Agar Metode ‘Cuci Otak’ Dokter Terawan Bisa Teruji Secara Klinis

9 April 2018 20:13 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
DR dr Terawan Agus Putranto (Foto: Facebook @Berita Dokter)
zoom-in-whitePerbesar
DR dr Terawan Agus Putranto (Foto: Facebook @Berita Dokter)
ADVERTISEMENT
Dalam dunia medis, suatu metode pengobatan perlu melalui beberapa tahapan sebelum bisa digunakan secara luas kepada masyarakat. Hal inilah yang kemudian menjadi soal perdebatan terkait metode ‘cuci otak’ yang telah diterapkan Dokter Terawan Agus Putranto pada banyak orang untuk mencegah dan mengobati penyakit stroke.
ADVERTISEMENT
Metode ‘cuci otak’ alias brain wash yang diterapkan Terawan sebenarnya adalah sebutan metode Intra Arterial Heparin Flushing (IAHF) atau penyemprotan heparin --cairan penangkal penggumpalan darah-- ke otak melalui pembuluh darah dengan menggunakan Digital Subtraction Angiography (DSA).
Metode ‘cuci otak’ ini belakangan menjadi polemik karena Ikatan Dokter Indonesia (ID) menyebut metode tersebut belum teruji secara klinis.
Ketua Dewan Pertimbangan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Errol U. Hutagalung, mengatakan bahwa suatu metode pengobatan haruslah mempunyai bukti ilmiah yang kuat, bukan sekadar testimoni dari orang-orang yang menjalaninya.
"Dalam dunia akademi itu tidak bisa hanya berdasarkan testimoni saja, tapi harus ada evidence base. Bagaimana kita bisa mencapai tahapan tersebut? Yaitu dengan penelitian, uji coba, dan uji klinis," ujar Errol dalam acara jumpa pers di gedung PB IDI, Senin (9/4).
Errol U. Hutagalung. (Foto: Sayid M Mulki/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Errol U. Hutagalung. (Foto: Sayid M Mulki/kumparan)
Errol menyebut, meski sudah ada di dalam jurnal, metode ‘cuci otak’ Terawan ini belum melalui uji klinis, tapi masih pada tahap pendahuluan.
ADVERTISEMENT
Hal senada juga dinyatakan oleh Ilham Oetama Marsis, Ketua Umum PB IDI. Ia menyayangkan sikap Terawan yang tidak melakukan uji klinis terlebih dahulu sebelum menerapkan metode terapinya itu pada banyak pasiennya.
Menurut Marsis, Terawan memang telah melakukan suatu kajian akademis mengenai bagaimana memperlancar sistem aliran darah pada kasus stroke yang kronis. Namun cara itu harus kembali diuji dan dibuktikan kembali. "Praktik (kajian akademis) itu bukan dalam bentuk uji klinis," ujar Marsis.
Ketua Umum IDI Prof. Dr. I. Oetama Marsis (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Umum IDI Prof. Dr. I. Oetama Marsis (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
Sebenarnya apakah itu tahapan uji klinis yang menjadi sumber kontroversi dari metode cuci otak Dokter Terawan?
Menurut Berry Juliandi, Dosen Departemen Biologi Institut Pertanian Bogor (IPB) sekaligus anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI), dalam adaptasi suatu obat atau metode pengobatan, ada tahapan-tahapan yang perlu dilalui, yakni uji praklinis dan uji klinis.
ADVERTISEMENT
"Secara sederhana, harus diuji coba dulu di lab atau menggunakan hewan model. Namanya uji praklinis. Lalu jika uji ini sukses dan berhasil, maka dilanjutkan ke manusia dengan aturan tertentu dalam tahap uji klinis," terang Berry kepada kumparanSAINS.
Jadi, uji klinis adalah tahapan untuk menguji suatu obat atau metode pengobatan tertentu pada manusia.
Mengutip penjelasan National Heart, Lung, and Blood Institute (NHLBI), uji klinis adalah suatu rangkaian studi penelitian untuk mempelajari apakah suatu pengobatan, strategi, atau alat medis aman dan efektif bagi manusia. Studi penelitian ini dapat menunjukkan cara medis manakah yang efektif bagi suatu penyakit ataupun orang tertentu.
Uji klinis ini sangat penting dilakukan karena ia bekerja sebagai alat untuk meningkatkan ilmu medis dan perawatan bagi pasien. Mengutip keterangan dari University of Nottingham, ada tiga fase percobaan dalam uji klinis.
ADVERTISEMENT
Percobaan fase pertama adalah menginvestigasi efek terapi kepada beberapa orang sukarelawan yang kondisi fisiknya sehat. Fase ini adalah untuk menilai keamanan, kemampuan toleransi, dan bagaimana terapi bekerja pada manusia. Fase ini dilakukan dalam pengamatan ketat selama 24 jam.
Ilustrasi peneliti di laboratorium. (Foto: jarmoluk/Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi peneliti di laboratorium. (Foto: jarmoluk/Pixabay)
Dalam beberapa terapi yang terlalu beracun bagi subjek percobaan yang sehat, fase pertama dilakukan pada pasien dengan penyakit yang bersangkutan.
Selanjutnya, adalah percobaan fase kedua, yakni mempelajari lebih dalam lagi keamanan obat serta keefektifannya. Dalam fase ini, biasanya diperlukan lebih dari 100 orang pasien untuk bisa menghasilkan hasil yang relevan.
Adapun percobaan fase ketiga sekaligus terakhir, biasanya dilakukan setelah terapi dianggap berpotensi aman dan efektif. Dalam fase ketiga ini, percobaan biasanya diikuti oleh lebih dari seribu sukarelawan. Percobaan ini harus bisa mewakili populasi normal agar nantinya bisa bermanfaat saat praktik.
ADVERTISEMENT
Dalam fase ini, biasanya hasil percobaan dengan metode terbaru dibandingkan dengan hasil dari metode pengobatan standar yang sudah ada sebelumnya. Fase ini penting untuk membuktikan bahwa obat atau metode pengobatan tersebut memang efektif dan aman digunakan.