2018 Rawan Gempa, Benarkah?

24 November 2017 13:07 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Gempa (Foto: Thinkstockphotos)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Gempa (Foto: Thinkstockphotos)
ADVERTISEMENT
Peneliti Roger Bilham dari Universitas Colorado dan Rebecca Bendick dari Universitas Montana mengeluarkan sebuah makalah ilmiah yang menyimpulkan bahwa pada tahun 2018 akan sering terjadi gempa bumi, khususnya di daerah khatulistiwa, termasuk Indonesia.
ADVERTISEMENT
Dalam makalah yang ditampilkan pada pertemuan Geological Society of America (GSA) di Seattle 22 Oktober lalu, dua peneliti itu memaparkan bahwa berdasarkan data yang mereka kumpulkan, pada tahun 2018 nanti bumi akan memasuki periode rawan gempa besar akibat melambatnya rotasi bumi.
"Korelasi antara rotasi bumi dan aktivitas gempa bumi cukup besar dan hal itu bisa menjadi pertanda akan meningkatnya jumlah gempa bumi yang intens pada tahun depan," kata Bilham dilansir The Guardian.
Dalam riset tersebut mereka menggabungkan data dari berbagai gempa bumi besar yang terjadi sejak tahun 1900 hingga sekarang dengan periode-periode saat rotasi bumi melambat.
Dari riset tersebut mereka mengeluarkan kesimpulan bahwa ada sebuah periode dengan rentang waktu lima tahun saat rotasi bumi melambat dan kemudian disusul dengan peningkatan jumlah gempa bumi skala besar pada tahun selanjutnya.
ADVERTISEMENT
"Tahun depan kita bisa melihat peningkatan signifikan dari jumlah gempa bumi besar," kata Bilham.
Bilham dan Bendick berharap pola gempa bumi yang mereka temukan dapat membantu masyarakat, peneliti dan pihak pemerintah yang tinggal di daerah rawan gempa untuk melakukan langkah-langkah persiapan menghadapi bencana tersebut.
Ilustrasi Gempa Dunia  (Foto: Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Gempa Dunia (Foto: Reuters)
Tanggapan dari Ilmuwan Lain
Sejatinya cara untuk bisa memprediksi lokasi pasti dari sebuah gempa bumi masih belum ditemukan. Selama ini para peneliti hanya bisa memberikan peringatan dini atas potensi gempa bumi dari suatu lokasi, berdasarkan pada titik-titik tempat bertemunya lempengan bumi dan retakan lain pada kerak bumi yang menyimpan potensi gempa.
Hasil riset dari Roger Bilham dan Rebecca Bendick memang tidak bisa dikatakan salah, akan tetapi riset mereka tidak bisa menjadi acuan pasti atas prediksi gempa bumi.
ADVERTISEMENT
Diperlukan riset mendalam di laboratorium serta studi tambahan untuk mendukung hasil riset mereka.
Beberapa peneliti telah mengatakan bahwa mereka belum sepenuhnya yakin atas riset Bilham dan Bendick. Seperti Ken Hudnut, peneliti geofisika di USGS, badan geologi AS, yang bekerja untuk program risiko gempa bumi. Ia mengatakan bahwa korelasi bukanlah hal yang sama dengan penyebab. Pendapat Hudnut ini telah dimaklumi Bendick.
"Ketika seseorang mengatakan sesuatu yang agak aneh, maka orang lain akan memeriksa kerja mereka dan itulah yang membuat sains terus berkembang," kata Bendick dilansir The Washington Post. Ia juga menambahkan bahwa studi mereka adalah tentang kemungkinan dan bukan prediksi.
Bendick juga mengakui bahwa kesimpulan yang mereka ambil masih membutuhkan bukti lebih banyak lagi, tetapi ia yakin bahwa pola gempa bumi yang mereka temukan memang ada.
ADVERTISEMENT
"Saya pikir ini akan menginspirasi banyak orang untuk mencari pola tersebut, dan sangat mungkin muncul seseorang dengan penjelasan yang lebih baik," ujar Bendick.
Sebelumnya, bidang peramalan gempa bumi sudah pernah diramaikan oleh cara-cara unik untuk memprediksi datangnya gempa. Mulai dari prediksi gempa berdasarkan perilaku binatang, emisi gas dari batuan hingga penggunaan sinyal listrik frekuensi rendah pada lapisan bumi pernah digunakan sebagai cara untuk memprediksi gempa.
Sayangnya, semua upaya itu masih belum sukses memprediksi gempa secara akurat.