Bagaimana Rasanya Menjadi Algojo Hukuman Mati di Abad Pertengahan?

12 September 2019 18:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi algojo. Foto: ANTARA FOTO/Rahmad
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi algojo. Foto: ANTARA FOTO/Rahmad
ADVERTISEMENT
Sore di bulan Mei 1573, Frantz Schmidt berdiri di halaman belakang rumah ayahnya di Bavaria, Jerman. Lelaki yang baru berusia 19 tahun ini memegang pedang, sedang bersiap memenggal seekor anjing liar.
ADVERTISEMENT
Dia baru saja lulus latihan "memenggal" labu, sudah waktunya untuk melatih keterampilannya kepada makhluk yang masih hidup. Jika dia bisa melewati tahap akhir ini, maka Schmidt dianggap siap untuk memulai pekerjaannya sebagai algojo hukuman mati.
Detail adegan mengenaskan itu ditulis secara cermat oleh Schmidt dalam catatan kehidupannya sebagai algojo. Dia menulis serangkaian buku harian yang kaya akan deskripsi tentang profesi ini selama abad ke-16.
Kata-katanya memberikan pandangan baru yang jarang diketahui, seperti tentang sisi kemanusiaan di balik kekerasan, atau mengungkapkan fakta bahwa di balik pekerjaan algojo yang mengerikan sering terbesit empati terhadap para korbannya.
Schmidt, dan cara penulisannya yang tak biasa, mengungkapkan sisi-sisi yang belum terungkap di balik stereotipe algojo bertudung yang berlumuran darah, kejam, dan jauh dari kebenaran sejarah.
ADVERTISEMENT
Lantas, bagaimana rasanya menjadi algojo pada abad pertengahan di Eropa? Jika memang pekerjaan algojo begitu dilematik, mengapa Schmidt tampak begitu antusias melatih dirinya sendiri untuk membunuh manusia?
Ilustrasi hukuman mati. Foto: ArtWithTammy via Pixabay
Sebenarnya, orang-orang tidak pernah mengantre untuk mendapatkan pekerjaan sebagai algojo, karena tidak ada yang benar-benar ingin menggantung, memancung, atau membakar penjahat di tiang pancang. Kebanyakan orang melihat pekerjaan ini sebagai sesuatu yang tidak diinginkan. Bahkan, mereka yang akhirnya menjadi algojo pun sebetulnya tidak sempat memilih. Mereka mendapatkannya sebagai "warisan".
Dalam beberapa kasus minor, tugas menjadi algojo diberikan secara praktis kepada tukang daging, atau kepada terpidana hukuman mati yang ingin mendapatkan keringanan hukuman. Tetapi, secara umum, pekerjaan untuk menjadi algojo diemban oleh seseorang lantaran ikatan keluarga. Sebab, sebagian besar profesi ini akan diemban oleh anak laki-laki yang ayahnya telah menjadi algojo sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Ketika ayah Schmidt ditahbiskan sebagai algojo kerajaan setelah dipilih secara acak oleh seorang pangeran, sang ayah pun enggan menerima pekerjaan ini begitu saja. Namun, lantaran terpaksa atau faktor lainnya, seiring waktu, pekerjaan ini pun dijalani oleh sang ayah dan diwariskan kepada anaknya.
Hal seperti ini menciptakan "dinasti eksekusi", yang dalam kasus serupa telah terjadi dan menyebar ke seluruh Eropa selama Abad Pertengahan. Hal ini sama sekali bukan anugerah. Siklus dinasti tersebut lebih tepat disebut sebagai "takdir buruk" bagi banyak algojo.
Citra mereka menjadi sangat jelek karena terjebak dalam siklus pekerjaan keluarga yang membuat mereka hampir tak memiliki peluang untuk bekerja di bidang lain. Selain itu, mereka pun kesulitan bergaul dengan anggota masyarakat lainnya, karena para algojo biasanya dikucilkan sebagai masyarakat pinggiran. Bahkan dipaksa untuk benar-benar tinggal di pinggiran kota.
Ilustrasi hukuman mati. Foto: pixabay
"Orang-orang tidak akan mengundang algojo ke rumah mereka. Banyak algojo tidak diizinkan pergi ke gereja. Bahkan pernikahan harus dilakukan di rumah algojo karena gereja enggan memberi tempat," ungkap Joel Harrington, sejarawan dari Vanderbilt University di Tennessee, Amerika serikat, seperti dilansir Live Science.
ADVERTISEMENT
Harrington, yang menulis buku "The Faithful Executioner: Life and Death, Honor and Shame in the Turbulent Sixteenth Century" tentang kehidupan Schmidt, juga mengatakan bahwa beberapa sekolah di Abad Pertengahan bahkan enggan menerima anak-anak algojo.
