat membalik telapak tangan. Tapi kan dalam kasus HAM tidak semudah itu,” kata Karding kepada kumparan, Rabu (30/1).
Menurutnya, gerak pemerintah terbatas apabila terbentur teknis hukum yang diperlukan untuk menaikkan status kasus ke taraf penyidikan. “Pak Jokowi nggak bisa ikut campur.”
Infografik Potensi Golput 2019. Foto: Basith Subastian/kumparan
Direktur Charta Politika Yunarto Wijaya menyatakan, segmen pemilih Jokowi yang terdampak atas imbauan golput para aktivis HAM itu terbatas saja. Namun, ia tak memungkiri Jokowi akan kehilangan sosok-sosok berpengaruh yang selama ini menganggapnya peduli akan kasus HAM.
ADVERTISEMENT
“Kalau bicara kasus HAM, sifatnya segmented. Aktivis HAM, social influencer, jumlahnya terbatas. Tetapi betul, Jokowi akan kehilangan jubir, akan kehilangan komunitas pendukung,” kata dia.