Bagaimana Otak Pengaruhi Pilihan Politik Seseorang

21 Desember 2018 20:01 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menyehatkan otak (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Menyehatkan otak (Foto: Thinkstock)
ADVERTISEMENT
Perbedaan antara seseorang yang berpandangan politik konservatif dan liberal ternyata bukan hanya bisa dilihat dari nilai-nilai yang ia pegang teguh, tapi juga dari otaknya.
ADVERTISEMENT
Hal ini dikarenakan ukuran wilayah-wilayah tertentu pada otak seorang konservatif dan liberal memiliki perbedaan, seperti disampaikan oleh dr Roslan Yusni Hasan, ahli bedah saraf yang berpraktik di RS Mayapada Tangerang. dalam acara diskusi 'Neuroscience, Politik, dan Peran Media dalam Mengedukasi Kesehatan Emosional, Sosial, dan Ekologikal Masyarakat Indonesia' di Kebayoran Baru, Jakarta, Jumat (21/12).
Dokter yang akrab disapa dr. Ryu ini mengatakan liberalisme dan konservatisme dalam otak manusia lahir dari pertarungan altruisme dan egoisme seseorang.
"Sirkuit egoisme kita jauh lebih gede daripada sirkuit orbitofrontal cortex yang altruisme," kata Ryu dalam pemaparannya di sebuah acara diskusi tersebut.
Menurut Encyclopedia Britannica, konservatisme adalah pandangan politik yang lebih berpegang pada nilai-nilai tradisional sebuah institusi dan secara praktik. Sementara liberalisme percaya bahwa kebebasan individu harus dilindungi dan diakui secara politis.
ADVERTISEMENT
"Pertarungan antara egoisme dan altruisme itu menjadikan kita masing-masing orang ini (yang memiliki pandangan politik berbeda)," jelasnya.
Ilustrasi otak manusia. (Foto: Shutterstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi otak manusia. (Foto: Shutterstock)
Lebih jauh, ia mengatakan orang yang memiliki anterior cingulate cortex lebih besar itu cenderung lebih liberal dan toleransi terhadap ketidakpastian. Sebaliknya, orang yang memiliki talamus, hippocampus, dan amygdala lebih besar, maka ia akan cenderung menjadi seseorang yang lebih konservatif dan peka terhadap rasa takut.
Di antara keduanya, ada satu bagian otak lagi yang bisa membuat seseorang cenderung lebih fleksibel, bisa menjadi konservatif atau liberal. Bagian otak itu adalah orbitofrontal cortex (OFC).
"Orbitofrontal cortex (OFC) ini bisa kita manipulasi. Orang yang di tengah itu bisa ke kiri atau ke kanan," ungkap Ryu.
Orang-orang semacam inilah, menurut Ryu, yang kemudian dimanfaatkan oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, untuk menjaring suara. Karena, pada orang-orang yang memiliki OFC dominan, ia masih bisa mengubah pilihannya saat Pemilu, berbeda dengan orang yang sudah menjadi seorang konservatif atau liberal dan sulit diubah pikirannya.
ADVERTISEMENT
"Kecenderungan otak memilih sesuatu itu tergantung sirkuit yang terbentuk," kata Ryu.
Lebih pilih informasi yang afirmatif daripada informatif
Ryu juga mengatakan, manusia memiliki kecenderungan untuk lebih memilih informasi yang afirmatif daripada informatif, apalagi dengan adanya revolusi digital yang membuat pencarian informasi menjadi lebih mudah.
"Sekarang yang kita dapatkan adalah over-informasi. Data semua ada. Sehingga akhirnya sifat dasar kita yang perlu afirmasi itu yang keluar," ungkapnya.
Ilustrasi Sel otak (Foto: Thinstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Sel otak (Foto: Thinstock)
Ia melanjutkan, sifat dasar manusia adalah memilih informasi yang afirmatif, atau sesuai dengan yang diinginkan, daripada yang informatif atau sesuai dengan kenyataan. Ryu mencontohkan hal ini dengan fenomena 'cebong' dan 'kampret yang tengah memanaskan politik di Indonesia.
"Jadi, 'cebong' ini mencari berita yang menyenangkan dia. 'Kampret' juga gitu, sama kelakuannya," papar Ryu.
ADVERTISEMENT
Menanggapi hal ini, Ryu memberikan pesan singkat kepada para awak media untuk menghadapi sifat manusia yang cenderung memilih berita yang afirmatif.
"Kembali ke kode etik jurnalisme. Semua ada kode etiknya. Lihat saja ke situ," ucapnya.