Keterasingan sosial tersebut menjelaskan bahwa algojo hanya dibiarkan hidup berdampingan dengan mereka yang menduduki "dunia bawah" dalam masyarakat, seperti para pelacur, penderita penyakit kusta, dan penjahat. Mereka "tidak diinginkan" dan pergaulan "dunia bawah" malah meningkatkan stigma publik terhadap algojo dan keluarga mereka.
Bak sebuah teka-teki, algojo dianggap sebagai orang yang penting untuk menegakkan hukum dan keadilan, tapi sekaligus dijauhi karena profesinya yang dipandang buruk. “Sikap terhadap algojo sangat ambigu. Mereka dianggap penting sekaligus tidak pada waktu yang sama,” ujar Hannele Klemettilä-McHale, profesor sejarah budaya dari Turku University di Finlandia, yang mempelajari representasi para algojo.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh, di beberapa daerah misalnya, seorang algojo diberikan tiga kali pukulan dalam mengeksekusi penjahat, jika ayunan kapak atau pedang mereka melebihi dari aturan yang telah ditentukan, maka ada konsekuensi serius. “Kadang-kadang algojo yang gagal diserang oleh para penonton yang marah, dan jika dia selamat, pihak berwenang menghukumnya dengan tidak dibayar atau dipecat, bahkan dipenjara," papar Klemettilä-McHale.
Tempat untuk mengeksekusi mati orang pada abad pertengahan. Foto: pixabay
Oleh sebabnya, dibutuhkan ketelitian dan pengetahuan khusus agar eksekusi berjalan sempurna, dan ini menandakan bahwa seorang algojo mungkin memiliki pemahaman yang baik tentang anatomi tubuh manusia.
Hal ini bertentangan dengan stigma orang-orang yang menganggap algojo adalah orang-orang yang tidak berpendidikan. Padahal sebaliknya, menurut Harrington, mereka justru memiliki tingkat melek huruf yang luar biasa tinggi. Bahkan, beberapa algojo telah merangkap sebagai dokter.
ADVERTISEMENT
"Orang-orang yang tidak ingin ada hubungannya dengan algojo secara sosial akan datang ke rumahnya dan meminta untuk disembuhkan," kata Harrington. “Kita tahu, misalnya, bahwa Schmidt memiliki lebih banyak pasien yang dia sembuhkan daripada orang yang dieksekusi. Faktanya, Schmidt menulis bahwa menjadi dokter akan menjadi karier pilihannya, seandainya dia tidak dipaksa menjalani eksekusi.”
Selain ada yang merangkap jadi dokter, algojo juga mendapatkan beberapa fasilitas yang menjanjikan. Mereka mendapat keuntungan dan hak istimewa yang disebut “havage”. Misalnya, algojo berhak mengambil sebagian makanan dan minuman dari pedagang pasar secara gratis.
“Terlebih lagi, pihak berwenang biasanya memberi algojo penginapan gratis dan membebaskannya dari pajak dan pembayaran,” papar Harrington. Tunjangan ini diberikan sebagai kompensasi atas diskriminasi sosial yang mereka terima, dan upaya agar mereka tidak meninggalkan pekerjaan mereka.
ADVERTISEMENT
Jelas, algojo di masa lalu bukan sekadar profesi dengan keringat yang berlumuran darah. Sebaliknya, buku-buku sejarah mencatat, mereka tak lain dari orang-orang biasa yang dipaksa untuk menjalani profesi yang tak diinginkan orang lain. “Lupakan gambar tudung itu dan menganggap mereka sebagai sosok aneh yang sadis. Mereka hanyalah petugas penegak hukum,” tegas Harrington.
Begitupun dengan akhir dari kisah Schmidt yang cukup memercik sukacita. Selama kariernya, ia mendapatkan rasa hormat yang tidak biasa karena profesionalismenya yang terkenal disiplin, yang mengarahkannya pada penunjukkan sebagai algojo resmi Kota Bamberg, Bavaria, Jerman. Hal ini membuat Schmidt mendapatkan gaji besar dan memungkinkannya menjalani kehidupan yang sangat nyaman bersama keluarganya di sebuah rumah besar.
Namun, stigma terhadap pekerjaannya memang hampir mustahil dihilangkan. Ia tak ingin "warisan terkutuk" ini diberikan kepada anak-anaknya. Maka setelah pensiun dari profesi algojo pada usia 70 tahun, Schmidt mencoba untuk memulihkan nama keluarganya. Dia mengimbau pemerintah Bavaria untuk membebaskan putra-putra Schmidt dari "dinasti eksekusi" dan permintaannya dikabulkan.
ADVERTISEMENT
Anak-anak Schmidt pun kemudian dibebaskan kewajiban karier menjadi algojo dan diberi hak untuk mengejar karier mereka sendiri, seperti yang selalu ingin dilakukan Schmidt tatkala masih muda.