Bahaya Mengintai Konsumen Kerang Hijau Teluk Jakarta

24 Agustus 2017 9:11 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Pencemaran limbah, termasuk logam berat, di perairan Teluk Jakarta tak bisa diremehkan. Dan itu bukan bualan semata. Sigid Hariyadi dan kawan-kawannya di Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, dalam makalah berjudul Pencemaran Perairan Teluk Jakarta dan Strategi Penanggulangannya yang disusun Oktober 2004, membeberkan sejumlah peristiwa pencemaran di kawasan tersebut.
ADVERTISEMENT
Mereka mengutip pemberitaan di Harian Kompas, 8 Agustus 2001, yang menceritakan tercemarnya laut Teluk Jakarta oleh limbah kimia yang diduga berasal dari pabrik-pabrik pengawetan kayu di sekitar Marunda dan Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara. Akibatnya, perairan teluk berwarna merah kecokelatan. Tak pelak, ikan, udang, kepiting, hingga kerang hijau pun mati.
Setahun berikutnya, masih menurut makalah Sigid dkk, Harian Suara Pembaruan 28 Juli 2002 memberitakan ucapan peneliti Lembaga Oseanologi LIPI yang memaparkan tingginya kandungan logam berat dalam kerang hijau dan sedimen, serta banyaknya limbah domestik yang dibuang ke perairan Teluk Jakarta.
Kerang hijau dari Teluk Jakarta. (Foto: Utomo Priyambodo/kumparan)
Etty Riani, peneliti Fakultas Perikanan dan Ilmu Keluatan IPB, mengatakan pencemaran logam berat di Teluk Jakarta memang telah melebihi ambang batas. “Pencemarannya itu macam-macam, salah satunya merkuri,” kata Etty kepada kumparan.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan hasil risetnya, Etty menemukan bahwa kandungan logam berat merkuri pada kerang hijau di Teluk Jakarta dari tahun ke tahun semakin tinggi. Tahun 2013 misalnya, rata-rata kandungannya mencapai 45,51 miligram per kilogram. Setahun kemudian, 2014, angka itu naik menjadi 63,13 mg/kg.
Padahal menurut dokumen Standar Nasional Indonesia (SNI) 7387:2009 yang dikeluarkan Badan Standardisasi Nasional, batas maksimum cemaran merkuri dalam pangan yang masih dianggap aman pada ikan dan produk perikanan, termasuk moluska (hewan berbadan lunak, kerap bercangkang keras) seperti kerang hanyalah 1 mg/kg.
Etty Riani, peneliti dari IPB. (Foto: Utomo Priyambodo/kumparan)
Menurut Etty, logam berat merkuri sangat ditakuti karena toksisitasnya yang paling tinggi. “Jadi daya racunnya itu paling tinggi, terutama dalam bentuk metil merkuri.”
Ia mengatakan, logam berat merkuri bersifat karsinogenik alias dapat memicu kanker. “Jadi kita bisa menghitung analisis risiko terhadap terjadinya kanker.”
ADVERTISEMENT
“Untuk kerang hijau, sudah saya hitung. Kalau mau aman, makannya hanya satu ekor. Sehari boleh makan dua kerang, tapi tidak boleh bareng. Jadi misalnya pagi makan satu, sore satu. Atau siang satu, malam satu. Itupun dengan catatan tidak ada kontaminasi yang lain,” papar Etty.
Dampak merkuri pada tubuh tidak langsung atau tak segera tampak, karena sifatnya tidak akut dan kronis.
Kerang Hijau dari Cilincing (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Karena efeknya yang tak langsung itulah, masyarakat Cilincing yang tinggal di pesisir Jakarta memiliki skap tanggapan yang beragam terhadap informasi bahaya kerang hijau yang tercemar.
Sugiharto misalnya sudah tak berani lagi makan kerang hijau yang berasal dari Teluk Jakarta. “Saya sudah 25 tahun nggak makan kerang ijo. Pencemarannya kan ngeri bener.”
ADVERTISEMENT
Lelaki paruh baya itu sangat selektif dalam memilih ikan segar, terutama sejak mendengar kabar tingginya pencemaran logam berat di Teluk Jakarta. Ia jadi cemas dengan bahaya yang mengintai jika mengonsumsi hewan laut yang diambil dari perairan Teluk Jakarta itu.
Pak Tardi. (Foto: Sattwika Duhita/kumparan)
Beda orang, beda reaksi. Tardi yang tinggal di Cilincing dan sehari-hari berprofesi sebagai nelayan di Teluk Jakarta, tak sedikit pun khawatir akan bahaya memakan kerang hijau itu. Ia sudah terbiasa mengonsumsi segala jenis hewan laut dari Teluk Jakarta sejak kecil.
“Saya makan (kerang hijau) tiap hari nggak pernah mabok, sehat-sehat aja. Malah nggak ada bosennya makanin itu,” ujar laki-laki berusia 60 tahun itu, Jumat (18/8).
Abdul Gani (55), Ketua RT 03/04 Kelurahan Cilincing, juga berpendapat serupa, bahwa tak ada masalah dengan warganya yang memakan kerang hijau.
ADVERTISEMENT
Selama ini, Gani tak pernah menerima laporan atau keluhan dari warganya tentang penyakit tertentu akibat mengonsumsi kerang hijau dari Teluk Jakarta.
Abdul Gani sedang memperbaiki sound system. (Foto: Utomo Priyambodo/kumparan)
Sebagian besar warga di lingkungan RT Gani berprofesi sebagai nelayan di Teluk Jakarta, dan sering memakan kerang hijau yang berasal dari sana.
“Nggak masalah. Kerang-kerang gitu malah orang-orang laut juga yang pada doyan. Dia yang nangkep, dia yang makan,” ujar Gani.
Meski begitu, Gani tak menampik mendengar informasi tentang pencemaran Teluk Jakarta.
“Kalau (soal) pencemaran pernah denger, sering. Pencemaran limbah-limbah pabrik, kerang-kerang ijo pada mati.”
Tapi, lagi-lagi, itu tak membuatnya cemas, sebab katanya tak ada warga yang sakit karena mengonsumsi kerang hijau.
“Malah kerang ijo kan proteinnya tinggi,” ujar Gani.
Kerang Hijau dari Cilincing (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Dampak mengonsumsi makanan yang tercemar, menurut Etty, berbeda-beda pada tiap orang, tergantung pada sejumlah faktor seperti kondisi fisik orang yang bersangkutan, dan kondisi lingkungannya.
ADVERTISEMENT
“Lama munculnya (dampak itu) juga tergantung seberapa banyak seseorang makan makanan yang mengandung logam berat itu, frekuensinya, dan berapa besar konsentrasi logam berat pada bahan makanan tersebut,” kata Etty.