Kemenperin Masih Kaji Insentif Pengembangan Mobil Listrik

25 Juli 2017 10:20 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mobil Listrik Buatan Ricky Elson. (Foto: Dok. Pribadi Valdy)
zoom-in-whitePerbesar
Mobil Listrik Buatan Ricky Elson. (Foto: Dok. Pribadi Valdy)
ADVERTISEMENT
Kementerian Perindustrian masih merumuskan skema insentif program kendaraan emisi rendah (low carbon emission vehicle/LCEV). Kebijakan tersebut dilakukan untuk mendorong industri otomotif mengembangkan kendaraan hemat energi dan ramah lingkungan untuk menurunkan emisi sebesar 29 persen pada 2030.
ADVERTISEMENT
Adapun teklogi kendaraan ramah lingkungan ini mengarah pada advance diesel atau petrol engine, bahan bakar alternatif (biofuel), bahan bakar gas, hybrid, kendaraan listrik, dual fuel (gasoline-gas), dan fuelcell (hydrogen).
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan skema insentif tersebut merupakan lanjutan dari program sebelumnya yakni Kendaraan Bermotor Hemat Bahan Bakar dan Harga Terjangkau (KBH2) atau low cost and green car (LCGC).
“Kebijakan ini dapat terlaksana apabila BBM Euro IV sudah tersedia pada 2019 atau lebih cepat,” kata Airlangga dalam siaran persnya, Rabu (25/7).
Menurut Airlangga, untuk saat ini mobil listrik bisa menjadi alternatif teknologi otomotif yang ramah lingkungan, Namun, kata dia, penerapannya harus dilakukan secaara bertahap, tidak secara langsung.
“Sebelum ke mobil listrik, kita sebaiknya masuk yang hybrid dulu," katanya.
ADVERTISEMENT
Menurut Airlangga, pengembangan mobil listrik di Indonesia harus diawali dengan teknologi baterai, motor induksi, dan piranti lunak (software). Selain itu, agar kompetitif, dibutuhkan keringanan buat pelaku industri agar bisa terjangkau konsumen.
"Mobil listrik kan mahal. Harus ada insentif dari pemerintah,” ujarnya.
Mengenai penerapan standar emisi Euro IV, Airlangga mengatakan pelaku industri sudah siap untuk menjalankan aturannya. Untuk tahap awal, dia optimistis Euro IV bisa direalisasikan sebelum Asian Games 2018. "Sehingga tinggal pelaksanannya bagaimana industri dan supliernya, tier 1, tier 2 untuk menyesuaikan," katanya.
Kementerian memastikan proyek mobil listrik sudah ada di dalam peta jalan pemerintah untuk pengembangan industri otomotif di Indonesia. Kemenperin mencatat, hingga saat ini, populasi mobil listrik di dunia sekitar 4 juta unit dan diperkirakan pada tahun 2020 mencapai 10 juta unit.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (ILMATE) Kemenperin, I Gusti Putu Suryawirawan, mengatakan pengembangan mobil listrik dilakukan untuk mendorong industri otomotif menghasilkan kendaraan yang hemat energi dan ramah lingkungan.
"Jadi bagaimana mendorong industri yang sudah ada mau masuk ke dalam produksi kendaraan listrik. Kan sudah ada industrinya. Kalau harus produksi mesin listrik, harus pakai mesin berbeda. Kami minta mereka (produsen) pelajari teknologinya, kira-kira butuh satu tahun" kata Putu.
Menurut dia, teknologi yang memungkinkan untuk dikembangkan adalah mobil hybrid, kendaraan yang menggunakan dua jenis teknologi untuk sumber tenaganya, yakni mesin bensin dan baterai.
“Dengan infrastruktur yang ada di Indonesia, teknologi hybrid lebih memungkinkan untuk diaplikasikan, dibandingkan mesin listrik secara tunggal. Saat ini produsen otomotif Jepang pendekatannya lebih pada pengembangan hybrid, bukan electric vehicle,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Oleh sebab itu, Putu mengatakan, pemerintah perlu mengkaji kembali struktur perpajakan kendaraan yang saat ini berlaku untuk menarik minat industri otomotif di Indonesia memproduksi mobil listrik. Agar hal tersebut bisa menjadi insentif bagi pelaku industri kendaraan.
“Insentifnya lagi dibicarakan, tetapi wajib mengacu pada Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN). Kalau LCGC, itu sudah mencapai 80 persen komponen lokalnya. Kalau mobil listrik belum ditentukan, masih dibahas,” ungkapnya.
Menurut Putu, bisa saja mobil listrik yang dijual di Indonesia bakal bebas Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). “Hitungannya kan dari seberapa emisi yang dikeluarkan, semakin kecil semakin tinggi insentifnya. Kalau listrik seharusnya nol, kan tanpa emisi sama sekali,” katanya..