BATAN Pakai Teknologi Analisis Nuklir untuk Deteksi Polutan di Udara

19 Maret 2019 7:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Staf BATAN mengambil sampel polutan udara di kota Bandung. Foto: BATAN
zoom-in-whitePerbesar
Staf BATAN mengambil sampel polutan udara di kota Bandung. Foto: BATAN
ADVERTISEMENT
Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) mengklaim telah menguasai teknik analisis nuklir (TAN). Ini merupakan satu-satunya metode nondestructive yang mampu mendeteksi spesies kimia polutan di udara dengan ukuran kurang dari 2,5 mikrometer atau PM-2,5.
ADVERTISEMENT
Menurut peneliti senior BATAN Muhayatun Santoso, selama ini pemantauan kualitas udara telah dilakukan pada sejumlah senyawa, seperti karbon monoksida (CO), sulfur dioksida (SO2), nitrogen oksida (NOX), ozon (O3), serta partikulat berukuran 10 mikrometer (PM-10) sebagai dasar untuk menghitung Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU). Padahal, di udara juga ada partikulat PM-2,5 yang berbahaya karena ukurannya yang kecil sehingga bisa menembus bagian terdalam paru-paru.
Data dan riset PM-2,5 di Indonesia sendiri sangat terbatas. Untuk itu perlu dilakukan pemantauan dan studi komprehensif.
BATAN, bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, melakukan penelitian kualitas udara di 16 kota besar di Indonesia, yakni Jakarta, Tangerang Selatan, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Pekanbaru, Medan, Palangka Raya, Balikpapan, Makassar, Manado, Ambon, Jayapura, Mataram dan Denpasar.
ADVERTISEMENT
Dengan menggunakan TAN, kata Muhayatun, Batan tidak hanya fokus dalam menentukan konsentrasi massa PM-2,5 dan PM-10, tetapi juga menentukan komposisi kimia yang terkandung pada partikulat di udara.
“TAN merupakan satu-satunya metode karakterisasi partikulat udara yang unik karena memiliki kemampuan mendeteksi secara simultan, cepat, selektif, sensitif, tidak merusak, dan memiliki limit deteksi orde nanogram bahkan pikogram,” ucap Muhayatun dalam pernyataan resmi.
Ilustrasi polusi udara Foto: Tarabiscuite/pixabay
Salah satu parameter penting dalam fokus ini adalah pemantauan pencemaran logam berat, khususnya timbal (Pb) pada PM-2,5. Jika logam timbal di udara terisap dan terakumulasi hingga 10 ug/dL pada seorang anak, maka itu dapat mengakibatkan menurunnya tingkat intelegensia, learning disability, mengalami gejala anemia, hambatan pertumbuhan, perkembangan buruk kognitif, sistem imun yang lemah, serta gejala autis.
ADVERTISEMENT
Hasil riset menunjukkan, kadar logam timbal pada PM-2,5 dan PM-10 di beberapa kota masih relatif tinggi. Konsenterasi timbal di Tangerang dan Surabaya lebih tinggi ketimbang 14 kota lainnya, meski di bawah rata-rata baku mutu yang telah ditetapkan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999.
"Hasil ini merupakan informasi penting sebagai early warning dan perlu mendapat perhatian dalam mengatasi permasalahan polusi di perkotaan. Selain digunakan sebagai baseline data dan bahan masukan untuk evaluasi atau revisi peraturan baku mutu kualitas udara, data karakteristik yang diperoleh juga mampu mendeteksi secara dini terjadinya pencemaran," pungkas Muhayatun.